If anything can go wrong, it will
Tidak ada yang lebih konyol daripada kelalaian membiarkan suatu kekeliruan. Tumpang tindih tanggung jawab/wewenang antar instansi, peraturannya belum ada, atau tidak adanya anggaran sudah menjadi tiga ekor kambing hitam yg paling dicari di negeri ini setiap muncul masalah. Tak ada yg peduli krn tidak merasa itu "wilayah kerjanya" atau belum mau kerja jika dana operasional belum turun. Hingga kelalaian mencapai klimaks dan bummm ... kecelakaan memicu sekian nyawa melayang, kerugian sekian ratus juta atau milyar utk ganti rugi, renovasi, uang kerahiman, dan biaya non-materi lainnya (kesal, emosi, hilang waktu, kebelet pipis, komoditi busuk, mogok dll).
Dalam teori saya, sebenarnya penyebab yg paling parah bukannya urusan teknis dari tiga faktor di atas, melainkan satu unsur yang paling mendasar yaitu hilangnya rasa memiliki. Merasa kalau tidak ada dana operasionalnya, EGP sajalah. Lha itu gaji bulanan utk apa ?! Menunggu hingga timbul korban dan saling tunjuk krn tak mau disalahkan. Kewajiban sebenarnya sama saja, baik bagi:
- eksekutif pengelola daerah tsb (departemen, kanwil, pemda),
- penegak hukum (polisi, abri, satpol pp, satpam, hansip),
- pemberi izin listrik, air, bangunan (PLN, PAM),
- masyarakat, terutama yg mukim di sana atau mencari nafkah di sekitarnya.
Tak kurang dari lima kejadian yg saya catat dalam hubungan sebab akibat yg serupa.
(1,2,3) Kebakaran lapak/rumah triplek di simpang susun tol Pluit
Ini hebat dalam kurun waktu satu tahun tiga bulan terjadi tiga kali. Dua kali yg pertama pada 22 Mei dan 7 Agustus 2007 (Pluit dan Jembatan Tiga antara KM24,300 dan KM 24,500), disusul yg ketiga (what !!!) pada awal Oktober 2008 (di KM19). Dua kebakaran susul menyusul di tahun 2007 memaksa Departemen PU dan CMNP (pengelola tol) utk mengevaluasi struktur pilar penyangga tol susun tsb. Kekuatan baja penyangga turun 20-25% sehingga hanya mobil2 kecil yg boleh lewat di atasnya dan pada masa-masa tertentu satu dua jalur tol menuju bandara tsb terpaksa ditutup. Alhasil merangkaklah ribuan kendaraan per jam nya di atas sana. Polusi udara, suara, buang bahan bakar percuma, dan kehilangan waktu terjadi otomatis tiap hari selama 4-5 bulan menunggu tuntasnya perbaikan tsb. Bukan hanya di tol layang saja, di jalur arteri (bukan tol) mengular berbagai jenis kendaraan raksasa yg terpaksa dialihkan karena tak boleh merayap di atas. Suasana pamer paha benar2 dirasakan warga Jakarta yg melintasi Pluit-Jemb Tiga-Kota-Mangga Dua-Jemb Dua di saat jam-jam sibuk. Kami pun turut menderita tiap kali harus memakai tol ini ke dan dari bandara.
Apa tanggapan pihak2 terkait ?
