Sep 23, 2011

Diskon: Keperluan vs Anggaran

Diskon $150 bukan diskon yg kecil jika hanya membandingkan dengan harga awal nya $549 atau $499 (27% dan 30%). Zaman sekarang, di saat begitu banyak model kamera baru tampil tiap kwartal (4 bulan), dan persaingan harga yg begitu ketat (cut throat competition) rasanya sukar bagi sebuah produsen menawarkan diskon besar. Lagipula kedua kamera ini model baru dari merek terkenal (FF), product review nya pun baik dibandingkan  kamera sekelasnya, sehingga jelas bukan produk gagal. Jadi tak ada motif yg jelas bagi saya mengapa tiba-tiba ada promosi spt ini. Apa karena produsen kelebihan stok, persaingan, atau market share yg terlampau kecil (salah prediksi).

Satu dua tahun lalu saya juga pernah melihat bbrp kali promosi spt ini utk produk lain berupa printer, handphone, notebook, dan bahkan .... sepatu lari, celana jeans. Trend nya sama: merek terkenal, tipenya sudah ada di pasaran (kurang setahunan), dan belum ada komplain terhadap produk yg dipromosikan. Dengan kata lain bukan produk abal-abal kucing tipe karung yg tak dikenal dan tahu-tahu di SALE oleh toko eceran

Alih-alih langsung memberikan potongan harga atau persentase saat pembelian, sang pemegang merek meminta calon konsumen untuk menukarkan produk bekas pakainya. Hanya saja ada beda, umumnya kondisi produk bekas yg akan ditukarkan mesti merek yg sama, lalu diperiksa dulu (valuation) dan ditetapkan harga tukarnya (capped to certain dollars), namun kali ini FF mau menerima kamera MERK/TIPE/KONDISI apa saja (butut, rusak, kamera roll film jadul, apa saja dihargai $150 selama masa penawaran ini !!!). Rupanya promosi begini sudah jamak juga dilakukan di Jakarta dan di Jepang menurut kawan2.

Ada beberapa alasan yang masuk akal mengapa produsen melakukan hal ini:
(saya ambil contoh kamera FF)
  • Membangun product awareness bagi sebuah tipe baru produk. Oleh karena model kamera digital kompak (contohnya) sudah begitu crowded di pasar, bagaimana si pengusaha mengenalkan tipe baru *yg belum laku keras* alias calon pembeli tak pernah sadar ini ada tipe bagus lhoo ... Menggiring calon pembeli baru yg belum punya ide mau beli yg mana (tergesa-gesa krn tak pernah melakukan riset produk di internet /pasar sebelumnya dan hanya tahu FF itu bagus kualitasnya).
  • Mencoba membanjiri pasar. Meski pembeli zaman sekarang sudah lebih pintar dalam arti lebih teliti membandingkan fungsi dibanding gengsi dan asal sekadar harga murah, namun trik ini tetap dapat memancing minat calon pembeli yg masih *hijau* baru pertama kali ingin punya kamera digital.
  • Perang psikologis dengan kompetitor atau lebih dikenal dgn perang harga. Sebuah kamera dengan fitur yg sama siap bertarung dengan harga miring. Atau memang mau mematikan kompetitor lain secara bertahap meski secara bisnis kamera ini agak sulit krn lawannya banyak yg lebih besar.
  • Perangkap bagi pembeli. Awalnya ia datang krn tertarik iklan kamera diskon namun tanpa sadar justru membeli kamera lain yg tak ada diskon. Lebih baik lagi mereka membeli merek yg sama utk tipe yg memberikan profit margin yg lebih besar ;-) Ada lagi jebakan tradisional, dikatakan bahwa stok dari kamera promosi tadi sudah habis, sehingga calon pembeli terpaksa membeli model lain dgn harga biasa (bait and switch).
  • Alasan ramah lingkungan (Reuse, Recycle): mengurangi limbah dan mendaur ulang komponen kamera bekas. Kamera bekas akan dijual ke pemborong barang bekas dengan harga borongan mungkin 5% dari harga material rata-rata kamera mis. $5. Harga tukaran ini sukar rasanya kembali pada produsen (FF) dan hanya mungkin untuk mengurangi selisih keuntungan yg diperoleh perantara/distributor.

