May 30, 2008

DRAM makers still going south in Q1 2008

Global semiconductor market revenue grew 3.3% in 2007, iSuppli says, lower than the firm's 4.1% estimate in November. For the quarter, semi revenues fell 0.5%, but were up 2.4% excluding memory.

Worldwide DRAM revenue fell 19.1% sequentially in the fourth quarter, below the November estimate of a 4.7% drop. NAND flash revenue declined 3.9%. Overall, memory chip revenue fell 11% sequentially. Many of the major DRAM and flash suppliers such as Qimonda, Elpida, Spansion, Powerchip and Nanya are no longer part of IC Insights' top 20 semiconductor ranking. DRAM-supplier Qimonda, whose nightmare continued in Q1 as the company dropped 10 positions from 19th overall in 2007 to 29th in Q1 based on a 52% sales decline year-over-year. Memory suppliers Hynix (9th place) and Micron (15th place) each fell two spots in the ranking although Micron reported a 2% increase in year-over-year sales while Hynix dropped 35%.

Sources:
Poor Memory Hampers 2007 Growth
iSuppli Corp, March 2008
Many major memory suppliers out of top 20 semi supplier ranking

May 25, 2008

Jadi Polisi Indonesia ... Cape Deh !

Lambang POLRI bernama Rastra Sewakottama yang berarti polisi adalah abdi utama rakyat. Visi mereka adalah menjadi pelindung, pengayom, pelayan masyarakat dan penegak hukum yang profesional dan proposional dalam menjunjung tinggi supermasi hukum dan hak azasi manusia. Tugas di atas mewujudkan elemen dasar yang amat dibutuhkan masyarakat yaitu keamanan.

Aman kapan dan dimanapun baik saat berkendaraan, berusaha, meninggalkan keluarga di rumah, berjalan di malam hari, beristirahat di taman, atau bersuara lantang sekalipun tanpa mengganggu orang lain. Bila ini terwujud maka ongkos hidup di Indonesia menjadi lebih "murah", tanpa harus bayar centeng (pengawal pribadi), satpam, hansip, satpol PP, alarm, gembok segede gaban di tiap pintu, dan pagar tajam yang tinggi. Karyawan dapat memakai kendaraan umum tanpa perlu naik taksi di malam hari atau naik KRL tanpa harus takut kecopetan. Pemilik warung dan kedai dapat buka toko atau kios hingga malam hari sehingga pemasukan bertambah dan karyawan yang pulang kemalaman pun masih dapat mengisi perutnya. Sarana umum seperti pot bunga, halte bus, pagar pembatas jalan, telepon umum, TV di kantor-kantor pemerintah, alat pemadam kebakaran, mesin ATM dll tidak perlu sering diganti/diperbaiki karena rusak atau perlu "dikurung" dalam kerangkeng tebal (trellis). Keran air, waschtafel, cermin toilet dapat dibiarkan tanpa takut dibongkar orang jahat. Anak-anak orang kaya dapat pergi sekolah tanpa perlu diantar naik mobil dengan sopir. Pokoknya, murah dan ekonomis baik dari anggaran belanja negara, anggaran pribadi, hemat BBM, dan tidak macet. Everybody is happy !

Namun kondisi di republik sekarang masih jauh dari harapan. Aura kebebasan yang kebablasan, ketidakpedulian, dan kerakusan orang-orang besar yang tak punya nurani di negeri ini telah membuat masyarakat membayar mahal untuk sebuah kata aman. Terlepas dari citra buruk yang telah melekat pada polisi yang disebabkan oleh ulah oknum atau kumpulan oknum, kita perlu merasa kasihan mengamati kondisi polisi Indonesia hari ini. Tentu yang paling menderita adalah mereka yang berpangkat rendah dan tentu saja berpendapatan paling kecil.

Ditambah lagi ketimpangan rasio jumlah polisi di Indonesia dengan jumlah penduduk total yaitu 1:1500 atau lebih kecil lagi. Artinya satu polisi mengawasi 1500 orang di negeri ini, padahal standar PBB menyebutkan standar ideal itu adalah 1:400 atau 1:300. Bener-bener cape deh ! Saya menonton lima gambar nuansa pagi RCTI Minggu pagi ini dan kesemua pilihan gambarnya memperlihatkan polisi yang berjibaku menghadang prengunjuk rasa karena kenaikan BBM 23 Mei 2008 kemarin.

