Feb 11, 2007
The chip behind the mask
The masks in our field define the structures and hence the functions of the chip. Structures signify the elementary components of a chip, i.e. transistors, diodes, resistors, capacitors and their interconnections. These elementary components, in turn, have sub-structures such as doping areas or isolation layers, which are ultimately defined by the masks.
Masks are projection patterns and are used in the photolithographic exposure units in the front-end fab. They are glass plates made of high-purity quartz glass provided with a thin layer of chrome. The light-proof chrome layer defines the structures transferred to the wafer by an exposure process. Very stringent demands on the material are made in terms of purity, transmissivity and planarity. Photo masks have to be absolutely flawless because any defect would find itself on each wafer during exposure. So it is that the mask is the blueprint with which many millions of identical chips are produced. The structures of the mask are about four to five times larger than the structure to be created on the wafer, i.e. the structures on the masks are scaled down by the factor 4 to 5 as a result of the exposure process.
A varying number of masks are required for one chip, depending on complexity. Chips for power electronics or discrete components are of low complexity and get by with some 10 to 15 masks. Memory chips and complex logic chips need about 20 to 30 masks. Highly complex logic chips with numerous metal layers and high-frequency chips in BiCMOS technology require 30 to 40 masks.
The fewer masks required for the production of a chip, the better. This is so because each mask involves numerous additional production steps, such as applying photoresist, hardening photoresist, exposing or etching off photoresist. Firstly, these all harbor some probability of failure which potentially increases the scrap rate, and secondly they prolong the time of the wafer in the front-end fab and so also the time to market. And, on top of all that, each mask also costs money. Masks are the most expensive “material” used for chip manufacture. The cost for the complete mask set of a complex chip for a 65nm process meanwhile ranges at seven-digit level.
Mask manufacture is today a science in itself. The chrome structures are vapor deposited on the glass substrate in cleanroom processes. It is not least to the credit of the masks that we can today produce chip structures far smaller than the wavelength of the laser light used. The nature of the light is exhausted by performing breathtaking physical feats. On the one hand, the undesired light diffraction phenomenon is compensated by the mask (referred to as optical proximity correction) and, on the other, a phase shift of the lightwaves during passage through the glass substrate is attained by means of areas with varied glass thicknesses (phase change masks), which is used to control light intensity on the wafer surface. These are currently hot spots in mask manufacture. The cost of research and development can hardly be borne by semiconductor manufacturers alone.
(edited from IFX magazine Jan 26, 2007)
Dec 30, 2006
Harimau Harimau
Manusia di mana juga di dunia harus mencintai manusia, dan untuk menjadi manusia haruslah orang terlebih dahulu membunuh harimau di dalam dirinya.
Untuk membina kemanusiaan perlulah mencinta, orang sendiri tak dapat hidup sebagai manusia.
Oleh Mochtar Lubis
Dec 15, 2006
Durian - Padang the 2nd
Nov 30, 2006
Front end, Back end


In the semiconductor industry all the process steps a wafer undergoes are called the front-end process, i.e. lithography, diffusion, ion implantation and applying the wiring levels. A wafer may pass through some stations several times, covering a distance of several kilometers in its up to seven-week odyssey. In the end the individual process steps may number as many as 500, all taking place in the front-end production hall, casually referred to simply as the front-end fab.
Front-end fabs are very capital-intensive. Furthermore, automation has reached a high degree. That’s why the labor cost does not make so great an impact on the manufacturing costs and front-end fabs are often also operated in high-wage countries.
Once the wafer has left the front-end fab, it goes to an intermediate storage facility, known as the “die bank”, and from there to the back-end fab. Here the second part of the chip manufacturing process begins. In the back-end process – taking one to two weeks – the wafer is cut up into individual ICs using lasers or dicing saws with diamond blades. They’re tested, assembled, re-tested and at the end they’re packed ready for dispatch.