Karena rasa ingin tahu saya coba hitung berapa besar *goyangan* profit margin yg dirasakan ketiga pihak yg terlibat (umumnya produsen, distributor/stockist, dan retail chain). Semuanya kembali pada matematika (simulasi di excel akan mempermudah).
  • Asumsi saya (boleh benar atau salah), kedua tipe kamera di atas punya bill of material (modal pokok) yang sama, kurang dari $100. Dasarnya adalah produk elektronik baru dari merek terkenal, sedapat mgkn akan dipasarkan dgn markup 400-500%. Sebuah angka umum utk menutupi biaya produksi, distribusi, penyimpanan, promosi, keuntungan tiap pemain, dll.
  • Produsen ingin initial profit gross margin 50%, sehingga produk dijual $200 ke distributor.
  • Distributor mau kerja sama dgn gross margin 15-30%. Lalu produk dijual ke retail chain.
  • Retail chain bersemangat menjual produk jika dapat gross margin di atas 50% meski untuk produk elektronik komoditas spt ini terlampau optimis. Range wajarnya 45-55%. Dari sini keluarlah dua harga $499 (46.5%) dan $549 (55%), dengan asumsi harga dari distributor yg cukup senang dengan margin 25%. 
Dari simulasi di atas tampak bahwa FF cukup memproduksi satu produk yg sama dan menjual dengan dua profit margin untuk memenuhi dua segmen pembeli. Bagi FF ini membuat desain produk, logistik, dan distribusi  menjadi praktis.

Sekarang kita simulasikan promosinya. Tiap pemain harus rela juga porsi kue margin nya dipotong :-)
  • Produsen harus rela menanggung potongan terbesar dari 50% menjadi 40%. Kini produsen meletakkan harga awal $166.67 kepada distributor.
  • Distributor ikut bagian mengurangi margin nya dari 25% kepada 20%. Sama besar potongannya, hanya saja jika distributor mau repot dgn menjual *kamera bekas hasil penukaran* mungkin dapat memungut $5-7 untuk tambahan margin :-)
  • Retail shop juga cukup menanggung beban krn harus rela marginnya dipotong rata-rata 14%. Utk tipe low end akan dijual $349 (40%) dan high end $399 (47.5%).
Produsen tentu amat berharap agar promosi ini sukses. Bagi distributor tidak ada beda bagi mereka karena hanya menyimpan stok. Sedangkan utk retail, selama perhitungan masih oke dalam hitungan2 mereka, tentu tak jadi masalah. Malahan retail berharap pembeli terpancing masuk ke toko mereka dengan iklan brosur namun membeli tipe lain atau produk lain dengan margin normal :-) Tantangan bagi salesman FF di retail chain tsb agar dpt menyukseskan promosi ini dan mendapat sales tip (commission) lumayan.

Jadi tetap ada penurunan keuntungan namun tidak terlampau serius. Tidak seperti yg dibayangkan sebelumnya bahwa produsen akan jualan rugi. Tidak sama sekali, ketiga pihak tetap punya margin. Memang utk retail yang harus menyediakan biaya operasi sekitar 30-40% dan mengharapkan keuntungan bersih 6-8% (consumer electronics) per item yg dijual akan cukup berat dgn margin baru di atas.

Namun ada cara lain yg mungkin sudah dilakukan yaitu produsen menjual kepada retail langsung (tanpa via distributor) sehingga dapat diperoleh margin yg lebih baik bagi produsen dan pedagang eceran tsb. Hanya saja di sini produsen perlu mengatur pengiriman sendiri dan pedagang perlu memiliki space gudang yg cukup untuk menampung barang selama masa promosi.