Berikut adalah daftar kerjaan polisi yang benar-benar membuat letih di negeri ini:
  • Mengamankan demo mahasiswa (beserta oknumnya) atau LSM: kenaikan BBM, Pilkada, penggusuran tanah warga, dll.
  • Meredam kerusuhan akibat alasan sepele seperti kekalahan tim sepakbola, antar supir angkot yang tak kompak mogok, dll.
  • Melerai tawuran antar pelajar, mahasiswa, kampung, pendukung cagub/cabup/calur dll.
  • Memberantas pengikut aliran sesat, agama baru, dll.
  • Membubarkan aksi mogok buruh, supir angkot, dll.
  • Mengejar pelaku narkoba, sindikat uang palsu, obat palsu, pembajak DVD, dll.
  • Meringkus preman, pelaku perampokan, penculikan, pembunuhan, kekerasan dalam rumah tangga, dll.
  • Meringkus penimbun minyak tanah, sembako, dll.
  • Bersama satpol PP menggusur pedagang kaki lima yang tak punya izin, pemilik gubuk-gubuk liar, warung remang-remang, dll.
Memang dari poin-poin di atas sebagian besar adalah kewajiban polisi sesuai misinya, namun banyak hal di atas sebenarnya tak perlu terjadi kalau saja tokoh-tokoh negara kita dapat lebih arif, tidak ada koruptor yang membuat miskin negeri ini, sistem hukum yang adil dan tegak sesuai fungsinya, tidak ada LSM yang disponsori pihak asing untuk mengacaukan suasana, dan masyarakat yang peduli dan dapat berfikir dewasa. Bila hal-hal di atas tidak dapat dikendalikan dengan baik maka keamanan tetap merupakan barang mahal di negeri ini. Anggaran dan biaya lagi (dari uang kita yang ditarik lewat pajak) untuk korps polisi demi tujuan pembelian pentungan, gas pemedih mata, perisai/tameng, dana taktis untuk meredam kerusuhan, uang rokok/kopi, biaya pengusutan perkara, biaya sidang, biaya memperbesar penjara dll akan makin membengkak dari tahun ke tahun :-(

Ayat Ayat Cinta di Singapura


18 days review

Ayat Ayat Cinta (AAC = Love verses) yang diadaptasi dari novel laris karya Habiburrahman El Shirazy adalah film fenomenal anak bangsa pada seratus tahun kebangkitan nasional ini. Tayangan 126 menit yang mampu menyedot tiga juta penonton sinepleks-21 Indonesia dalam kurun waktu satu bulan saja. Belum lagi bagi yang memaksakan diri menikmatinya lewat DVD bajakan atau situs YouTube ... dan rela berulang kali meneteskan air mata menontonnya lagi dan lagi :-)

Melihat kesuksesan di Batam (terbukti beratus warga yang bermukim di Singapura antri tiket di sana, bahkan sampai rela menginap di hotel karena tak kebagian tiket hari itu), importir film Cathay dan Shaw Singapura pun tak mau ketinggalan untuk menayangkannya mulai 8 Mei lalu. Pokoknya rumah produksi MD Entertainment dan kang Abik (HES) panen untung dari hak siar dan hak cipta deh !

Don't judge the book by its movie

Satu minggu sebelum film naik tayang, pihak sponsor mengajak tiga pemeran utama AAC ke Singapura, mereka adalah Fedi Nuril, Rianti Cartwright, dan Clarissa Putri. Nah bagaimana pendapat mereka yang telah menonton film ini ?

Di lelaman Yahoo!Singapore Movies mayoritas beropini:
  • Yang paling disukai dari film ini: lokasi pengambilan gambar di Mesir, kisah mengharukan saat Aisha mengizinkan Fahri menikahi Maria, dan jalur cerita keseluruhan.
  • Yang paling dibenci: tokoh antagonis Noura, potret negatif tentang wanita yang mau diduakan.
Selama dua minggu lebih di Singapura, overall film ini dapat tiga bintang !