Compared to front-end fabs, the labor cost in back-end fabs accounts for a larger share of the manufacturing costs. The machines are not as expensive and the proportion of manual work is higher. That’s why back-end sites are mostly located in low-wage countries.
Companies who have specialized exclusively on the front-end process are called foundries. The largest are TSMC, UMC (both in Taiwan), Chartered Semiconductor (Singapore) and SMIC (China).Companies who have specialized exclusively on the back-end process are called back-end subcontractors. The largest are Amkor (USA), ASE, Siliconware Precision (both Taiwan). There the specialization has already progressed to such a stage that some do only the testing and others only the assembly and packaging.
Mastery of front-end and back-end processes alike belongs to the concept of an IDM (Integrated Device Manufacturer). Infineon is an IDM of this kind. What’s more an IDM doesn’t just manufacture its chips, it also develops and markets them itself.
(extracted from IFX Emag 29 Nov 2006, Joe corner)
Nov 23, 2006
Syukur Tanpa Henti
Segala puji dan syukur kepada Allah SWT,
Salam dan salawat semoga selalu tercurah bagi idola setiap muslim, Rasulullah SAW.
Tak dapat dinafikan lagi itulah dua kalimat yang perlu terus mengalir dengan sadar di dalam hati sanubari dan pikiran umat Islam. Tak terhitung nikmat Allah yang telah kita terima hingga detik ini dan begitu besar kasih sayang Rasulullah SAW dalam menuntun umatnya untuk dapat mengerjakan amal ibadah di dunia ini dengan benar, ikhlas, namun tetap menjaga martabat sebagai manusia sang khalifah di muka bumi.
Kemarin malam saya begitu terheran dan berucap kali mengucap "naudzubillaahi min dzalik" dari acara dokumenter yang membuat berdiri bulu roma (bukan merek biskuit) dari tv lokal. Selepas acara tsb -- mungkin dapat membuat sebagian pemirsa pingsan atau memilih pindah ke saluran acara lain -- saya begitu dalam mencerna "mengapa saya harus bersyukur (lagi) terlahir sebagai seorang muslim di tengah keluarga dan masyarakat muslim yang "insya Allah" sedang menjalankan syariat Islam dengan benar:
- Lebih umum terlahir sebagai seorang muslim di Indonesia -- yang bagi sebagian orang di dunia dikatakan memiliki ciri khas pemeluk Islam moderat.
- Lebih khusus hidup di tengah lingkungan keluarga dan masyarakat yang terlindung dari kejahiliyahan, kurafat dan tahayul yang terbawa dari tradisi nenek moyang.
Ada tiga waktu/peristiwa umum yang dapat kita perhatikan mengapa umat manusia di alaf 21 (abad ke 21) ini menjadi gila, aneh, dan tidak sadar statusnya sebagai mahluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna.
1. Ritual dalam agama (sekte/cult), nikah, kematian, menebus dosa, dan masuk usia dewasa
Banyak dapat diamati bagaimana ritual2 yang tidak masuk akal dilakukan para pemeluk agama/kepercayaan. Agama mengatur tatacara ibadah kepada Tuhan, namun apabila ritual tersebut sampai memaksa pengikutnya untuk melukai diri atau orang lain, menyengsarakan mahluk lain, kesurupan, mabuk (karena makan atau minum yang tidak baik), dll tentunya sudah tidak masuk akal (baca: mengerikan, menjijikkan) dan tak dapat dipertanggungjawabkan.
Itu sisi sekte yang amat mengerikan, namun jangan salah ada juga yang menganggap ringan ritual "ibadah" di dalam kepercayaan mereka. Ibadah menjadi terkesan main-main dan hanya dipakai untuk pelampiasan rasa bersalah untuk beberapa saat saja. Model kepercayaan seperti ini pun banyak bermunculan baik di negara terbelakang atau di negara maju sekalipun. Mana ada untuk menebus dosa atau menolak bala, lalu pengikutnya bertindak aneh yang cenderung membuat dosa lagi (seperti melampiaskannya pada orang/mahluk lain dalam upacara sesajen atau korban) atau justru minta ampun via manusia lain (dan menimpakan dosa itu ke manusia lain yang sudah mati).