***************

Selain model di atas ada juga pemberian voucher diskon yg hanya berlaku untuk pembelian jeans / sepatu di toko tsb untuk model-model tertentu. Misalnya voucher $50 untuk pembelian celana jeans atau sepatu olahraga seharga $100 ke atas. Syarat menukarkan celana/sepatu bekas menjadi terkesan main-main. Ada yg serius membawa celana bekasnya, ada yg perlu membeli celana baru yg murah (baru atau di tukang loak), atau ada yg gila mencuri di tumpukan pakaian bekas yg telah disumbang orang :-( Terkesan pegawai tokonya pun tak peduli dengan pakaian bekas ini bahkan ada kasus dimana mereka memberikan saja voucher itu tanpa harus menunjukkan bukti pakaian bekas.

Difikir-fikir memang calon pembeli terjebak kepada *wants* dibandingkan *needs* dalam posisi ini. Apalagi dalam urusan pakaian/sepatu, sukar sekali mencari size yg cocok dengan Anda. Ukuran/model yg tersedia utk barang2 yg berharga *wajar* bagi Anda sudah tidak tersedia, sehingga harus mencari ukuran/model lain yg harganya jauh lebih mahal dari anggaran belanja.  Dalam contoh ini, sukar mencari jeans sepatu dalam range harga $101 - $149, yg artinya cukup menambah kurang dari seratus dollar. Yg banyak stok nya adalah yg berlabel harga $200 ke atas. Nah di sinilah calon pembeli terpaksa merobek dompetnya lebih lebar krn sudah masuk perangkap halus ini :-( Belum lagi toko yg sudah diantri pembeli sejak pagi dan suasana toko yg super riuh krn tiap orang berupaya mengaduk stok barang yg dipajang utk mencari ukuran/warna/harga yg cocok. Akhirnya banyak jg yg pulang dgn voucher tetap di tangan krn seharian tidak bertemu barang yg sesuai harapan.

***************


Moral of the story dari cerita yang -- koq jadi panjang begini -- ini adalah, kapanpun dan dimanapun:
  1. Mampu membedakan keinginan dengan keperluan. No better way to elaborate it. Perlu sepatu dan ada anggaran yg kurang lebih sama dgn harga promosi berarti Anda beruntung :-)
  2. Sesuaikan anggaran dengan harga final barang yg dicari. Biarpun diskon 70% namun tetap di luar anggaran, lupakan saja, daripada pusing membuat kalkulasi spt ini dan menjelajah setiap sudut toko mencari objek yg benar.
  3. Jangan tergesa-gesa, survey pasar (internet) sebelum memutuskan. Jangan sampai konyol, tahu-tahu harga barang di toko sebelah sama saja atau lebih murah dgn barang yg Anda peroleh dgn voucher diskon $150.
Bagi penjual mereka sudah melakukan hitungan cermat sebelum promosi. Dalam meletakkan harga awal mereka sudah memperhitungkan biaya markdown yg meliputi biaya promosi, menangani stok yg tak terjual, cuci gudang dll.

Catatan:
  • Perhitungan profit gross margin di atas memakai rumus dasar:
    GM = (selisih harga jual dan pokok/harga jual) x100%. 
  • Perhitungan initial gross margin dgn memperhitungkan biaya operasi, laba bersih, dan biaya markdown memakai rumus umum:
    IGM = ((%laba + %biaya operasi + %markdown) / (100 + %markdown)) x 100%

Foto Levis dari http://www.greatdeals.com.sg/

Diskusi/bacaan dengan kata kunci "retail markup"/"initial markup"/"rebates" dapat dilihat di:
(1), (2), (3), (4), (5)



Sep 20, 2011

Mencegah Aib dengan Ikhlas

Pesan yang sering disampaikan ustadz Aa Gym bagi jamaah, salahsatunya agar manusia perlu senantiasa bersyukur kepada Allah SWT yg telah menutupi aib-aib nya. Tak bisa dipungkiri bahwa orang-orang masih menyapa saya dengan tersenyum, wajah masih dapat tegak dihadapan anak-anak, istri dan ortu, dan kata-kata kita masih didengar teman-teman, semata-mata karena Allah SWT masih menutupi aib-aib kita. 