Kalau saya sendiri berpendapat, sebaiknya ulasan penonton ini dibagi empat kategori:
  1. Penonton yang sudah pernah baca novelnya
  2. Penonton yang belum pernah baca novelnya
  3. Penonton yang setelah menonton, ingin baca novelnya
  4. Penonton yang setelah menonton, tak merasa perlu baca novelnya lagi, entah biasa-biasa saja atau kecewa.
Penilaian yang lebih objektif sepertinya akan datang dari penonton kategori 2 dan 3. Penonton kategori 1 akan cenderung subjektif dan menyesal mengapa versi film jauh dari harapan atau imajinasinya saat membaca novel tsb :-) Singgah ke situs Asma Nadia yang cukup komplet mengapresiasi secara seimbang hasil karya Hanung B ini, tentunya dari penonton di tanah air. Asma menulis bahwa HES berhasil membuktikan bahwa novel Islam bisa sangat komersil.

Dengan persentase warga Melayu yang hanya 13.6% dari total penduduk di Singapura menurut statistik Juni 2007 maka sudah pasti penonton AAC di rantau ini tak bakal melampaui level psikologis satu juta penonton. Dengan asumsi mayoritas penonton terdiri dari:
  • orang Melayu (mulai bocah lima tahun sampai warga emas^ 80 tahunan) sekitar 400 ribuan
  • orang bukan Melayu namun serumpun semacam orang Indonesia dan Malaysia yang mukim di Singapura (mengerti bahasa Indonesia/Melayu): dengan asumsi optimis 80 ribu profesional dan keluarganya (SPR atau EP/DP), 75 ribu PLRT, 10 ribu pelaut, dan 10 ribu pelajar). Lihat demografi di akhir tulisan ini.
maka baru diperoleh sekitar 600 ribuan calon penonton. Angka ini tetap lebih rendah dibandingkan tujuh ratus ribu penonton di tanah air yang telah sukses kebagian tiket dalam empat hari penayangan AAC di bioskop.

Ah mana tahu warga dari ras non-Melayu pun sebenarnya ingin atau suka menonton film ini karena ada terjemahan bahasa Inggris (subtitle), jadi angka sejutaan mungkin dapat terlampaui, katakan kalau film tadi tetap ditayangkan selama 3 bulan ke depan. Sudah beberapa pihak penerbit dari negara asing yang membeli hak cipta novelnya sehingga angka 400 ribu eksemplar penjualan novel ini akan terus bertambah dan tentu saja pemutaran film nya juga. Semoga !

Sekilas demografi Singapura
Sebagai informasi jumlah penduduk Singapura (resident) terdiri dari warganegara (citizen) ditambah penduduk tetap (singapore permanent resident /SPR), total sekitar 3.68 juta jiwa. SPR menyumbang sekitar 9% dari jumlah tadi dan tiga perempatnya berasal Cina. Penduduk dikelompokkan dalam empat ras utama (Cina, Melayu, India, dan Lain-lain). Sementara jumlah non-penduduk ada sekitar 1 juta jiwa baik mereka yang masih berstatus orang asing (foreigner) maupun status lain seperti pemegang kartu kerja (employment pass /EP, working permit) atau kartu pelajar (student pass) plus istri dan anak kalau ada (dependent pass/DP). Dari 670 ribu pekerja non-penduduk di tahun 2006: 90 ribu pekerja dari mereka adalah profesional, 160 ribu PLRT (dari Filipina, Indonesia, Srilanka), dan sisanya adalah low-skilled workers dalam usaha konstruksi, buruh di kapal, buruh kilang dan jasa. Selain itu di tahun 2005 tercatat 66 ribu pelajar asing yang belajar di Singapura. Menurut Dubes Wardana, PLRT (domestic maid) dari Indonesia di Singapura yang tercatat bekerja di KBRI ada sekitar 75 ribu orang dan ada 10 ribu pelaut Indonesia yang biasa mampir sebentar di pulau ini saat bongkar muat atau tukar kapal. Tak tahu juga apakah jumlah PLRT dan pelaut itu sering diperbarui mengingat mungkin saja sudah ada yang pulang, ganti nama, atau ganti paspor baru :-)

Referensi:
^: warga emas = manula = senior citizen.
Data demografi diambil dari Statistic Singapore dan Migration Policy Institute
Jumlah PLRT dan pelaut dicatat dari tulisan Sabam Siagian di Straits Times (April 2007)
Ada 32785 WNI yang menetap di Singapura (SPR atau EP/DP) menurut sensus tahun 2000.

May 14, 2008

How the World Feeds Singapore



The above illustration is so exact and representative about how people living in this small dynamic island (including me and wife at the moment) depend heavily on food import from all over the world.

