Jan 13, 2006

The rationale of chip production… or the way the cookie crumbles


At first glance the baker’s trade doesn’t have much to do with manufacturing microchips. Yet a closer look at the utilization of the prime production area – here the baking tray, there the wafer – reveals quite a few areas of common ground. The semiconductor industry definitely has the edge though.

Analysis of the baking process shows a high percentage of fixed production costs. These are accounted for firstly, of course, by the bakehouse premises (we would say fab) and secondly by the mixing and kneading machines and ovens (we say equipment). The variable costs for eggs, flour and grain (in our case wafers, gases, electricity, water) are negligible. So the machinery is in place, it just needs to be used as efficiently as possible. Optimization of the saleable products per baking tray is the name of the game.

The crux of the matter is to increase the number of cookies per oven charge. To achieve this, a first step would see simply placing the cookies closer to one another, concealing virtually the entire baking tray. We try to do that, too. The individual chips are so close together as to allow only the diamond saw-blade or laser beam to pass through. This scoring line between the chips – the so called kerf – is today only about 50 micrometers wide (about the thickness of a human hair).

A second step would see increasing the number of cookies by downsizing them – at the same selling price, of course. This recommendation would work as long as the customer still recognizes the cookies as such and accepts them. Increasing the number of chips at the expense of size is common practice. It’s called “shrinking” the chips. And here semiconductor technology has a peerless advantage over all other worldly goods: the smaller chip functions just as well as its larger precursor. When it comes to the enclosed end product you can’t even tell the difference between the two versions and so they can command the same price. (At least in theory. If the customer is aware that the chip is smaller and was therefore manufactured more economically, he’ll try to beat down the price). This pattern of chip evolution, that the smaller and cheaper (i.e. the chip proper and ultimately the transistors) fill the bill just as well as - and often better than - the larger and more expensive, was once dubbed “God’s gift to man” by the scientist Yuan Taur. No other technology has undergone shrinkage on anything like this scale, and by no means over a period spanning more than four decades. Were the cookies to have been systematically downsized over this length of time, their nutritional value would meanwhile be infinitesimal.

Once the exercise of downsizing the cookies has reached the crunch point, the third stage of optimization would be introduced: larger trays and perforce larger ovens. The step to a larger wafer is witnessed about every five to seven years. A larger wafer accommodates a higher number of chips. This is so firstly because it is simply larger. Secondly, the chips can fill the peripheral area better due to the reduced curvature. The changeover to larger wafers calls for new machinery all down the line, entailing significant investment.

The final tip: twenty-four-seven baking for better utilization of the machinery and ovens. This is a step the baker reluctantly accepts. Needless to say though, production in the chip industry operates in shifts, day and night. Economic reasons dictate that the multibillion-dollar machinery must not be left idle at any time.Getting to grips with the immense fixed costs hence requires vast quantities. It is imperative to use the most precious commodity, the wafer surface, as efficiently as possible. Therefore it is not without good reason that it’s occasionally also referred to as ‘real estate’.At ground-root level many of our colleagues are doing nothing other than the baker next door: baking smaller and smaller cookies to increase the output per tray. It just remains to be hoped that they’ll also sell like hot cakes!

(copy-paste from internal IFX emag: Joe corner)