Jangan heran bila sekte atau aliran agama yang sudah teramat jauh meninggalkan akal pikiran sehat pengikutnya ini dapat menghimpun dana super yang digunakan untuk membuat megah tempat ibadah mereka dengan emas, berhala2 raksasa, dan bangunan2 bisu yang menjulang tinggi. Sementara itu di lain pihak: umat mereka begitu miskin, pendeta2 mereka [diajari] mengemis, dan isi ritual tiada lain hanyalah tahayul semata. Naudzubillaahi min'dzaliik.
Ritual yang berakar dari tradisi jahiliyah ini juga merasuk ke acara2 lain seperti perhelatan nikah dan penyelenggaraan kematian. Amat janggal rasanya keluarga miskin yang terpaksa mencari utangan di sana sini demi mempersiapkan upacara2 adat yang amat mahal dan mubazir. Malah anggota keluarga mereka rela berkorban nyawa demi kemuliaan keluarga besar mereka. Belum lagi acara duka yang harus diperingati tiap hari/bulan/tahun keramat oleh ahli waris secara besar2an. Pada akhirnya yang menikmati memang masyarakat sekitar sana juga ... makan gratis, mabuk sepuasnya, berjudi, dll. Belum lagi ahli waris yang dibebani biaya2 selanjutnya untuk membangun kubur (kadang sampai butuh nisan raksasa atau dibawa ke bukit/gunung tinggi untuk menyimpan si mayit) dan merawatnya sampai bangkrut.
Nah berangkat ke ritual lain yaitu penebusan dosa. Setelah menyaksikan beberapa tayangan di tivi (Irak, India, Meksiko, Filipina), sepertinya ada benang merah yang mirip. Para penganut agama atau sekte menganiaya dirinya sendiri (atau dengan bantuan orang lain, yang amat mungkin anggota keluarganya sendiri) dalam rangka "membebaskan" diri dari "dosa di dunia dan akhirat" Mungkin pemeluk agama lain merasa "lebih cerdas dan manusiawi" karena cukup dengan pengakuan dosa saja maka dosa2 nya terampuni. Koq rasanya mudah sekali orang2 itu melepaskan dosa dan mungkin melakukannya lagi di kemudian hari. Namun memang, membebaskan dosa dengan menganiaya diri adalah lebih konyol !
Terakhir yang tak kalah gilanya adalah upacara di saat seorang laki-laki memasuki usia dewasa. Nah ada satu dokumenter berasal dari Papua New Guinea. Mereka mempercayai bahwa nenek moyang mereka adalah buaya. Di saat seorang pria memasuki usia dewasa, sekurang2nya satu kali dalam hidupnya (antara usia 18 - 35 tahun), mereka perlu melalui upacara "mengukir kulit" yang membuat kulit mereka bersisik seperti buaya dewasa. Jelas saja itu akan banyak mengeluarkan darah dan menyakitkan, namun mereka percaya bahwa darah itu adalah darah yang mengalir ke dalam tubuh seorang lelaki saat ia berada dalam rahim ibunya. Darah tersebut adalah darah wanita dan harus dibuang, sehingga sisa darah yang tinggal nanti adalah "murni" darah laki-laki. Laki-laki yang sukses melalui upacara ini adalah pria sejati yang sanggup mengarungi kehidupan tanpa gentar. OMG !