Uprising price of food commodity especially rice (nearly 30-40%) that has happened for more than three months are really an eye opener that Thailand, Vietnam, and India can threat us with famine. Touch wood it will not happen, insya Allah. Currently left only with Thailand as major exporter here with price soaring USD 1000++/ton. When I order nasi ayam only two choices left: less rice or pay extra 50c [sigh]. Same situation for roti prata stall that jacks up their price for 20-30c for irrelevant fluor or egg price rise. Nowadays more people starts taking lots of hassle to cross over to Johor Baharu to buy staple again especially for half-price cooking oil, rice, sugar, and fluor.

Prices of food ranging from rice to chicken have soared in recent months, due to a various unrelated factors around the world such as rising demand from emerging economies like China and India, while supply is dwindling at the same time due to bad weather and farmers switching to biofuel crops (fuel vs food battle), high oil prices (USD 124 per barrel as this blog is uploaded) are contributing to higher cultivation and distribution costs for food, and last but unpopular reason is speculative trading by commodity trader.

According to Annual Report 2006/7 AVA there are about 64 active farms in Singapore for light vegetables like mushroom, bean sprouts, etc. The size of the land is only 111 hectares (from 650 square km Singapore land in total). Surprisingly enough, from that table, Singapore has more farms for orchids (83 farms, 303 hectares) and aquarium fish breeding (87 farms, 167.2 hectares).

Both orchids and aquarium fish (you name it, tropical or marine or ornamental species) are niche lucrative markets that can create multi-million dollar revenue a year !
Singapore is a major exporter of cut orchids and has a 15% share of the world market. In 2004, the orchid and ornamental plant industry exported some S$56 million worth of cut orchids and ornamental plants (including aquatic plants). In fishery business, Singapore exports nearly USD 80-90 million annually (the real figure can be more!) in aquarium fish species and for Southeast Asia as a whole, a trade of between US$300-400 million in total. Learn more about Qian Hu, the first tropical fish breeder that listed in Singapore stock market (Sesdaq, SGX) on their site.

So we can learn one lesson here: if we only have small piece of land then optimise it with growing or breeding million-US-dollar-portfolio of species. Do not waste your time cultivating the land with cheap commodity crops that third-world-country would be very happy supplying them with marginal price round the clock :-)

Original article was appeared on My Paper April 21st 2008 edition written by Andrea Soh.
Main resource can be read here !

May 13, 2008

Aplikasi al-Qashash 37

Sebagai seorang muslim yang merantau dan bekerja saya mencoba menghubungkan firman Allah berikut ini dengan nasehat dari seorang ulama besar dari generasi tabi'in Hasan al Bashri.


Surat Al Qashash 77


Artinya:
"Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan."


Nasehat Hasan al Bashri (HaB)

  • Aku tahu bagian rezekiku tak mungkin diambil orang lain, karenanya, hatiku tenang.
  • Aku tahu amanah untukku tak mungkin dilakukan orang lain maka aku sibukkan diriku untuk beramal.
  • Aku tahu Tuhan selalu melihatku, karenanya aku malu bila Tuhan mendapatiku melakukan maksiat.
  • Aku tahu, kematian menantiku maka aku persiapkan bekal untuk berjumpa dengan Tuhan ku.

(Hasan Al-Bashri, seorang sufi yang semasa kecil turut diasuh Ummu Salamah istri Rasulullah SAW, lalu merantau ke kota Bashra Irak bersama ayahnya di usia 14 thn, hingga wafat pada usia 80th pada di kota itu juga)

Nasehat ini merupakan penjelasan taktis dari ayat tadi, dijelaskan dengan mudah untuk dapat menjadi pedoman bagi siapapun yang ingin selamat dalam berikhtiar di muka bumi ini.

  1. Allah menyuruh kita untuk memiliki visi meraih kebahagiaan negeri akhirat tanpa melupakan ikhtiar untuk menjemput anugerah yang diberikan Nya di muka bumi ini. Nah dalam upaya menjemput rezeki di dunia ini, HaB mengingatkan agar kita tetap arif, adil, dan bijaksana karena peruntukan rezeki untuk tiap mahluk di dunia ini sudah ada. Amanah yang diberikan kepada tiap individu perlu dikerjakan sebaik mungkin karena ini adalah tanggung jawab yang tak mungkin dikerjakan orang lain.