Tanpa disadari begitu banyak aib yg telah menempel (tagged) pada seseorang sejak lahir. Baik aib besar yg dapat membuat malu jika itu terekspos ke luar seperti sifat, cacat fisik, kesehatan, perilaku maksiat/dosa di waktu silam, ataupun aib-aib kecil yg akan  membuat pelaku tak nyaman (bilamana ia sadar) misalnya ada nasi lengket di pipi sehabis makan, kotoran di *area* wajah yg begitu jelas, memakai celana robek, ritssluiting celana lupa dipasang, kancing baju yg lupa/copot, terlelap dlm rapat, HP yg lupa di silent saat shalat berjamaah, lupa menyiram toiet setelah dipakai (flush), tak sengaja berada pada lokasi yg salah pada waktu yg salah dll.

Khusus aib besar tentu secara sadar dan semampu mungkin akan diupayakan menutupinya. Namun bagaimana dengan aib kecil ? Aib kecil muncul tak sengaja, di tengah lelah, kala keruwetan pikiran/ perasaan melanda, tempat yg baru/ramai, saat terburu-buru, disibukkan oleh anak yg menangis, dll. Sebagaimana ditulis di awal, Allah Maha Pengasih pada hamba Nya, sehingga hamba tsb *diselamatkan* dari aib-aib tsb. Seberapa besar keselamatan yg diberikan itu tentunya ditentukan pula oleh faktor kedekatan seseorang pada Pencipta Nya.  Apalagi jika seseorang rajin berdoa mohon ampunan dan perlindungan dari Allah SWT atas segala khilaf, kata, dan lakunya, baik yg disengaja ataupun tidak. Namun ada jg orang yg secara sadar justru *menikmati* mengumbar aib besar ataupun kecil di hadapan orang ramai (naudzubillah min dzaliik). Bukannya ditutupi malahan di ekspose agar menjadi trademark baginya. Nah tipe yg ini bagaimana mau diselamatkan ? Banyak contoh di negeri kita dimana kisah kelam masa lampau yg tiba-tiba mencuat oleh wartawan, lawan politik, mantan kawan, yg mengganjal kesuksesan atau menghancurkan karir seseorang yg sedang terang benderang di masa hidupnya.

DarulAman_eunos_2010
Terlepas dari sifat rahman Allah yg mengayomi setiap manusia di bumi, bagaimana sikap kita sebagai seorang muslim saat melihat/mengetahui seseorang di dekat kita yg sedang tak sadar bakal atau terlanjur *tertempel* aib ini ? Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar RA, Rasulullah SAW bersabda: " ...Barang siapa menutup aib seorang muslim, maka Allah akan menutup aibnya di dunia dan akhirat. ... " (HR Bukhari, Muslim). Itulah sikap yg disunnahkan. Sebagai tindakan preventif, mulai sekarang janganlah ragu utk mengingatkan mereka yg tanpa sadar bakal *memancing* aib bagi diri, keluarga, atau komunitas nya. Ingatkan ia yg lupa membersihkan giginya sesudah makan, lupa mengancing celananya, mematikan HP sebelum shalat berjama'ah, jaywalking, buang sampah sembarangan, berencana pergi ke tempat yg tak baik, tak perlu mengungkit kejelekannya di saat ia berjanji utk menjadi hamba Nya yg benar dll. Setelah kita peringatkan atau tutupi aib nya (mgkn sudah terjadi), jangan pula kita jadi aktor gunjing dengan menyebarkan cerita kepahlawanan kesana kemari, karena Allah SWT mengibaratkan ghibah (membicarakan kejelekan atau aib orang lain atau menyebut masalah orang lain yang tidak disukainya, sekalipun hal tersebut benar-benar terjadi) dengan “memakan daging mayat saudara sendiri” (Q.S. al-Hujurat:12). Jadilah pencegah aib yg ikhlas, semata-mata engkau cinta saudaramu karena Allah.