2. Tidak puas akan fitrah
Apa yang dapat seseorang lakukan apabila ia sudah tidak rela melihat fitrahnya. Frustasi dan lari dari kenyataan. Bunuh diri atau melawan kodratnya. Bunuh diri sudah amat sering beritanya. Ada satu trend edan abad ini yaitu transformasi wanita menjadi pria secara permanen (Female-To-Male transgender). Ini bukan sembarangan karena transformasi adalah permanen, bukan sekadar menjadi waria di malam hari atau di tempat kerja saja (salon, butik, penata gaya, dll). Sampai mana proses permak ini dapat dilakukan ? Tentunya tergantung modal (baca: uang, pengetahuan, dan sarana/tenaga ahli) dan keberanian si pelaku. Ini jelas suatu tindakan berbahaya yang mahal, menyakitkan (sekurang2nya jasmani yang merasakan) , dan beresiko fatal.
Seorang profesor antropolog Kristen ortodoks mengatakan hanya orang2 yang tak percaya agama dan hari akhir saja yang nekad berbuat macam ini. Bayangkan tubuh sehat begitu koq yach dipermak (baca: dibuang bagian2 yang "tak" perlu nya). OMG!
3. Menyikapi kegagalan hidup
Rasulullah SAW pernah bersabda kira2 macam ini: "Sungguh unik urusan orang yang beriman itu. Semua urusannya, baik baginya. Jika ia memperoleh kegembiraan, ia bersyukur, dan itu baik baginya. Jika ditimpa kesulitan, dia bersabar, dan itu baik baginya" (HR Muslim).
Nah kurang apalagi petuah Rasulullah bagi orang beriman. Hadapi dengan positif sisa usia ini. Jangan mudah menyerah dan bekerjalah untuk ridha Allah yang luasnya seluas alam semesta ini. Hanya kepada Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kita percayakan sebagai tempat mengadu segala kesedihan dan problematika hidup dan kepada Nya jualah kita berbagi kebahagiaan.
Namun ada kalanya kita kurang sabar dan ingin segala sesuatunya terjadi secepat yang kita mau. Tanpa mau mengikuti sunnatulah dan proses, inilah yang menyebabkan banyak pecundang2 di kalangan orang Islam sendiri. Terlampau banyak bermimpi tanpa mau memperbaiki diri dan belajar dari pengalaman.
Masa jahiliyah
Dari tiga pokok bahasan di atas, nyata bagi kita bahwa tak peduli bahwa saat ini zaman sudah berubah namun kejahiliyahan tetap wujud. Bentuknya saja yang berganti-ganti namun esensinya sama. Kejahiliyahan yang menyebabkan manusia lupa siapa ia sebenarnya dan mengapa ia dilahirkan ke dunia ini. Lupa akan akal yang telah dianugerahkan pada dirinya dan tak mau mengakui kekuatan super yang mengatur kehidupan di alam semesta ini. Mengapa manusia modern masih mau percaya (dan takut) pada dukun, ramalan nasib, zodiak, dll. Mengapa surga itu begitu mudah dibeli hanya dengan pengampunan dosa dan mengapa neraka itu mereka anggap tak ada dan malaikat penunggu neraka dapat disogok agar hukuman menjadi ringan ? Mengapa masih perlu memanggil arwah orang mati untuk "meluluskan" keinginan, mengapa masih percaya akan jimat, mengapa perlu menyogok hantu lapar dengan buah2an dan kue yang asam dan tidak enak, mengapa perlu membakar mobil kertas dan uang kertas untuk arwah di alam baka, ... ?
Lambat laun, generasi baru pun lahir. Mereka heran dengan ritual2 tak masuk akal ini, mereka berontak, dan meninggalkan segala ritual tradisi ini. Mereka akan bergabung dengan sekte2 baru yang juga tak akan memberikan solusi selain kepahitan hidup di saat depresi. Organisasi2 semacam free-thinker, freemasonry, dan faham pluralisme adalah contoh2 kebablasan di zaman modern ini.
Tulisan ini dibuat untuk membuka mata kita sebagai seorang muslim. Ini hanya mengingatkan kita untuk tak segan bersyukur di tiap saat. Kita tak perlu menertawakan pihak manapun yang masih berkubang dalam kejahiliyahan. Malahan kita perlu mendoakan agar Allah membukakan pintu petunjuk dalam hati mereka.