  2. Allah menyuruh kita berbuat baik pada orang lain dan tidak membuat kerusakan di muka bumi ini. HaB menasehati agar selalu ingat bahwa Allah selalu memperhatikan tiap gerak gerik hati dan perbuatan kita sehingga sedapat mungkin kita berlindung dari maksiat. Ingatlah segalanya akan kembali kepada Allah, sehingga tiap insan harus memiliki bekal kebaikan sebanyak-banyaknya untuk bertemu dengan Nya di hari akhir kelak.

Rasulullah SAW membekalkan pengikutnya doa yang teramat indah, mencakup semua aspek yang diinginkan dari ayat dan nasehat di atas:

Allahumma inni as-alukal huda wattuqa wal'afaafa walghina


“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon petunjuk, ketakwaan,
pemeliharaan diri dan kecukupan kepada-Mu.” (HR. Muslim)


Doa ini cukup sering dibaca imam seusai shalat fardhu di mesjid-mesjid Singapura. Doa kompak yang dapat ditemukan referensinya dari kitab Riyadus Shalihin, kumpulan An-Nawawi rahimahullahu. Lebih lanjut penjelasannya: “Al-‘Afaf adalah menjaga dan menahan diri dari perkara-perkara yang tidak diperbolehkan (oleh syariat). Al-Ghina adalah kecukupan jiwa dari manusia dan apa yang ada di tangan-tangan mereka (yakni harta mereka).”

May 8, 2008

Mencetak Laskar Pelangi Masa Kini

Masih teringat dengan dua buku pertama tetralogi Andrea Hirata yaitu LP dan SP. Rangkaian karya sastra menarik yang bercerita indah tentang impian dan tekad kuat untuk menggapai mimpi-mimpi itu. Sejalan dengan pengamat ilmu komunikasi, ibu Santi Indra Astuti: "Novel ini tidak mengajak pembaca untuk menangisi kemiskinan, sebaliknya mengajak kita untuk memandang kemiskinan dengan cara lain, tepatnya melihat sisi lain dari kondisi kekurangan yang mampu melahirkan kreativitas-kreativitas tak terduga."

Tanpa diragukan lagi itulah pesan yang ingin disampaikan penulis lewat sepuluh anak kampung Belitong dalam novel LP atau tiga tokoh remaja dalam SP.
Dalam renungan saya berfikir apakah generasi LP ini dapat dikloning (dibuat duplikat) nya pada masa kini ?
Tentu saja jawaban positif yaitu bisa ! Namun saya melihat parameter-parameter yang dihadapi siswa-siswi dari golongan orang tua kurang mampu masa kini ternyata lebih kompleks dibandingkan dengan saat dan tempat LP asli dilahirkan. Survey BPS 2006 menyebutkan ada 39.05 juta orang miskin, 10,24 persen pengangguran dari total angkatan kerja yang berjumlah 103 juta jiwa, dan 19,2 juta KK adalah rumah tangga miskin di Indonesia.

Banyak kisah anak negeri Indonesia memiliki alur cerita yang sama. Mereka dilahirkan dan dibesarkan dalam keterbatasan dan meraih kesuksesan di kemudian hari -- dengan berbagai pengalaman jatuh bangun -- sebagaimana perjuangan Ikal dan Arai dalam SP.