Semoga Allah memberi petunjuk dan kekuatan agar kita mampu saling menutupi aib (tentunya dengan memperingatkan/ menasehati pelakunya dengan baik/lemah lembut) dan agar Allah menjaga diri dan keluarga kita dari aib di masa kini dan masa datang. Amiin.

Bacaan lain yg cukup bagus, disini.

Sep 15, 2011

Investor Rumahan

Sejak kecil biasakan anak bersedekah. Salahsatunya dgn cara memberinya kesempatan untuk memasukkan sendiri uang ke dalam kotak amal atau pada pengemis. Jelaskan mengapa kita perlu bersedekah, kotak amal itu benda apa, siapa itu pengemis dll dengan bahasa yg mudah dipahami. Tak kalah pentingnya, sebagai orang tua bersiaplah untuk menjadi teladan. Kegiatan ini berbekas sampai hari ini. Alhamdulillah kami diberi kemudahan utk menyambut ajakan untuk bersedekah atau berzakat ini terutama di lingkungan sekitar keluarga/rumah.

Terkait dengan pemakaian uang utk kepentingan bersama yg juga saya rasakan manfaatnya adalah kebiasaan Papa mengajak kami patungan (berpartisipasi) dalam membeli atau merealisasikan sesuatu yg yg disepakati di dalam keluarga. Saya dan adik-adik punya  celengan (wadah tabungan dari tanah liat) sendiri, mulai dari yg berbentuk kendi air, ayam betina, dan kemudian ayam jago dengan bertambahnya pemasukan … eh usia. Isinya *diusahakan* uang yg kertas, didapat dari hadiah angka di rapor, kado ultah dari keluarga, salam tempel dll. Ada jg kadang-kadang menabung uang sisi jajan.

Kapan celengan itu dipecahkan. Yang pasti jika sudah terasa berat (penuh), lalu uangnya ditukar dgn lembaran uang kertas nominasi lebih besar dan dimasukkan lagi ke celengan baru. Namun ada satu kegiatan yg juga menyebabkan celengan ini ikhlas dibanting yaitu saat kami terpanggil diajak patungan membeli sesuatu di rumah. Waktu itu saya masih kelas 2 SD dan kami pindah rumah ke Cipinang. Rumah tanah yg baru selesai dibangun itu tentu masih kosong. Perabotan lama dari rumah kontrakan di Matraman tak bakal cukup  memenuhinya. Papa dan Mama pasti sudah habis-habisan berkuras tabungan utk merealisasikan rumah idaman milik sendiri ini, ya sejak beli tanah, membangunnya, dan mengisinya sekarang. Bertiga dengan adik2 yg masih kecil tentu kami tak faham kondisi itu :-) Rumah masih baru, masih menyisakan debu material, dan malah ada yg masih dikerjakan tukang. Di tengah kanan rumah, sebuah calon kolam ikan air tawar (land water fish pond) sedang digali tanahnya ! It must be interesting though.