(Kh1) Kepala Badan Litbang Dep PU: ”Sebenarnya sejak semula saya tidak setuju bangunan liar dibangun di sana atau di ruas jalan nasional lainnya, tapi apa yang bisa kami lakukan karena ada pihak yang memberi ijin. Terbukti mereka membayar pajak bumi dan bangunan, memiliki sambungan telepon dan listrik, ” katanya.
dibalas dengan:
(Kh2) Hal itu disesalkan Gubernur DKI Jakarta karena jika satu daerah dikelola orang lain terjadi tumpang tindih wewenang. Penghuni kolong Jalan Tol Jembatan Tiga Pluit Jakarta Utara memang berada di Wilayah DKI Jakarta namun kewenangan berada di pemerintah pusat. Dan jika sudah ada kejadian seperti ini kita selalu yang kena limpahannya, kata Sutiyoso
Siapa yg pernah menyangka kejadian "remeh" (mungkin terbakar atau dibakar dengan "trik" kortsluiting) di kolong jembatan bisa melumpuhkan pilar-pilar beton gemuk itu. Kelalaian yg menyebabkan kerugian sangat besar baik materil maupun non-materil.
Dan yang membuat dengkul ini lemes, kejadian ketiga dengan penyebab yg sama pada 05/10/2008 03:45 WIB. Gila kan ! Nyemplung ke sumur (bukan lubang di jalan yg gelap) yg sama tiga kali. Perhatikan komentar KaSi Patroli jasa marga:
“Kebakaran kali ini tidak merusak kontruksi tol interchange seperti yang terjadi pada kebakaran sebelumnya beberapa bulan lalu. Arus lalu lintas kita tutup sementara dan dibuka kembali saat api berhasil dipadamkan,”
Tanpa rasa malu, apalagi rasa menyesal krn "sesuatu yg dimilikinya" hilang. Jika tidak ada kebakaran kan uang nya dapat dipakai utk kesejahteraan pegawai. Koq bisa-bisanya lapak liar itu berdiri lagi di sana (atau di lokasi lain di bawah tol) ? Bukannya dibersihkan seluruhnya sejak kejadian tahun lalu ? Apa mereka pikir krn jalan tol itu di atas, tidak bakal terganggu oleh keriuhan di bawah ?
(4) Kebakaran 24 gerbong KA yg diparkir di sta Rangkasbitung.
Senin 11 Oktober 2010 01.25 WIB, delapan belas gerbong kereta ekonomi langsung meleleh tanpa ampun dan puso tak dpt dipakai lagi. Sementara enam kawannya rusak "ringan" dindingnya saja yg terjilat api. Pemadam kebakaran bekerja keras selama 3 jam utk meredupkan api yg dipercaya timbul dari lilin yg biasa dipakai para gelandangan "menginap" di dalam gerbong2 yg diparkir di setiap malam hari ini. Hitung kerugian akibat main api ini ... eh ... membiarkan gerbong dan stasiun/bengkel KA tidak steril dari lalu lintas manusia di luar jam operasional KA. Puluhan ribu pemakai KA esok paginya pasti menggerutu hebat tanpa dapat meminta kompensasi apa-apa dari KAI atau Dephub.
Apa reaksi menteri yg berhubungan:
"Tidak semua peristiwa yang berhubungan dengan perhubungan seperti tabrakan kereta, mati lampu di bandara, harus selalu dipertanyakan kepada dirinya. Harus dilihat terlebih dahulu siapakah yang memiliki tanggung jawab tersebut.
"Kalau yang urusan regulasi, itu langsung saya tangani. Tetapi kan ada urusan bisnis yang tangani BUMN. Kalau itu regulasi yang saya bikin salah, itu yang tanggung jawab saya. Tapi kesalahan dalam operasionalisasi bisnis, itu wewenang BUMN dan itu harus kita tegakkan dengan baik," tukasnya.
(5) Kabel sinyal KA meleleh akibat kebakaran
Kejadian berikutnya saya baca di surat kabar lokal saat ke Jakarta beberapa hari lalu. Tepatnya dini hari 06/01/2011 terjadi kebakaran yg menimpa 30 lapak di bawah rel layang di Jl. Pangeran Jayakarta. Api melelehkan sebagian kabel serat optik yg melintas di dekat area kebakaran, mengganggu sinyal dan wesel (pengatur rel) perjalanan kereta api. Melelehnya kabel serat optik membuat rute KRL Bogor-Jakarta kacau. Total kerugian biaya belum dihitung sementara akibat waktu perbaikan sekitar enam jam. Keterlambatan yg dialami penumpang bervariasi antara 45 menit hingga 1 jam.