Plus Minus

Mari kita tuangkan satu persatu situasi dan kondisi siswa-siswi SD MD di kampung Belitong Timor pada umumnya di masa itu. Untuk tiap poin yang mengarah pada kesuksesan siswa akan kita beri tanda positif dan sebaliknya diberi tanda negatif:
  • (-) Kampung Melayu Belitong adalah sebuah kampung nelayan miskin. Jauh dari sarana dan infrastruktur publik yang baik.
  • (-) Orang tua murid umumnya tak pernah bersekolah.
  • (-) Lapangan pekerjaan terbesar adalah nelayan. Kalaupun ada orang tua murid yang berstatus pegawai hanyalah buruh rendah di PN Timah. Penghasilan mereka tentunya pas-pasan ditambah lagi harus membiayai keluarga Melayu yang umumnya punya anak banyak.
  • (-) Keterbatasan media informasi, hanya ada radio dan surat kabar (yang biasanya terlambat hingga berhari-hari bahkan berminggu).
  • (-) Bangunan dan fasilitas sekolah yang jauh dari mapan.
  • (-) Guru-guru yang berpenghasilan jauh dari cukup.
  • (-) Jauhnya lokasi sekolah yang mengharuskan seorang siswa punya tekad baja untuk tidak bolos. Panas terik, hujan badai, jalan berbatu turun naik adalah tantangan tiap hari.
  • (+) Kampung yang dikelilingi alam terkembang nan asri dan indah.
  • (+) Kepala sekolah (Pak Harfan) dan guru kelas (Bu Muslimah) yang punya visi, ketulusan, dan berdedikasi tinggi sebagai pendidik dan pengajar.
  • (+) Sistem pengajaran yang memberi kebebasan bagi guru dan murid untuk berkarya tanpa terikat dengan kurikulum.
  • (+) Sekolah berbiaya murah, tanpa mengharuskan siswa membayar uang pangkal, uang seragam, dan kutipan-kutipan tak perlu lainnya.
  • (+) Pustaka yang lumayan lengkap sehingga anak sejenius Lintang dapat belajar lebih dulu dari usianya.
  • (+) Pergaulan siswa yang erat tanpa ada perbedaan status sosial, permusuhan, dan pelecehan dari senior/jagoan (bullying).
  • (+) Orang tua anak-anak LP yang mulai sadar akan pentingnya sekolah. Mereka hanya mengantarkan anak-anaknya pada hari-hari pertama sekolah dan selanjutnya menitipkan sepenuhnya pada guru. Mereka yakin hanya dengan sekolah, masa depan anak mereka akan lebih baik.
  • (+) Nilai-nilai agama yang tertanam baik di sekolah, masjid, dan di rumah.
  • (+) Masyarakat yang masih polos, jauh dari konflik dan korupsi.
  • (+) Keinginan kuat dari siswa untuk menuntut ilmu dan memiliki cita-cita.
  • (+) Krisis moneter dan kebablasan reformasi belum menyerang republik ini.
Dari beberapa poin di atas dapat dilihat bahwa hanya siswa-siswi yang "lulus seleksi alam" saja yang dapat sukses mengarungi kejamnya cobaan pendidikan di sana. Ada 7 poin negatif dari total 18 poin, ini artinya 39% desakan negatif akan menahan laju seorang anak kelas 1 SD untuk merangkak menyelesaikan 12 tahun jalan pendidikan wajibnya. Belum lagi kalau ternyata poin-poin merah di atas memiki bobot lebih besar dibandingkan poin positif.

Pilihan mereka tak banyak: mau melanjutkan sekolah atau mengulang sejarah yang sama dengan nenek moyang mereka menjadi nelayan atau buruh rendah. Saya mencatat hanya
Ikal (M.Sc, pegawai Telkom), Arai (M.Sc), Mahar (PNS), Syahdan (Praktisi IT) yang berhasil mendaki menara gading atau puncak Everest kesuksesan dari standar keduniaan (koreksi saya bila salah). Ini berarti hanya empat dari selusin tokoh anak-anak dalam SP dan LP (success rate 33%). Kecerdasan tak melulu menjadi modal utama, karena siswa jenius Lintang Samudra Basara tak mampu berbuat banyak saat ia harus berhenti sekolah di usia 14 tahun demi menopang ekonomi keluarga setelah ayahnya wafat.

The 1 million dollar
question ...

Apakah
generasi LP dapat lahir saat ini di nusantara ?

Sengaja saya ambil dua lokasi ekstrim di nusantara ini yaitu Jakarta dan kampung di pinggiran danau Maninjau (Sumatra Barat). Jakarta adalah sebuah metropolitan ibukota negara palugada (apa lu mau gua ada). Maninjau adalah kampuang indah permai nan asri dengan pertanian dan nelayan ikan karamba, yang telah banyak menghasilkan tokoh-tokoh kharismatik Indonesia seperti ulama besar Hamka, pahlawan nasional wanita HR Rasuna Said, mantan perdana menteri M. Natsir, sastrawan Nur St. Iskandar, dll.

Dengan poin-pon Plus Minus di atas, saya coba buat perbandingan
masa kini dengan kondisi Andrea Hirata melukiskan kampung dan masa sekolahnya.

