Nov 17, 2012

Haji dan Ikhlas

Hingga hari ini dan bahkan sampai hari akhir pun tetap masih ramai orang, baik muslim atau non-muslim, yang heran atau ngotot bertanya mengapa untuk ibadah haji ke tanah suci itu perlu biaya mahal. Perdebatan berlaku di ranah intelek maupun di warung tegal cum kaki lima. Mereka selalu menuding pemerintah atau pemilik bisnis (hotel, travel, jasa boga dll) di Arab Saudi yg membuat harga tsb super mahal hanya untuk kepentingan pribadi semata. Mereka heran begitu banyak orang tak mampu secara finansial yg amat ingin pergi namun tiada biaya, sementara mereka yang kaya ulang alik pergi ke sana tanpa merasa ada yang salah dgn sistem ini semua. Bagi warga yang tak percaya Tuhan atau kawan non-muslim akan berargumen mengapa untuk bertemu Tuhan begitu susah dan mahal.

Ritual haji yang sudah ada sebelum Islam dikenal 1430 lebih tahun yg lalu memang sudah menantang. Medan dan alam yg keras. Panas, berdebu, sukar air, dan perjalanan yg ditempuh berpulu hari dengan unta bagi mereka yg tinggal "di sekitar sana". Spt yg saya masih baca kisahnya dalam karya2 Prof. Hamka (alm), 100 tahun yg lalu, muslim di Asia Tenggara ini naik kapal ke sana yg memakan tempo hingga satu bulan bila lancar dan laut bersahabat. Ada yg meregang nyawa di tengah laut padahal sudah bulat tekad utk menghampiri Ka'bah atau mereka yg tak sempat kembali ke tanah air karena kapal karam di lautan sepulang haji. Jauh bedanya dari sisi waktu dengan perjalanan hari ini yg lumayan cepat "hanya" 10 jam dengan pesawat terbang.

Namun dalam pandangan saya tetap ada dua hal yg konsisten dari masa ke masa. Niat dan modal. Niat itu utama, ia lah yg mengerahkan seluruh modal utk menyukseskan ritual ini. Modal hadir dalam berbagai rupa: keuangan, kesehatan, dan waktu, dan ketiganya perlu dalam kondisi prima sebagai definisi MAMPU. Mengenai kata mampu (istata'a) ini sebagaimana yg difirmankan Allah Swt dalam Qs ali Imran (3:97) "... mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah...". Terjemahan versi Depag menambahkan bahwa mampu di sini adalah sanggup mendapatkan perbekalan dan alat-alat pengangkutan serta sehat jasmani dan perjalananpun aman.


Haji 1428 (Nov-Des 2007)
Bagi yang mampu artinya tiada paksaan bagi yg belum atau tidak memenuhi. Tujuannya jelas adalah Baitullah bukan tempat (kota, negara) lain. Apakah hanya di Baitullah (tanah haram atau tanah suci) seorang muslim dapat bertemu atau meminta kepada Tuhan Nya atau doa hamba dikabulkan ? Tentu saja tidak. Sampai sini sudah jelas ketiga poin ini:
(1) Haji hanya bagi mereka yang mampu.
(2) Haji hanya ada di tanah haram Makkah dan Madinah.
(3) Seorang muslim dapat shalat dan berdoa di mana saja.
Dari poin (1) dan (2) di atas pentingnya KEIKHLASAN dalam berhaji. Mampu menurut saya juga termasuk kemampuan meingkhlaskan hati utk pergi ke sana, mengikhlaskan uang yg dikumpul bertahun2 utk ke sana, bahkan mengikhlaskan nyawa berpisah dgn badan apabila Allah Swt berkehendak. Ritual haji sangat jauh berbeda dengan tamasya / tur untuk bersenang-senang. Hati perlu ikhlas untuk "berbaur" dengan setiap kemungkinan situasi dan kondisi yg terjadi pada saat ritual berlangsung. Badan yg lelah, suhu panas, dan kesesakan jamaah kadang membuat hati mudah marah. Pelayanan yg tak memuaskan, jadwal yg tak terkendali, kecopetan, salah arah dll sangat mungkin dan biasa terjadi.