Dec 10, 2005

Kisah Negeri Ayam

Syahdan, berkumpullah para ayam dari segenap penjuru ayam semesta, mereka berkumpul membicarakan nasib mereka yg sering diberi kesan negatif oleh bangsa manusia, mereka ingin membuat komunike bersama, membuat nota protes karena merasa dirugikan. Segala jenis ayam hadir, mulai dari ayam kampung, ayam ras, ayam jago, ayam sayur, ayam broiler, dari jawa barat hadir ayam pelung yg datang dari cianjur, dari jawa tengah hadir, ayam bekisar, ayam kalasan, suharti dan wong solo, dari lombok hadir pula ayam (bakar) taliwang, dari sumatera hadir ayam kinantan dg kostum PSMSnya serta ayam balado, yang datang di iringi dg lagu kebangsaannya lagu "ayam den lapeh", yg begitu menggema dg kutipan syair berikut; "luruihlah jalan payakumbuah babelok jalan ka biaro ba' a ati indak ka rusuah ayam den lapeh, oi oi ayam den lapeh" Hadir pula perwakilan dari luar negeri, mulai yg dekat ayam bangkok, ayam kate, ayam cemani, sampai dari negeri jauh ayam kentucky dg logo KFC tersemat di dadanya. Setelah hadir semua, mulailah masing2 ayam hadir ke depan mengemukakan pendapatnya. Ayam pelung dari Cianjur maju ke depan, saya protes berat, merasa direndahkan karena sekolah disamakan dg kandang ayam, seperti puisi guru yg membuat heboh itu, kandang saya sama seperti kandang ayam bekisar kawan saya memang lebih bagus, karena saya memang mahal harganya, suara saya bagus dan bulu saya juga indah, jadi wajar saja saya dapat tempat yg bagus. Mengapa pula kandang bangsa ayam di rendahkan, tak boleh kan kami punya tempat ygnyaman? yah itu mah salah sendiri kontraktor yg membangun sekolahan, mengapa mereka meng korupsi dana untuk membangun gedung sekolah, koruptor itulah yg disalahkan, jangan merendahkan bangsa ayam, ujarnya sengit. Tiba tiba, ayam balado yg sering memberikan protes pedas, datang ke muka, wahai ayam pelung dari cianjur, tahu kah kamu bahwa di Cianjur sana, ada sekolah SMA yg ruang kelasnya akhirnya dipakai main "ayam ayaman", sampai murid2 dipecat dari sekolah tsb, supir angkot pun menggelarinya "ayam sekolahan", saya merasa tersinggung berat, kenapa orang yg melakukan hal2 yg hina tsb di istilah kan dg ayam atau ayam dalam tanda kutip. Seperti istilah ayam kampus untuk wanita2 sekolah tinggi yg berperilaku tidak senonoh, atau ayam kantoran yg suka selingkuh. Sebagai tokoh ayam feminis, saya protes berat, karena segenit genitnya juga ayam betina, tak ada yg mengejar ngejar ayam jago atau memasrahkan dirinya pada ayam jantan tua yg sudah ubanan, sebagaimana perilaku sebagian wanita2 yg digelari dg istilah ayam tsb. Maaf, kami bangsa ayam, tidak lebih hina dari manusia untuk hal yg demikian, kami masih memegang etika kebinatangan, ujarnya. Kemudian datang ke depan ayam broiler, menceritakan betapa sedihnya jenis mereka, yg banyak dibakar, dimusnahkan di berbagai peternakan ayam, bahkan yg tak sakit sekalipun, karena dianggap menjadi biang penyakit flu burung yg banyak menewaskan juga manusia, burung yg jadi sumber penyakit, manusia yg kena penularan, tapi kenapa kami yg dibantai ?, katanya dengan rasa memelas. Kalau semua ayam habis, manusia juga yg kebingunan mencari makanan enak. Selanjutnya majulah ke depan, ayam jago, kami sekarang ayam jago yg sebelumnya berani berkokok keras, telah mulai ketakutan, karena ketika ada ayam jago yang berani membongkar korupsi dan kebusukan lainnya, malah akhirnya dikorbankan, ditelikung. kalau di China, ada pepatah lebih baik memotong se ekor ayam untuk menakuti seribu kera, sebagai kiasan untuk menghukum keras seorang koruptor agar yg lain takut korupsi, dalam kasus tsb (kasus ayam jago yg dikorbankan) terjadi kebalikannya, menelikung se ekor ayam jago agar tak ada lagi ayam jago yg berani berkokok keras, nampaknya nanti semua ayam jago hanya akan tinggal sejarah, karena semuanya menjadi ayam sayur belaka. Mungkin karena itu lah,saat ini, banyak yg kesiangan sholat shubuh, karena ayam jago mulai enggan untuk berkokok di pagi subuh. Ke depan juga ayam kampung, menyampaikan info intelejen, bahwa dirinya, akan dituduh sebagai sumber teror juga, hampir saja kandang akan didatangi pihak intelejen untuk memeriksa kurikulum sekolah ayam kampus, cakar ayam akan di ambil sidik cakarnya. Begitu menurut data intelejen CIA, ternyata teror memang berasal dari ayam. maksudnya, dari lubang belakang ayam lah keluar teror, yang oleh para teroris dibuat menjadi berbagai versi, mulai dari teror asin,teror setengah mateng sampai martabak teror.... tek..tek ko tek... (begitulah tawa ayam) Tiba tiba maju ke depan, ayam kentucky yg berbadan gemuk dan berbulu putih, "ayam sorry, my prends", ayam kampung terpaksa harus mengalami nasib spt itu, dituduh sebagai "teloris" dan kandangnya akan disusupi intel, itu adalah imbal balik dari pencabutan embargo militer dari negeri kami, take easy guys, ujarnya, ayam kampung pun hanya bisa terperangah ! Sambil bergumam naonnya ari "teloris" teh? da saya mah, memang biasa menghasilkan telor, apa salahnya? Ayam sayur dari Purwakarta bercerita pula, bahwa tadinya ia akan disalahkan juga sebagai penyebab amblasnya jalan tol cipularang, karena terjadi di desa pasir honje dekat desa pasir hayam, aneh aneh saja mereka mencari alasan, harusnya mereka membangun jalan tol itu pakai teknologi cakar ayam spt di jalan tol bandara, tuh, dijamin nggak akan amblas lagi deh, btw, walau nama kita dipakai utk teknologi sipil tsb (konstruksi cakar ayam) kita tak protes karena tak kebagian royalti, kita perlu berbesar hati, telah berbuat banyak utk manusia, walau manusia melakukan hal sebaliknya pada bangsa kita. Akhirnya tampil pula ayam cemani yg hitam kelam, wahai para ayam, rasanya tak ada gunanya juga kita sampaikan nota protes pada bangsa manusia, karena nampaknya telinga mereka walaupun lebih lebar dari telinga ayam, tidaklah lebih peka daripada kita. Kita minta saja mereka untuk introspeksi, mudah mudahan saja, hatinya lebih besar dan lebih enak daripada hati & ampela ayam. 