Jakarta
Kota ini mungkin menegasi seluruh poin negatif di atas ! Kota ini cukup kondusif untuk siswa-siswi yang orang tuanya berpendidikan dan punya uang. Institusi pendidikan bergengsi, berkelas, dan mahal tersedia. Informasi lewat berbagai media mudah di dapat. Tinggal bagaimana siswa-siswi yang beruntung ini memanfaatkan keberuntungan ini saja untuk sukses. Namun coba kaji apakah Jakarta saat ini memiliki seluruh poin positif untuk warga kurang mampu ?

Jakarta jauh dari bayangan sebuah kota yang asri dan nyaman untuk belajar. Jakarta terlebih lagi tidak ramah terhadap anak-anak dari golongan ekonomi lemah. Pendidikan yang kian mahal sehingga orang tua miskin tak mampu menghantar anaknya ke sekolah meski dengan SPP gratis (karena banyak tambahan uang-uang lainnya). Hiburan 24 jam yang cenderung berisikan hal-hal yang tak berguna, gosip, materialis, hedonis, dan fantasi membuai anak-anak yang kurang beruntung tsb untuk malas memikirkan sekolah dan justru jadi beban buat orang tua mereka. Pendidikan agama dan akhlak yang lemah menimbulkan tawuran-tawuran baik antar level horisontal dan level vertikal (menekan yang lemah, saling hujat, konflik antar kampung, dll).
Anak-anak usia sekolah dijadikan tenaga kerja ilegal membantu nafkah: mengamen di perepatan jalan, jual koran, pengemis kolektif, pak ogah, joki 3-in-1 dll. Kalau diteruskan daftar dosa ini akan tambah panjang :-(

Dari poin-poin ringkas di atas, jelas bahwa Jakarta bukan ladang yang subur untuk lahirnya generasi LP secara alamiah. Jakarta bukan untuk siswa miskin yang tak punya mimpi tinggi dan berjiwa lemah.

Kampung Maninjau

Secara alam kampung ini banyak memiliki kemiripan. Mungkin dapat dikatakan kampung ini lebih baik dibanding kampung Belitong Timor karena alamnya jauh lebih indah dan bersahabat. Tapi yang namanya kampung yang jauh dari pusat negeri tetap saja irama kehidupannya lebih lambat bahkan terkesan membosankan :-) Kampung ini jelas lebih enak untuk merehatkan otak sejenak dan meraih energi untuk tugas-tugas baru. Tak heran, tak banyak sekolah berdiri di sini. Siswa-siswi yang ingin maju harus pergi merantau untuk pendidikan yang lebih baik.

Seratus tahun setelah lahirnya tokoh-tokoh legendaris dari kampung ini, kondisi fisik memang jauh membaik dengan hadirnya listrik dan telepon. Siaran dari Jakarta atau dari wilayah benua lain pun dapat dipantau di desa ini. Saya pun heran dengan ramainya antena parabola di atas rumah-rumah sederhana penduduk, bahkan di atas warkop, gubuk atau rumah gadang yang hampir roboh ! Kontras sekali kehadiran payung besi pucat berdiameter 1.5 meter ini dengan alam hijau di sekelilingnya.

Dengan hadirnya antena parabola artinya hiburan dari manapun jadi potensi untuk merusak jiwa dan pikiran siswa-siswi di sini. Anak-anak dan generasi muda menjadi malas pergi ke mesjid, padahal mesjid adalah pusat orang-orang dulu mengaji ilmu dan belajar akhlak. Dengan hiburan 24 jam siswa-siswi jadi malas belajar dan rajin mengaca di TV mencermati acara-acara yang tak baik. Orang tua - yang hanya nelayan atau buruh tani - justru berlomba bekerja keras mencari uang untuk beli TV baru atau antena parabola atau beli DVD/VCD bajakan atau Sony PS2, dan bukan memikirkan pendidikan untuk masa depan anak-anaknya !

Bila tidak ada azzam yang kuat baik dari orang tua, anak-anak, ataupun pemuka masyarakat dan agama maka mustahil akan lahir kembali tokoh-tokoh terkenal penerus Hamka dan M. Natsir dari desa yang indah ini.

Sebagai renungan kita bersama, kira-kira dimana tempat yang kondusif untuk siswa-siswi miskin di tanah air ini untuk lahir sebagai generasi Laskar Pelangi ? Mimpi tinggi dan cita-cita untuk maju adalah benih yang memerlukan habitat dan pupuk yang baik untuk tumbuh besar mendaki puncak-puncak kesuksesan.