Kita baca adu tanduk komentar nya:
(Kh1) Kepala Humas Ditjen Perkeretaapian Kementerian Perhubungan Muhartono menyatakan, pengadaan sinyal memang dilakukan oleh Ditjen Perkeretaapian. ”Setelah beroperasi, perawatan, pemeriksaan, dan pengoperasian perangkat itu kami serahkan kepada PT KAI,” tuturnya
ditangkis dengan:
(Kh2) menurut Kepala Humas PT KAI Sugeng Priyanto, sarana dan prasarana perkeretaapian sepenuhnya menjadi wewenang Ditjen Perkeretaapian.
Weleh .. weleh ... tumpang tindih kambing hitam ini memang terjadi di mana2.
Lebih heran lagi mengapa lapak-lapak (gubuk liar) di berbagai tempat ini bermunculan baik yg hanya triplek/seng, semi-permanen hingga permanen sekalipun. Koq sampai PLN menyalurkan listrik (atau oknumnya saja dengan ongkos tertentu) ? Padahal utk memasang listrik secara resmi saja kita perlu menunggu cukup lama dan membayar tidak murah. Heran kalau pemilik gubuk itu berterus terang bayar PBB juga, PBB apa pungli sama oknum pemda yg mampir ke sana tiap bulan ?
Jika instansi berwenang berkata TIDAK untuk memberi izin sejak baru satu yg tumbuh di sana,
Jika polisi rajin mengintip ke kolong jembatan atau daerah2 remang lain,
Jika tak ada suplai listrik/telepon/air mengalir ke sana,
Tentulah tidak akan ada gubuk liar tsb, tidak perlu aksi penggusuran yg memilukan, debat kusir dengan LSM, membayarkan uang kerahiman (siapa yg salah sebenarnya sih, mestinya mereka yg harus menanggung kerugian masyarakat dan pemerintah !) dan kebakaran multi-miliar yg tak perlu ini.
Kembali ke awal niat saya menulis ini, kembalikanlah rasa memiliki itu. Pejabat pemerintah hingga satpol PP sudah diberi gaji utk membuat hidup di kota itu lebih nyaman. Tak perlu dana operasional khusus lagi, apalagi jadi cukong yg menjadi backing gubuk liar tsb !
Sumber:
(1) DEP PU TELITI KONDISI KONSTRUKSI TOL PLUIT (10/08/2007)
(2) Kebakaran di Kolong Tol Pluit
(3) Tumpang tindih wewenang
(4) Meleleh
(5) Meleleh
(6) Rangkasbitung
(7) Rangkasbitung
(1,2,3) Kebakaran lapak/rumah triplek di simpang susun tol Pluit
Ini hebat dalam kurun waktu satu tahun tiga bulan terjadi tiga kali. Dua kali yg pertama pada 22 Mei dan 7 Agustus 2007 (Pluit dan Jembatan Tiga antara KM24,300 dan KM 24,500), disusul yg ketiga (what !!!) pada awal Oktober 2008 (di KM19). Dua kebakaran susul menyusul di tahun 2007 memaksa Departemen PU dan CMNP (pengelola tol) utk mengevaluasi struktur pilar penyangga tol susun tsb. Kekuatan baja penyangga turun 20-25% sehingga hanya mobil2 kecil yg boleh lewat di atasnya dan pada masa-masa tertentu satu dua jalur tol menuju bandara tsb terpaksa ditutup. Alhasil merangkaklah ribuan kendaraan per jam nya di atas sana. Polusi udara, suara, buang bahan bakar percuma, dan kehilangan waktu terjadi otomatis tiap hari selama 4-5 bulan menunggu tuntasnya perbaikan tsb. Bukan hanya di tol layang saja, di jalur arteri (bukan tol) mengular berbagai jenis kendaraan raksasa yg terpaksa dialihkan karena tak boleh merayap di atas. Suasana pamer paha benar2 dirasakan warga Jakarta yg melintasi Pluit-Jemb Tiga-Kota-Mangga Dua-Jemb Dua di saat jam-jam sibuk. Kami pun turut menderita tiap kali harus memakai tol ini ke dan dari bandara.