Jadi IKHLAS kah kita ? Sebuah perjalanan yg memakan biaya yg tak sedikit. Waktu yg harus disisihkan hingga kadang mencapai 40 hari, berpisah dgn keluarga, pekerjaan, kesempatan yg tertunda/hilang. Kesehatan ambruk selama ritual atau sepulang haji. Paket tur ini memang lebih mahal dari 40 juta rupiah. Biaya tsb belum termasuk harga keikhlasan :-) Mereka yg pernah berulang kali umrah ke tanah suci tidak akan gegabah berkata kami sudah sangat berpengalaman dengan medan/suasana di tanah suci sehingga tak perlu khawatir dgn segala tantangan / kesulitan dalam berhaji. Sangatlah berbeda antara umrah sunnah dan haji. Namun jangan khawatir, hingga hari ini saya belum pernah dengar / baca ada jamaah haji yg pulang dari sana, protes / marah / stres / gila macam caleg (yg merasa ditipu, sudah keluar modal milyaran) gagal terpilih, karena kecewa dengan pelayanan / pengalaman haji yg ia lakoni :-)

*****

Haji memang barang mahal.
Di luar angka korupsi dan keuntungan pelaksana jasa haji.

Hotelnya mark up semua, high demand limited supply (sebuah hukum ekonomi biasa). Tinggal di hotel 4 minggu lebih ... minimal hotel kelas melati dua di jakarta saja sudah 200 ribu semalam (peak season).

Pesawat bawa penumpang searah doang ... SIA (SQ) saya tahu kenakan biaya Rp. 20 jeti lebih utk pp Singapur -> Jeddah. Okelah jamaah Indonesia naik yg budget airlines ... bayar 1/2 nya alias 10 jeti.
.
Uang saku utk jamaah 1500 Riyal ... nah sudah 4 jeti (ini utuh balik ke jamaah).

Beli kambing utk bayar dam (if he/she has to) ... 2 jeti.

Transport full-AC airport <-> hotel, transit, selama ritual haji (apalagi yg perlu shuttle bus krn pondokan haji jauh dari masjid), medinah-makkah trip 700 km ... 1 jt.

Admin ... 1 jt.

Hitungan bandar di atas = 28x200r + 10j + 4j + 2j + 2j = 24 jeti ... mah lewat.

Kecuali jika pemerintah arab saudi mengizinkan jamaah sebagai backpacker tourist ... nggak pakai hotel, makan cari sendiri, luntang lantung macam bule jalan jaksa dll.

Jadi 30 jeti plus plus itu really makes economic sense for 30-40 days overseas trip tanpa kelaparan he..he.. ANDAIKATA pemerintah sudah menabung alias investasi sejak dulu beli tanah/hotel utk pemondokan di dua tempat Makkah dan Madinah, mgkn kita bisa berhemat biaya haji. Tentunya jika diizinkan si pemilik tanah/negara. Namun terbayang juga biaya utk merawat hotel-hotel besar tsb (utk kuota 200 000 jamaah) setiap tahun, meskipun ia dapat disewakan di luar bulan-bulan haji. Mengharapkan pemondokan di dekat masjid (radius hingga 2 km) tetap akan memerlukan biaya yg terus meningkat krn persaingan dari tiap penyelenggara haji yg berebut ingin di sana.

Labbaik allaahumma labbaik !

Nov 4, 2012

PertamaKali: Ke Jakarta (Ciek)


Akhirnya penantian itu berakhir. Harap-harap cemas dan gali informasi sana sini terjawab sudah. Rabu 24 Oktober 2012, diiringi rintik-rintik pagi, kami berangkat awal jam 8.30 menuju Terminal 3 Bandara Changi. DuoS sudah punya tiket bareng Papa Mama nya untuk menumpang GA827 terbang ke Jakarta jam 11:25. Alhamdulillaah pagi itu Shalihah dan Shalih sehat, sudah mandi, minum susu, dan yg terpenting ... kompak. Shalih masih leyeh-leyeh mengantuk sehingga rebahan lagi di karpet mainnya, sementara uni Shalihah sudah rapi wangi standby di dalam baby walker.