Bahwa manusia, walaupun mereka makhluk yg paling mulia di muka bumi ini, belumlah tentu semua manusia bersikap mulia juga, bahkan bisa jadi sebagian mereka berperilaku lebih rendah dari binatang seperti ayam. Bahkan untuk hal hal tertentu kami lebih unggul dari manusia, bayangkan dari lubang belakang kami bisa keluar telur yg lezat dan penuh gizi, bangsa manusia tak bisa berlaku demikian. Daging ayam sangat lezat, bandingkan dg daging manusia yg hanya disukai si Sumanto saja. Kaki kita saja menjadi inspirasi konstruksi cakar ayam. Saya, ayam cemani yg hitam, tetap dicari sebagai obat, bahkan nasib ku lebih bagus dari sesama kulit hitam juga, si Kambing hitam. he..he..he.., tertawa keras lah para ayam (tek kotek kek kek....)
 

Di Akhirat kelak, bangsa ayam tak akan di minta pertanggung jawaban, beda halnya dengan bangsa manusia yg harus mempertanggung jawabkan segala perbuatannya, tak ada ayam yg masuk neraka, tapi banyak manusia yg akan disiksa di neraka karena kesalahannya di dunia. Mudah mudahan manusia masih memiliki hati yg lebih besar dari yg kita miliki, utk bisa bertindak sesuai hati nuraninya, kita sebagai makhluk Tuhan yg mengabdi pada manusia, marilah kita bertindak sesuai tugas kita masing2, kalau manusia masih berbuat hal2 yg tidak baik, merugikan kita, biarlah Tuhan yg Maha Bijaksana memberikan balasannya. Pidato ayam cemani yg bijaksana tsb menutup pertemuan para ayam dan disambut kokokan seru dari semua ayam dan ditutup dg lengkingan keras suara kokok ayam jago, menutup pertemuan yg menjelang subuh tsb, sekalian membangunkan manusia yg masih tidur terlelap, Mengingatkan kita semua bahwa matahari sebentar lagi akan terbit. Hidup ini adalah perjuangan, Matahari telah terbit. Hari ini adalah hari perjuangan dg semangat baru. Majulah!


-- disadur dari milis IMAS --

Dec 5, 2005

Nov 29, 2005

Back to 0-1

Assembly ... Oh no, It was 10 years ago. And now things dont change :-)

// This file calculates Ck of given k
#define R_in R15

#define R_loop R14
#define R_out R13
#define R_s1 R12
#define R_s3 R11
.code

.org 0
ldi R_in 0 3 // Enter data, k
addi R_in R_in 0x10 // k = k+10
mvr R_out 0 R_in 0 8 0 // Copy data
mvr R_s1 0 R_in 7 1 0 // R_s1 initial value = R_in[7]
ldi R_loop 0 7 // 0..MSB-1
_A:

shi R_in R_in 1 0 0
mvr R_s3 0 R_in 7 1 0 // Get next bit
xor R_s1 R_s1 R_s3 0
decibr R_loop 1 _A 0
nop
subi R_s1 R_s1 1
brz _B 0
nop
addi
R_out R_out 0x80
_B:
nop // if even, do nothing
nop
break




Nov 20, 2005

Making a DivX Movie CD

Yesterday we just bought a DVD/DivX/VCD (plus a bunch of popular A/V formats) player from Mustafa and Samsuddin Co department store in Singapore. This famous giant store sold us an LG DK-9723P for very good bargain at SGD 115 while other shops offer SGD 139 as SALE price :-) It comes with free remote control, A/V cables, and without MICs for karaoke :-(

The good thing about this player is because it supports latest DivX format (one unique thing we want to try) . We would like try this format since we have some AVI files in DivX format from Harun Yahya spectacular series. Other formats and newest features of what a best DVD player should have also supported mostly.

It is as simple as dragging the DivX file to the CDRW drive to start writing the file onto the CD. Simple as that ! Once you have the 650+ MB file on that CD you are ready to play in in the player. The player will recognize the filename automatically and start playing it.

One tip: Ensure that the AVI file (DivX movies) that you choose are playable with native DivX player ver. 6.0 from divxnetworks.inc before start writing the CD.