Apa tanggapan pihak2 terkait ?
(Kh1) Kepala Badan Litbang Dep PU: ”Sebenarnya sejak semula saya tidak setuju bangunan liar dibangun di sana atau di ruas jalan nasional lainnya, tapi apa yang bisa kami lakukan karena ada pihak yang memberi ijin. Terbukti mereka membayar pajak bumi dan bangunan, memiliki sambungan telepon dan listrik, ” katanya.
dibalas dengan:
(Kh2) Hal itu disesalkan Gubernur DKI Jakarta karena jika satu daerah dikelola orang lain terjadi tumpang tindih wewenang. Penghuni kolong Jalan Tol Jembatan Tiga Pluit Jakarta Utara memang berada di Wilayah DKI Jakarta namun kewenangan berada di pemerintah pusat. Dan jika sudah ada kejadian seperti ini kita selalu yang kena limpahannya, kata Sutiyoso
Siapa yg pernah menyangka kejadian "remeh" (mungkin terbakar atau dibakar dengan "trik" kortsluiting) di kolong jembatan bisa melumpuhkan pilar-pilar beton gemuk itu. Kelalaian yg menyebabkan kerugian sangat besar baik materil maupun non-materil.
Dan yang membuat dengkul ini lemes, kejadian ketiga dengan penyebab yg sama pada 05/10/2008 03:45 WIB. Gila kan ! Nyemplung ke sumur (bukan lubang di jalan yg gelap) yg sama tiga kali. Perhatikan komentar KaSi Patroli jasa marga:
“Kebakaran kali ini tidak merusak kontruksi tol interchange seperti yang terjadi pada kebakaran sebelumnya beberapa bulan lalu. Arus lalu lintas kita tutup sementara dan dibuka kembali saat api berhasil dipadamkan,”
Tanpa rasa malu, apalagi rasa menyesal krn "sesuatu yg dimilikinya" hilang. Jika tidak ada kebakaran kan uang nya dapat dipakai utk kesejahteraan pegawai. Koq bisa-bisanya lapak liar itu berdiri lagi di sana (atau di lokasi lain di bawah tol) ? Bukannya dibersihkan seluruhnya sejak kejadian tahun lalu ? Apa mereka pikir krn jalan tol itu di atas, tidak bakal terganggu oleh keriuhan di bawah ?
(4) Kebakaran 24 gerbong KA yg diparkir di sta Rangkasbitung.
Senin 11 Oktober 2010 01.25 WIB, delapan belas gerbong kereta ekonomi langsung meleleh tanpa ampun dan puso tak dpt dipakai lagi. Sementara enam kawannya rusak "ringan" dindingnya saja yg terjilat api. Pemadam kebakaran bekerja keras selama 3 jam utk meredupkan api yg dipercaya timbul dari lilin yg biasa dipakai para gelandangan "menginap" di dalam gerbong2 yg diparkir di setiap malam hari ini. Hitung kerugian akibat main api ini ... eh ... membiarkan gerbong dan stasiun/bengkel KA tidak steril dari lalu lintas manusia di luar jam operasional KA. Puluhan ribu pemakai KA esok paginya pasti menggerutu hebat tanpa dapat meminta kompensasi apa-apa dari KAI atau Dephub.
Apa reaksi menteri yg berhubungan:
"Tidak semua peristiwa yang berhubungan dengan perhubungan seperti tabrakan kereta, mati lampu di bandara, harus selalu dipertanyakan kepada dirinya. Harus dilihat terlebih dahulu siapakah yang memiliki tanggung jawab tersebut.