Saya senang sekali mendengar rencana kolam ikan tsb. Maklumlah sebagai perantau dari Bukittinggi khususnya dari kecamatan Sei Puar- Banuhampu, kenangan memiliki rumah yg dikelilingi tabek (tebat-tebat) ikan seperti di sana amat kuat. Dgn air bening dan sejuk mengalir dari mata air yg banyak terdapat di sekitar kaki Gn Marapi dan Singgalang. Papa ingin menghadirkan secuil pemandangan di kampuang halaman di rumah. Namun sebuah kolam ikan tentu tak murah, perlu didekorasi menjadi taman dan ingin pula ada air mancurnya :-) Dibuatlah rapat kecil utk mengumumkan anggaran yg diperlukan, semua anggota keluarga dipanggil. Intinya perlu dana utk memplester kolam dan dinding taman plus pompa air utk menciptakan air mancur dan rembesan air yg keluar dari dinding taman masuk ke kolam. Papa pun *mengajak* saya utk jadi investor kecil ... alhasil saya setuju. Celengan yg sudah cukup lama belum pernah dibuka itu pun akhirnya dipecahkan. Saya lupa brp jumlahnya namun sudah cukup banyak utk membuat instalasi pipa air di dinding taman, air mancur, dan pompa airnya :-) Alhamdulillah jadilah kolam ikan pertama di rumah kami. Hingga hari ini kolam itu tetap awet di sana meski sudah bbrp kali berubah wajah dan isi :-)

Di lain waktu, rapat-rapat penggalangan dana itu terjadi lagi, dan kini adik-adik mula terlibat. Ada-ada saja yg dianggarkan, membeli lampu meja makan, mengganti TV baru, dan ada bbrp kali yg lain. Saya sudah lupa detailnya. Apa lagi sejak SMP sudah memakai tabungan, jadi kisah seru membanting celengannya tak ada lagi :-) Prinsipnya Papa ingin mengajak seluruh anggota keluarga bergotong royong tanpa melihat jumlah kontribusi. Bukannya ortu kekurangan uang, mgkn tidak sama sekali saya fikir (I need to cross check this, insya Allah kalau ingat, what is the real motivation).

Contoh hasil patungan
(foto-foto dari internet)

Pola semacam ini saya cobakan jg bersama si kembar. Yang masih ingat sekali adalah membeli jajanan yg tidak ada anggarannya sama sekali (krn kami jajan bila di sekolah saja, di rumah tak pernah). Nah ini curi-curi kesempatan: mulai beli kue wafer superman, coklat ayam, buku-buku cerita, majalah, sampai yg paling berkesan membeli bbrp model game watch (Nintendo, Casio). Berkesan sekali. Biarlah saya berkorban, jadi kasir dan pencari barang nya.


Hal-hal yg telah dilakukan tadi memberi dampak yg baik, minimal utk seusia kami saat itu. Secara tak disadari, praktek tolong menolong utk menggapai keinginan bersama, menjadi share holder yg dihormati, dan tak kalah penting yaitu membangun rasa saling memiliki. Kalau biasanya anak-anak itu rebutan antar saudara atau bersaing utk membanggakan apa yg ia punya, namun apa yg terjadi di sini adalah saling pengertian, berbagi senang (coklat, waktu main, waktu baca), krn tokh ini milik bersama.

Di lain waktu, Papa juga meluaskan lingkup berbagi ini keluar rumah, yaitu lewat bersedekah dan tentunya berzakat dan ikut qurban saat kami sudah memiliki penghasilan sendiri. Ada-ada saja *himbauan* yg datang untuk ikut menyumbang ini-itu baik di masjid dekat rumah atau kampung halaman. Mnrt saya himbauan ini adalah sarana bagi kita, sebuah kemudahan yg diberikan utk menyalurkan sebagian rezeki di tempat-tempat yang sudah diyakini kemanfaatannya (alias tidak khawatir sumbangan tidak sampai pd yg berhak). Semoga pengalaman berharga ini dapat kami tanamkan juga bagi anak-anak, keponakan, dan saudara-saudari kami yg lain.









Dicari Penyewa yang Owner Friendly

Kami pernah menyewa rumah bbrp kali saat berada di luar negara. Motif utama si pemilik rumah (owner/landlord) menyewakan rumahnya adalah mendapatkan penghasilan pasif (tambahan). Pemilik biasanya akan tinggal di tempat lain, mgkn ia punya rumah lebih dari satu (investasi), berbagi bersama ortu/anaknya, menyewa lagi di tempat lain yg lebih murah (mendapatkan keuntungan dari selisih uang sewa), atau ia memang sedang travelling dalam waktu lama ke tempat lain juga.