Pengalaman pertama tentunya cukup heboh bagi kami. Mulai dari mengatur isi koper, pesan taksi, dan yg tak kalah penting amunisi minum bayi dan diapers di ransel. Kalau dihitung sejak meninggalkan rumah, akan lebih dari 6 jam perjalanan ini. Paling cepat tiba di Jakarta jam 12 WIB lalu taxi ke rumah inyik. Berarti asupan minum untuk dua kali. Keluar rumah saat supir taksi sudah menelepon di area parkir bawah, diiringi tetangga kami (mak cik dan pak cik) dan kak Eva. Koper besar satu, koper kabin satu, ransel bayi satu, dan tas sandang dokumen yg berisi paspor dan tiket. Mendung terus menaungi taksi sepanjang expressway menuju bandara.

Belum ramai calon penumpang pagi itu dan kami langsung checkin awal di counter Garuda. Kedua tas dimasukkan ke bagasi dan saya pesan agar si kembar dapat deretan kursi yg memiliki bassinet. Entah apapun itu bentuk dan ukurannya, petugas checkin menjelaskan bahwa GIA yg ke Jakarta ini bertipe 737-800 yg bodi nya tidak lebar, sehingga tak ada kursi penumpang yg dilengkapi dengan bassinet. Hmm ... tidak spt penjelasan yg saya terima saat pesan tiket. Petugas hanya memberikan kursi ekonomi deret terdepan yaitu baris nomor 5 di lajur kanan (E dan F). Mengenai makanan bayi jg sudah disediakan meski kami belum tahu bakal diberi apa :-)

Usai proses checkin stroller DuoS didorong untuk menuju gerbang imigrasi. Foto bbrp petik untuk kenangan sebentar lalu menuju counter imigrasi. Di sini pun tak ramai, alhamdulillah lancar urusan.


Berhubung masih ada waktu sekitar 2 jam kami mau duduk-duduk sebentar sambil memandang pesawat-pesawat parkir.

Akhirnya kami cari tempat dgn viewing angle yg uenak dan banyak kursi kosongnya. DuoS masih leyeh-leyeh di dalam stroller yg parkir. Namun kasihan jg melihat mereka di dalam terus, mulai lah saya keluarkan gantian satu persatu :-) Foto-foto lagi, ngobrol dgn mama nya, mengawal keduanya lompat-lompat  atau tiduran di sofa. Pokoknya enjoy the moment lah. Sampai akhirnya, saya sadar sudah masuk boarding time dan jam di tivi informasi keberangkatan menunjukkan LAST CALL (45 menit lagi). Lha... cepat sekali waktu berlalu.Ternyata menuju ruang boarding sangat jauh ! ... tak diperhitungkan sebelumnya bahwa GIA ini  parkir diujung terminal 3. Mulailah kami berlari-lari kecil sambil mendorong stroller ke tujuan. Mana sempat window shopping lagi, lagipula deretan ruang boarding melulu di kiri kanan jalan, dan untuk mempercepat langkah kami harus pakai travelator. Duuh ... saat itu mana terpikir mau cari shuttle train di mana, padahal sudah disediakan.

Pyuuuh ... masih ada waktu.

Benar saja setiba di ruang boarding yg luas di pojok itu (krn ada bbrp gate digabung satu) kami adalah satu dari lima (mungkin) penumpang terakhir. Pakai periksa keamanan pula terhadap barang bawaan dan ... baby stroller. Untung saja DuoS mau diajak kompromi utk terkadang "lepas" dari pandangan kami karena stroller mereka terlalu lebar untuk masuk pintu scan :-(  Heran juga pagi itu, barisan penumpang yg masuk pesawat sudah sedikit. Sesuai ulasan saya di awal tadi, penumpang tak ramai dan mereka sudah hadir di sana sejam atau lebih sebelumnya. Jelas saja pihak maskapai mengumumkan last call :-)

Selesai imigrasi, masuk pemeriksaan boarding pass, langsung kami berjalan menuju belalai pintu  pesawat. Masih dengan nafas memburu. Alhamdulillah stroller boleh dibawa hingga pintu pesawat. Di dekat pintu sebelum masuk saya minta tolong salah seorang mbak ground staff untuk menggendong Shalih krn saya harus melipat stroller. Sekali lagi DuoS menjalaninya dengan tenang. Good boy, Good girl !