"Kalau yang urusan regulasi, itu langsung saya tangani. Tetapi kan ada urusan bisnis yang tangani BUMN. Kalau itu regulasi yang saya bikin salah, itu yang tanggung jawab saya. Tapi kesalahan dalam operasionalisasi bisnis, itu wewenang BUMN dan itu harus kita tegakkan dengan baik," tukasnya.
(5) Kabel sinyal KA meleleh akibat kebakaran
Kejadian berikutnya saya baca di surat kabar lokal saat ke Jakarta beberapa hari lalu. Tepatnya dini hari 06/01/2011 terjadi kebakaran yg menimpa 30 lapak di bawah rel layang di Jl. Pangeran Jayakarta. Api melelehkan sebagian kabel serat optik yg melintas di dekat area kebakaran, mengganggu sinyal dan wesel (pengatur rel) perjalanan kereta api. Melelehnya kabel serat optik membuat rute KRL Bogor-Jakarta kacau. Total kerugian biaya belum dihitung sementara akibat waktu perbaikan sekitar enam jam. Keterlambatan yg dialami penumpang bervariasi antara 45 menit hingga 1 jam.
Kita baca adu tanduk komentar nya:
(Kh1) Kepala Humas Ditjen Perkeretaapian Kementerian Perhubungan Muhartono menyatakan, pengadaan sinyal memang dilakukan oleh Ditjen Perkeretaapian. ”Setelah beroperasi, perawatan, pemeriksaan, dan pengoperasian perangkat itu kami serahkan kepada PT KAI,” tuturnya
ditangkis dengan:
(Kh2) menurut Kepala Humas PT KAI Sugeng Priyanto, sarana dan prasarana perkeretaapian sepenuhnya menjadi wewenang Ditjen Perkeretaapian.
Weleh .. weleh ... tumpang tindih kambing hitam ini memang terjadi di mana2.
Lebih heran lagi mengapa lapak-lapak (gubuk liar) di berbagai tempat ini bermunculan baik yg hanya triplek/seng, semi-permanen hingga permanen sekalipun. Koq sampai PLN menyalurkan listrik (atau oknumnya saja dengan ongkos tertentu) ? Padahal utk memasang listrik secara resmi saja kita perlu menunggu cukup lama dan membayar tidak murah. Heran kalau pemilik gubuk itu berterus terang bayar PBB juga, PBB apa pungli sama oknum pemda yg mampir ke sana tiap bulan ?
Jika instansi berwenang berkata TIDAK untuk memberi izin sejak baru satu yg tumbuh di sana,
Jika polisi rajin mengintip ke kolong jembatan atau daerah2 remang lain,
Jika tak ada suplai listrik/telepon/air mengalir ke sana,
Tentulah tidak akan ada gubuk liar tsb, tidak perlu aksi penggusuran yg memilukan, debat kusir dengan LSM, membayarkan uang kerahiman (siapa yg salah sebenarnya sih, mestinya mereka yg harus menanggung kerugian masyarakat dan pemerintah !) dan kebakaran multi-miliar yg tak perlu ini.
Kembali ke awal niat saya menulis ini, kembalikanlah rasa memiliki itu. Pejabat pemerintah hingga satpol PP sudah diberi gaji utk membuat hidup di kota itu lebih nyaman. Tak perlu dana operasional khusus lagi, apalagi jadi cukong yg menjadi backing gubuk liar tsb !
Sumber:
(1) DEP PU TELITI KONDISI KONSTRUKSI TOL PLUIT (10/08/2007)
(2) Kebakaran di Kolong Tol Pluit
(3) Tumpang tindih wewenang
(4) Meleleh
(5) Meleleh
(6) Rangkasbitung
(7) Rangkasbitung
No comments:
Post a Comment