Kadang hanya punya 8 detik.
Kadang kurang dalam 0.8 menit, keputusan harus dibuat.
8 detik itu waktu sadar saat alarm pukul 5 pagi berbunyi, menyadarkan jiwa, untuk membangunkan raga sempurna ambil air wudhu untuk mengejar subuh berjamaah di masjid.
0.8 menit itu waktu untuk memutuskan di dalam bus / mrt, apa perlu turun di stasiun terdekat atau lanjut mencari stasiun lain yang dekat masjid.
Skala prioritas, seberapa penting kah mengerjakan shalat. Di awal waktu, sebaik mungkin yang termampu. Sebaiknya memang dapat duduk di masjid sebelum azan, setingginya memang dapat berjamaah, senyamannya memang tak perlu tergesa-gesa dan masih sempat sunat tahiyyatul masjid dua rakaat.
Memang tak mudah: para tentara syaithan, konflik kepentingan, keletihan jiwa raga, dan salah perencanaan sering membuat salah keputusan. Padahal, teorinya mudah: utamakan shalat, dahulukan shalat, maka Allah swt akan memudahkan urusan.
Di penghujung malam, alarm berbunyi, antara keputusan mematikan alarm lalu tidur lagi atau langsung duduk dan bersiap ambil wudhu. Rumah kami terletak cukup jauh dari masjid, hingga perlu bersepeda sekitar 10 menit. Nah, perlu berwudhu, ganti pakaian, dan bersepeda. Persiapan 20 menit inilah yang diperlukan untuk mengejar keutamaan shalat berjamaah 27 derajat.
Dalam kasus lain, terutama bagi waktu-waktu shalat yang sempit, seperti Ashr atau Maghrib. Perlu perencanaan matang, berangkat lebih awal dan coba melalui bus stop / penghentian MRT yang dekat masjid. Perlu pengorbanan, jelas, apalagi jika kondisi yang terpaksa. Harus berjalan memutar, ongkos taksi, berpanas-panas dahulu dll ... Namun itu semua tak sepadan jika dibandingkan rahmat atau berkah (insyaa Allah) yang akan diperoleh sesuai janji Allah dan rasul Nya. Pengalaman pribadi yang saya rasakan: berdoa lah agar diberi kemudahan untuk dapat menunaikan shalat dan juga doa meminta petunjuk dan kemudahan akan keputusan/urusan selepas shalat. Kepada Allah swt kembali semua urusan dan Ia lah Sang Pemilik waktu.
Refleksi tulisan enam tahun lebih yang lalu dan masih tetap berjuang.
Kadang kurang dalam 0.8 menit, keputusan harus dibuat.
8 detik itu waktu sadar saat alarm pukul 5 pagi berbunyi, menyadarkan jiwa, untuk membangunkan raga sempurna ambil air wudhu untuk mengejar subuh berjamaah di masjid.
0.8 menit itu waktu untuk memutuskan di dalam bus / mrt, apa perlu turun di stasiun terdekat atau lanjut mencari stasiun lain yang dekat masjid.
Skala prioritas, seberapa penting kah mengerjakan shalat. Di awal waktu, sebaik mungkin yang termampu. Sebaiknya memang dapat duduk di masjid sebelum azan, setingginya memang dapat berjamaah, senyamannya memang tak perlu tergesa-gesa dan masih sempat sunat tahiyyatul masjid dua rakaat.
Memang tak mudah: para tentara syaithan, konflik kepentingan, keletihan jiwa raga, dan salah perencanaan sering membuat salah keputusan. Padahal, teorinya mudah: utamakan shalat, dahulukan shalat, maka Allah swt akan memudahkan urusan.
Di penghujung malam, alarm berbunyi, antara keputusan mematikan alarm lalu tidur lagi atau langsung duduk dan bersiap ambil wudhu. Rumah kami terletak cukup jauh dari masjid, hingga perlu bersepeda sekitar 10 menit. Nah, perlu berwudhu, ganti pakaian, dan bersepeda. Persiapan 20 menit inilah yang diperlukan untuk mengejar keutamaan shalat berjamaah 27 derajat.
Dalam kasus lain, terutama bagi waktu-waktu shalat yang sempit, seperti Ashr atau Maghrib. Perlu perencanaan matang, berangkat lebih awal dan coba melalui bus stop / penghentian MRT yang dekat masjid. Perlu pengorbanan, jelas, apalagi jika kondisi yang terpaksa. Harus berjalan memutar, ongkos taksi, berpanas-panas dahulu dll ... Namun itu semua tak sepadan jika dibandingkan rahmat atau berkah (insyaa Allah) yang akan diperoleh sesuai janji Allah dan rasul Nya. Pengalaman pribadi yang saya rasakan: berdoa lah agar diberi kemudahan untuk dapat menunaikan shalat dan juga doa meminta petunjuk dan kemudahan akan keputusan/urusan selepas shalat. Kepada Allah swt kembali semua urusan dan Ia lah Sang Pemilik waktu.
Refleksi tulisan enam tahun lebih yang lalu dan masih tetap berjuang.
No comments:
Post a Comment