Sampai di dalam pesawat, kursi lajur 5 di sebelah kanan. Ada sedikit masalah bahwa saya dan istri harus duduk terpisah.

What is the matter !

Alasan pramugari, hanya ada tiga pipa oksigen di atas tiga kursi penumpang di deret tsb (5D/E/F), sementara kalau kami duduk di sana diperlukan lima pipa O2. Di deret 5 kanan itu sudah ada seorang penumpang kl tak salah ingat. Jadi dia akan duduk bareng istri dan Shalihah. Sementara saya harus duduk di deret 5 kiri (5C). Waduh mana enak jika begini. Untungnya saat itu banyak seat kosong di dalam. Kami negosiasi dengan pramugari dan penumpang di sebelah Elwis saat seluruh penumpang sudah masuk pesawat.  Alhamdulillah boleh pindah dan kami kini bisa duduk berempat. Saya dan istri pasang seatbelt duluan lalu baru seatbelt untuk DuoS, yg ternyata dibelitkan ke seatbelt orang tua nya.

Selesai urusan gonta ganti kursi, datang lagi satu pengumuman dari pramugari. Ternyata menara kontrol Changi belum membolehkan GA827 tinggal landas. Trafik penuh sementara dua runway sedang dalam perbaikan hari itu. Pesawat kami dipaksa menunggu 30 menit atau lebih :-( Duh tadi sudah senang bakal berangkat tepat waktu. Kami perhatikan wajah anak-anak. Mereka masih ketawa-tawa dan duduk berdiri sambil tangannya mencoba meraih apapun yg ada di dekatnya. Sempat foto bareng pramugari pula :-) Cemas, krn 30 menit bukan sebentar dan berdiam di dalam burung besi di bawah terik matahari pagi (o ..ya hujan sudah reda dan berganti terik matahari hampir tengah hari). Alhamdulillah lagi-lagi si kembar pengertian dan waktu yg dijangka 30 menit tadi ternyata lebih pendek. Mulailah terasa pesawat mundur dan membelok menuju jalur taxi. Oo, Shalih pun sudah 5 watt dan benar sj saat taxi sepuluh menitan itu ia tertidur. Uni Shalihah masih ON.

Berbekal air minum di botol kembar, kami memberi minum uni Shalihah saat pesawat benar lepas landas. Untuk Shalih, ia tetap nyaman tidur ! sehingga saya putuskan tak perlu diberi apa-apa. Memang dari apa yg saya baca, bayi itu paling bagus pada kondisi tidur saat pesawat lepas landas atau mendarat. Pendakian yg mulus, nyaman bagi siapapun. Shalihah juga santai dan akhirnya tertidur bbrp saat sebelum hidangan tiba :-)

Ada tidak enaknya duduk di deretan terdepan (berhadapan dgn dinding pembatas dgn kelas bisnis ini), tray makanan bukan dari sandaran kursi depan melainkan dari tangan kursi sebelah kiri. Harus dikeluarkan dari sana. Artinya tempat kami menjadi sempit krn posisi kami memeluk/menggendong bayi. Namun yg namanya perut lapar dan menu Garuda yg oke punya membuat seluruh halangan tadi tiada berarti. Sikat habis ... apalagi DuoS pun masih dpt tidur pulas saat Papa Mama nya mengisi bekal. Hanya uni Shalihah yang terjaga sebentar dan disuapi apple puree dalam botol kecil yg diberikan pramugari (it is what they call baby food).

Tak terasa kota Jakarta sebentar lagi terlihat. Pramugari pun sudah sigap mengemasi nampan-nampan hidangan dari penumpang. Cuaca cerah dan panas di luar. Shalihah sudah terjaga duluan dan sekarang lagi injit-injit menapak di karpet pesawat, tangan-tangan mungilnya mengacak-ngacak kantong majalah di depan. Saat pendaratan siap dimulai saya peluk lagi si uni dan berikan botol air minumnya. Kmdn roda pesawat benar-benar menapak di landasan, suara mesin meraung keras untuk menahan laju pesawat, di saat itulah Shalih ngucek-ngucek mata terbangun dari tidur satu jam nya. Assalaamu'alaikum Shalih, kita sudah mendarat di Jakarta nak ... seperti biasa dengan senyum lebar Shalih merespon salam tsb.

