Lha ... kalau saya sendiri pelakunya, bagaimana ?
*****
Bukan sekali dua kali, jujurly kadang saya terperangkap beragam kemudahan dikarenakan sesuatu privilege dari luar. Akhirnya kita memperoleh fasilitas tsb sementara orang lain tidak mendapatkannya. Apa ini suatu kesalahan ?
Di lain waktu kita berteriak,
(1) Wooeeey mentang-mentang anggota Dpr, seenaknya x#$@&**!.
(2) Lihat tuh pakai stiker elang noleh kiri, makanya berani pakai busway.
(3) Hmm pantas, dikawal pengawal berseragam rupanya, makanya tak harus antri.
Itu semua lagi-lagi hanya di negeri tertjinta burung garuda kan ...
(atau di negeri lain jg begitu)
Tapi kalau saya sendiri yg memperolehnya bagaimana ?
Haruskah menolak status khusus itu dengan alasan idealis, takut dosa ?
Padahal keistimewaan tsb nggak meriah-meriah amat, apalagi bersifat korupsi atau kolusi. Bukan fasilitas yg menghajar hajat hidup orang banyak ...
Contohnya ...
1. Tak sengaja dibawa supir taxi nekad menembus busway di tengah kemacetan sore. Jujurly saya "memerlukannya" krn harus cepat tiba di rumah mengejar Maghrib.
2. Dibawa jalur khusus tanpa antri di bandara krn "kebetulan" bertemu saudara yg pejabat bandara.
3. Menikmati layanan kelas satu krn kebetulan travelling bersama bos besar. Jadi kecipratan entertaint nya si boss :-)
Saya merasakan ini berbeda jika kita yg mengusahakannya sendiri. Misalnya berhasil memperoleh beasiswa krn perjuangan ekstra, mendapat tiket menginap gratis krn anak kita lulus dgn nilai terbaik, tiba2 diupgrade jadi penumpang first class krn sering terbang, kupon belanja krn dapat durian runtuh di reuni kampus dll.
Hmmm....
Rasanya diri ini memang masih belum layak bermimpi jadi pejabat pelayan masyarakat.
Krn jujurly masih "menikmati" segala kemudahan yg suka saya tuduhkan pada pejabat :-(
Asal Teriak Saja
Kadang masyarakat meminta agar pejabat publik menjadi teladan. Sementara di saat pejabat yg baru diangkat kurang dari tiga puluh hari itupun belum tahu benar seluk beluk jabatan / kewenangan yg dimilikinya. Boro-boro ngomong teladan ... selain akal dan hati nurani saja panutannya. Jika sang pejabat saja belum tahu, belum pernah lihat contract letter nya sebagai pejabat, apalagi publik yg hanya jadi penonton.
Hal-hal lain seperti fasilitas yg diterima si pejabat di hari ia resmi menjabat. Apa saja itu ? Bisa jadi itu memang sudah satu paket, yg jika mau di"adjust" spt dari *volvo jadi kijang* atau *downgrade dari rumah mewah ke rumah biasa*, agak susah krn semua sudah dianggarkan. Penerima fasilitas hanya mampu mengatur diri terhadap biaya yg berjalan ke depan misalnya tak boros listrik/air/telp/bensin (meski semua dibayari), mengurangi waktu kunjungan, booking hotel 4* instead 5*, travel economy class instead biz class, tak membawa keluarga saat urusan dinas dll. Bahkan si pejabat pun biasanya tak dapat berbuat apa-apa di saat ia baru tahu bahwa ia berlangganan 10 surat kabar tanah air tiap hari, 10 majalah tiap minggu, hingga bingung bagaimana mengatur waktu membaca itu semua. Belum lagi langganan yg lainnya ...
Jadi apakah pantas kita berteriak sementara kita hanya penonton yg kurang periksa. Sementara ulah kita pun tak lebih baik dari si pemain atau bahkan bila diamanahi jabatan yg sama malah lebih konyol dari itu. Satu contoh keseharian yang sudah membudaya di jalan adalah hobby mengekor iringan ambulans, vorrijder pejabat, motor2 pengarak bendera kuning ke TPU tanpa sadar ulahnya membuat antrian kekesalan yg tambah panjang. Lha ... para supirs/bikers pengekor ini pun kalau tak salah paling lantang teriaknya saat mendemo :-(
*foto comot di sini.
No comments:
Post a Comment