Biasa, untuk menyewa rumah pertama kali selalunya memerlukan uang deposit. Uang ini berbentuk cash dalam jumlah yg cukup besar. Paling kecil adalah satu bulan sewa dan terbesar adalah enam bulan. It is really a big money to start your own home in foreign country. Malahan di beberapa negara, pemilik meminta deposit awal uang sewa satu tahun. Selain deposit, ada tambahan berupa uang komisi utk agen rumah yg membantu mencarikan dan kemungkinan ada pula uang awal utk pemilik rumah (di Jepang namaya reikin = uang kebajikan) yang besarnya 1-2 bulan. Uang agen dan reikin ini adalah uang hangus tak kan kembali lagi. Biasanya utk kasus2 tertentu, perusahaan tempat penyewa bekerja menyediakan pinjaman lunak tanpa bunga untuk membayar uang deposit tadi.

Uang deposit mengikat kedua belah pihak (penyewa dan pemilik). Biasanya dalam perjanjian sewa di awal, ditetapkan masa minimum sewa misalnya enam bulan. Dalam masa ini tiada yg boleh melanggar masa minimum, jika tidak ingin mendapatkan denda, yaitu membayar pihak yg dirugikan sejumlah deposit yg telah disetujui. Si pemilik tak berhak mengusir si penyewa dan si pemilik tak boleh memutuskan untuk tak melanjutkan sewa. Hukum ini mengikat keduanya dan meskipun *biasanya* tidak diatur oleh hukum positif di negara itu, kedua pihak menaatinya. Setelah masa minimum tsb lewat, uang deposit tetap ditahan oleh pemilik rumah hingga akhir masa kontrak atau si penyewa menyatakan akan keluar dari rumah tsb. Dengan adanya uang deposit di tangan, si pemilik rumah berada pada posisi di *atas angin*, memiliki sedikit kekuatan untuk menekan agar si penyewa *berlaku sesuai yg diharapkan* sebagaimana yg tercantum dalam surat perjanjian sewa. Rumah sewa perlu dirawat terutama jangan sampai rusak perabotannya (bila menyewa fully furnished), kotor atau bocor. Jika terjadi hal-hal dalam rumah misalnya mesin cuci mogok, kebocoran, atau pipa air mampat segera melapor pemilik rumah atau penanggung jawab komplek apartemen (hausmeister istilahnya di Jerman). Khawatir jika dibiarkan akan membuat masalah makin besar. 


Di saat akan keluar nanti, pemilik rumah akan mengecek seisi rumah dgn seksama. Pengalaman berkesan saat di Muenchen dimana pak Hausvermieter kami (meski seorang supir taksi) begitu detil memeriksa kebersihan dinding, ventilasi, langit-langit, ventilasi, dapur, dan toilet. jari-jari tangannya begitu mahir menyapu pojok-pojok ruangan/ventilasi utk memeriksa debu atau noda minyak di dapur dan matanya memeriksa seksama langit-langit ruangan dan toilet untuk menandai jika ada jamur menempel di sana :-) Wah benar-benar inspeksi komplet dah sehari sebelum kami mengakhiri sewa di apartemen pertama kali di Muenchen itu. Alhamdulillah uang deposit kembali 100%. 