Saat pesawat bergerak pelan menuju tempat parkirnya tak terasa pikiran dan perasaan menerawang jauh. Mengingat masa-masa pendaratan di Jakarta selama dua belas tahun sebelum hari ini. Benar-benar beda. Sebuah pengalaman baru sangat terasa. Bila dulu, saya turun pesawat sendiri atau berdua, kini alhamdulillah tim lengkap berempat. Kl dulu ingin grasah-grusuh ingin keluar duluan dengan segala macam jinjingan dari dalam kabin, kini kalau bisa jinjingan tak ada dan perlu menggendong bayi. Turun pun sengaja ditunda sampai agak sepi dan tidak lupa menanyakan stroller DuoS di pintu keluar. Segala puji syukur ke hadirat illahi, kami mendapat rezeki dan kesempatan untuk dapat menapak di tanah air kembali membawa dua cahaya mata ini ... Saya berdoa saat itu agar Shalihah dan Shalih dapat beradaptasi dengan baik (makanan, minuman, udara, lingkungan, orang-orang baru di sekelilingnya) di Jakarta.


*********

Pengalaman tidak mengenakkan langsung menyambut saat GA827 taxi di bandara Soeta Jakarta, Elwis sudah curiga karena pesawat makin menjauhi pondok-pondok boarding room yg biasanya. Ternyata benar saja kami diturunkan di tengah-tengah landasan dan sudah tampak bus-bus berbadan lebar penjemput. Apa boleh buat, usai menuruni anak-anak tangga pesawat di siang yg cukup panas itu, saya minta baby stroller ke salah seorang petugas. Mgkn krn tidak biasa atau belum tahu prosedur pria itu mengatakan stroller diambil bersamaan dgn bagasi. Ah mana mungkin stroller itu kan ikut naik ke dalam kabin saat berangkat tadi. Untung saja staf lain lebih cekatan dan memberikan stroller yg saya minta entah darimana diambilnya :-) Ia membantu jg menaikkan stroller tadi ke bus penjemput. Saya menggendong Shalih dan Elwis bawa Shalihah. Pintu bus menutup setelah bbrp penumpang lain ikut naik juga.

Saya bersiap untuk sesuatu yg buruk di depan tapi masih ada harapan.

Biasanya usai turun bis ini kita akan masuk sebuah pintu dan lanjut naik tangga ke lantai berikutnya. Tidak ada eskalator ! Saya berharap ada petugas bandara di sana. Bus berhenti, semua penumpang akan turun, tapi tak ada seorang pun wajah petugas saya lihat di sana :-( Ooh ! Alhamdulillah, ada seorang penumpang wanita muda yg berbaik hati membawakan stroller si kembar turun bus ... dan juga ia angkat naik anak-anak tangga hingga tersedia eskalator di lantai berikutnya. Tak sempat kami berkenalan dan hanya ucapan terima kasih dan senyum yg tulus untuk mbak-mbak yang baik itu. Padahal ia pun punya barang jinjingan dan cukup terhuyung membawa stroller 12 kg an tadi.

Selepas peristiwa tadi, urusan lancar. Toilet, imigrasi, tunggu bagasi, scan tas bagasi lancar. Jam itu memang tak banyak pesawat masuk dari luar negeri. Keluar pintu kedatangan langsung saya pesan taksi LAKS untuk ke rumah ortu. Alhamdulillah kehadiran DuoS disambut inyik, nenek, dan abang Naufal. Kami putuskan utk ambil Kijang Innova saja agar muat tujuh penumpang plus bagasi.

Jalanan di tol dalam kota yg ternyata macet. Mestinya dapat ditempuh kurang dari 45 menit kini perlu 1.5 jam utk tiba di rumah. Si kembar kadang tidur, nangis, atau lompat-lompat di kursi penumpang bersama Inyik, Nenek, dan Elwis. Saya duduk di sebelah supir bersama Naufal. Akhirnya perjalanan pagi itu selesai juga, si kembar disambut tante Rina dan kakak Naira di rumah. Langsung menuju kamar utk LP (meLuruskan Pinggang) dan gonta ganti pampers plus cuci muka sama mama nya :-)




-> bersambung <-