Ada serasa tiada. Lucu juga terdengarnya, tapi sungguh-sungguh nyata. Banyak hal dalam hidup kita bila dilacak keberadaannya ternyata masuk dalam file kehidupan dengan label ada serasa tiada.
Misalnya, siapa sih yang begitu serius mengingat dan merawat peniti miliknya, benda kecil yang bisa didapat selusin dengan harga hanya seribu rupiah? Hilang satu atau terbuang dua bagi kita tak jadi masalah. Bahkan kita pun kerap lupa menyimpannya di mana. Dia baru jadi masalah yang bikin pening kepala ketika di tengah kegiatan tiba-tiba tas sobek, sendal jebol, kancing copot atau saat jilbab sudah menempel di kepala sang peniti ini tak kunjung bisa kita temukan.
Ada serasa tiada bisa muncul karena beberapa sebab. Pertama karena sesuatu itu tidak berhubungan langsung dengan kepentingan kita lantas kita merasa tak tak perlu serius memikirkannya. Contoh saja soal Palestina. Banyak orang berdalih, buat apa mikirin Palestina nun jauh di sana, bahkan sampai berdemo segala, toh masalah dalam negeri Indonesia sudah sedemikian banyaknya ?
Mungkin kita terlupa bahwa Hadits riwayat Nukman bin Basyir ra., ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: Perumpamaan orang-orang mukmin dalam hal saling kasih, saling menyayang, dan saling cinta adalah seperti sebuah tubuh, jika salahsatu anggotanya merasa sakit, maka anggota-anggota tubuh yang lain ikut merasakan sulit tidur dan demam. (Shahih Muslim)
Kedua, karena kita menganggap remeh keberadaan sesuatu itu sehingga tak sungguh-sungguh memperhatikannya. Ambillah contoh pembantu rumah tangga. Karena dia cuma pembantu rumah tangga, sering kita lupa memberinya kelayakan hidup sebagaimana manusia umumnya menginginkannya. Bukan hanya kita menganggapnya tak perlu hiburan dan liburan, bahkan seringkali ketika satu keluarga berpergian dengan kerennya sang pembantu mengiringi dengan gaya 'berani tampil beda', baju lusuh dengan padu padan seadanya. Padahal Rasulullah telah mengingatkan, Pelayan-pelayanmu adalah saudara-saudaramu. Allah menjadikan mereka bernaung di bawah kekuasaanmu. Barangsiapa saudaranya yang berada di bawah naungan kekuasaannya hendaklah mereka diberi makan serupa dengan yang dia makan dan diberi pakaian serupa dengan yang dia pakai. Janganlah membebani mereka dengan pekerjaan yang tidak dapat mereka tunaikan dan jika kamu memaksakan suatu pekerjaan hendaklah kamu ikutt membantu mereka (HR Bukhari).
Ketiga, karena merasa begitu terbiasa dengan kehadirannya sehingga abai untuk memperhatikannya. Misalnya saja terhadap anak. Ya benar, anak tanpa sadar sering dilabelkan ada serasa tiada. Kesibukan mengejar dunia, harta, jabatan, maupun ilmu pengetahuan seringkali membuat hubungan kita dengan anak menjadi hubungan minimalis yang bersifat praktis. Urusan makan, pakaian, dan sekolah mungkin saja lengkap terpenuhi, tapi senda gurau curhat keluarga dan beragam ekspresi cinta bisa jadi semakin pudar intensitasnya.
Keempat, karena kita menganggap sesuatu itu bukan tanggung jawab kita sehingga tidak menjadi urusan kita, Maka bertebaranlah di sekitar kita anak yatim yang putus sekolah karena tak ada biaya. Dan seribu janda fakir yang terengah susah saat mencari sesuap nasi. Begitu pula jutaan kaum dhuafa yang tak mampu berobat meski sakit mendera hebat.
Anak memang menjadi tanggung jawab orang tua, suami, atau walinya dan seorang rakyat adalah tanggung jawab pemerintahnya, tetapi kita sering lupa bahwa, “Semua kamu adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Seorang imam (amir) pemimpin dan bertanggung jawab atas rakyatnya. Seorang suami pemimpin dalam keluarganya dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Seorang istri pemimpin dan bertanggun jawab atas penggunaan harta suaminya. Seorang pelayan (karyawan) bertanggung jawab atas harta majikannya. Seorang anak bertanggung jawab atas penggunaan harta ayahnya (HR Bukhari dan Muslim).
Ada serasa tiada nyatanya memang ada di tengah kita. Namun semasa masih ada waktu, inilah saatnya kita memperbaiki diri. Wallahuálam. (disalin apa adanya dari tulisan sahabat: Zirlyfera Jamil, (c) UMMI 2008).