Memang tak semua pemilik rumah semacam itu. Ada yg sudah tak mau ambil pusing krn mereka tinggal jauh dari sana atau sedang ke luar negeri, namun mereka sudah meletakkan klausul *uang keluar rumah* sekitar 1/2 - 1 bulan sewa di surat perjanjian untuk uang kebersihan dan antisipasi kerusakan ini. Makanya ada bbrp kejadian saat kami keluar apartemen di hari terakhir untuk pindah atau keluar habis dari negara tsb kami hanya memasukkan kunci pintu apartemen ke dalam kotak surat, tanpa pernah bertemu muka dengan pemiliknya sejak pertemuan pertama kali dulu :-) 

Selain uang deposit, penyewa rumah pun memiliki kewajiban membayar rekening pemakaian listrik/air/telepon sendiri. Beda negara, beda cara memang. Ada yg sudah diperhitungkan dalam uang sewa atau ada juga pakai nama penyewa (si penyewa *memasang sambungan* atas namanya sendiri). Di Jepang dan Singapura, si penyewa wajib melapor sebagai pelanggan baru dan mendapatkan nomor pelanggan baru utk fasilitas tadi. Hal ini jelas memberi keuntungan bagi si pemilik rumah karena ia tak perlu pusing mengurusi tagihan tsb tiap bulan dan tak bakal terkena denda jika rekening telat/tak dibayar si penyewa. Hanya saja utk pemakaian bulan terakhir, penyewa perlu menitipkan uang secukupnya utk mengira pemakaiannya di bulan itu (sesuatu yg tak perlu dirisaukan saat ini krn pembayaran melalui online banking sudah dapat dilakukan di mana dan kapan saja). 

Bagaimana dengan kondisi di tanah air atau di Jakarta pada khususnya yg saya pahami ? 
Utk apartemen/condominium/rumah mewah, terutama yg disewakan pada kantor atau ekspatriat (orang asing) mungkin memiliki standar yg sama spt di atas. Ada uang deposit dari persentase uang sewa setahun atau satu/dua bulan. Namun kasus yg sangat umum adalah tak ada istilah uang deposit sama sekali. Tagihan listrik, air, dan telpon pun masih tetap atas nama pemilik rumah. 

Rumah yg disewakan/dikontrakkan itu nasibnya tak jelas, tergantung hoki, dapat penyewa baik atau tidak. Mau hancur, bocor, dekil, pintu/kunci rusak, lampu hilang ... apes dah ... uang kontrakan setahun habis utk mendandani rumah itu lagi. Listrik, air, telpon nunggak bbrp bulan terakhir, sementara si penyewa super duper boros ! Akibatnya pemilik rumah yg harus menanggung beban utk menyambung kembali aliran2 yg terputus itu plus DENDA nya. 

Mau dikata apa ? Lebih beradab kah penyewa yg berktp indonesia dibanding penyewa bule ?

Hingga kini, saya pun nggak berani beli rumah utk tujuan dikontrakkan. Resikonya hancur. Sudah mencari penyewa susah, narik pembayarannya susah dgn 1001 alasan nggak punya uang, ribet dah. Padahal tujuan awalnya si pemilik menyewakan adalah utk passive income, agar rumahnya tak lapuk, agar jangan ada maling masuk dll. 

Hubungan harmonis dengan pemilik rumah amat menguntungkan penyewa
Diantaranya penyewa dapat renegosiasi harga sewa saat akan memperpanjang masa sewa, tak perlu lagi bayar uang agen, atau uang "kebaikan* kepada pemilik rumah. Kami juga punya pengalaman unik dimana saya dgn panik menelpon pemilik apartemen yg bekerja sebagai supir taksi membantu saya yg kebingungan membawa Ford stir kiri saat pertama kali menyewa mobil di musim dingin 2002. 

Satu lagi pengalaman paling berkesan saat kami harus meninggalkan kota ini mengejar flight TG402 menuju Bangkok, diantar oleh pemilik rumah ke Terminal 2. Tiba di bandara waktu sekitar satu jam lebih sedikit, mereka membantu kami dengan bagasi yg banyak saat itu dan terakhir kami pun terpaksa minta tolong untuk *membawakan* barang2 kami yg sudah tak mampu lagi utk dibawa pergi krn terlampau banyak overweight. Hingga hari ini pun kami masih berhubungan dengan pemilik rumah yg baik hati ini :-)