Sekitar tahun 1999 saya pernah membantu pembagian daging qurban di Masjid Darussalam Clementi. Pengalaman pertama heran ! Profil pengantrinya itu loh, berbeda dengan penampakan pengantri di masjid2 Jakarta. Malah bbrp penerima derma justru berpenampilan mapan jauh dari kesan orang kurang materi. Bukan macam orang2 yg memang "deserved for the meat" :-)
Sebelas tahun kemudian tepatnya idul adha 1431H kemarin, kami berniat berhari raya di sini. Saya shalat di masjid dekat rumah. Halaman masjidnya kecil sementara biri-biri tampak berdesakan di sebidang tanah kecil yg disediakan luar wilayah masjid. Wah bagaimana prosesi penyembelihannya nanti ya, raguku dalam hati. Seusai shalat tampak orang2 yg sibuk mulai memasang tenda, tali temali, dan mengasah pisau/golok yg akan dipakai. Ambil sepeda, saya langsung kabur pulang.
*****
Eh setiba di rumah, Elwis punya agenda khusus rupanya. Ingin melihat penyelenggaraan qurban di sini, apa dan bagaimana sih. Tadinya mau ke masjid tadi saja, tapi saya ingat kurang selesa rasanya menyaksikan (beramai-ramai) di tempat yg sempit. Akhirnya kami putuskan pergi ke Darul Ghufran (DG) yg berlokasi di Tampines, mesjid terbesar yg ada di timur Singapura. Hari sudah menunjukkan pukul 11 pagi.
Benar saja di DG suasananya jauh lebih lega, rapi, dan profesional. Mendekati TKP, sudah mulai tercium bau hewan qurban :-) Di padang rumput belakang mesjid tampak dua kemah besar: Kemah satu utk keluarga orang yg berqurban dan penerima qurban resmi (maksudnya pegang kupon yg diberi pihak mesjid), Kemah dua utk penerima UMUM. Wah ... ada toh model begini. Hmm .. dikenang peristiwa sebelas tahun y.l mungkin penerima umum ini yg dulu ikut antri daging qurban yg saya bagikan. Makanya penampilan lebih lawa (elok, keren) he..he.. Sebenarnya penerima qurban ini boleh siapa saja, tapi adabnya (sesuai niat awal si penderma) tentulah didahulukan orang yang kurang mampu (miskin, fakir), pekerja qurban, penderma sendiri, dan ada sisanya baru dibagikan kepada umum.
Jadi tidak ada salahnya jamaah dari kalangan umum menerima qurban. Tanpa kupon resmi, mereka hanya cukup menunjukkan kartu tanda pengenal utk memperoleh satu plastik asoy daging biri-biri Australia segar (sekitar 1/2 kg beratnya). Waktu pengambilan bagi mereka pun dibatasi dan selalu mengikut "While Stock Last".
Sekilas saya mencatat beberapa poin perbedaan prosesi qurban di negeri mapan ini:
- Antrian pendek: baik antrian yg sangat berhak menerima, apalagi antrian umum. Pencatatan tetap perlu baik kupon atau ktp.
- Pelaksanaan bersih (alat-alat, plastik kotoran, sampah, penampungan darah) dan tidak menghabiskan air. Hanya saja memang banyak plastik hitam (utk pembuangan) yg terpakai.
- Hewan biri-biri saja. Ini benar2 hewan terkalem yg saya tahu, tidak meronta, tidak ramai mengembik, dan lebih labil. Mgkn karena kecapekan diterbangkan dari jauh. Serupa ungkapan "Silence of the Lamb" cocoknya. Sapi tidak ikut serta, menurut info yg saya terima, ini utk menjaga perasaan orang Hindu (India) yg juga warga di sini.
- Paling top adalah penanganan sampahnya. Gerobak pembawa sampah cukup dan bak sampah (waste container) yg dapat diangkut langsung oleh truk sampah sudah nangkring (standby) di sebelah kiri mesjid (lihat gambar). Luar biasa, tak heran kalau harga qurban 1 biri-biri di sini memang mahal, termasuk dalamnya ongkos prosesi ini mungkin sekitar $30-50 per kepala. Ongkos tadi bukan untuk gaji pekerja, krn mereka umumnya sukarelawan/wati mesjid, melainkan untuk membeli/menyewa alat-alat yg diperlukan tadi. Kalau saja di mushalla depan rumah saya sewa bak sampah tadi, sudah pasti satu jalan tertutup :-)
- Dan terakhir, antrian rapi. Jelas saja, di kepala masing2 orang sudah ada keyakinan bahwa tiap orang pasti dapat jatah ! Tidak perlu berebut. Petugas qurban pun bekerja cepat - qurban dikuliti, dagingnya dicincang dipisahkan dengan tulang, dimasukkan ke dalam plastik, masuk ke kontainer besar, dan ditaburi potongan es batu di atasnya. Nanti sukarelawan akan membawa kontainer itu dengan gerobak ke kemah 1 atau kemah 2. Daging diterima dalam keadaan fresh.
Alhamdulillah tanpa menunggu lama dan dengan memberanikan diri bermodalkan si kartu biru saya ikut mengantri di kemah nomor dua. Dan benar ampuh, tiada banyak tanya jawab, KTP ditunjukkan pada petugas dan dicatat. Sebagai tukarannya, kami dapat seplastik merah daging qurban, yg digulai beberapa hari kemudian. Hmm yummy, malah dapat sumsum tulang pula ! Hitung2 membantu panitia menghabiskan stok daging sebelum jam 3 sore dan tentunya pahala akan mengalir bagi para peserta qurban. Amiin.
Videonya ada juga di sini dan di sini.
Jika membandingkan Indonesia dengan negeri-negeri mapan di belahan bumi sana sama saja mencari keburukan negeri kita. Yang terpenting, kita harus selalu bersyukur dan menerima apa adanya bangsa dan negara kita. Tetapi tetap harus berjuang untuk menjadikannya bangsa dan negara yang lebih maju dan mapan seperti negeri-negeri yang Anda sebutkan itu agar tidak ada lagi pembandingan yang seolah memojokkan negeri sendiri.
ReplyDelete