Mar 27, 2010

935100

Total tempat tinggal penduduk di sini ada sekitar 1100 ribu lebih terdiri dari HDB, kondominium, dan rumah-rumah pribadi baik berupa landed maupun private-flats. Bagian terbesarnya yaitu 83.5% adalah HDB (baik tipe 1/2/3/4/5-rooms atau Executive flats). Dari sekian banyak flat HDB, penduduk tetap Singapura (SPR) hanya memiliki 4.9% nya. Kenyataan menunjukkan mayoritas upper-class SPR memilih tinggal di kawasan swasta seperti kondominium atau private-flats.

Dari tulisan sebelumnya total populasi di pulau seluas 721 km2 ini ada sekitar 4.99 juta orang: 3.2 juta warga negara, 530 ribu SPR, dan sisanya orang asing. Dari total 3.73 juta penduduk (warga dan SPR) sebanyak 3089 ribu lebih tinggal di HDB. Ini adalah angka yang dikeluarkan biro statistik akhir Sep 2009 lalu.

As usual pictures speak louder than words, taken from our backyard and frontyard

What is important, he says, is not to lose sight of the tenets of Singapore’s public housing programme (Mr. Mah Bow Tan, Minister of Nat'l Development on Weekend Today 27 March 2010):

(1) Providing access to public housing for a large majority of the population;
(2) allowing Singaporeans to own their homes;
(3) and sustaining the value of their flats over a lifetime — thus enabling owners to monetise their units.

Currently, more than 80 per cent of the population here lives in HDB flats — a figure that has been steadily dipping from around 90 per cent a few decades ago. And as private housing becomes attainable to a larger segment due to rising affluence, Mr Mah expects the proportion to go down further, hitting a stable level of around 75 per cent in the decade ahead. Said Mr Mah: “I can’t see it coming down too much because then the private housing will not be able to cope” — there’s only so much space designated for such property in Singapore — “and the gap between private and public housing will be even bigger”.

Black Matt Transporter

Pertama kali dikayuh di awal Maret 2006, dengan modal awal sekitar $220++ URATA CB10 ini berpindah pemilik dari empunya toko ke pemilik saat ini. Penuh resiko juga pertama kali membawanya dari toko di Joo Chiat Rd ke flat kami di Bishan. Niat awal akan membawanya ke kantor meniru rekan-rekan di Munich (Jerman) yang paling suka bersepeda di kala hari tak hujan atau bersalju. 

Dari Bishan ke kantor di Kallang hanya perlu 30 menitan (jarak lurus 7-8 km), dimulai dengan menyusuri Bishan St. 13, lalu menaiki overpass di atas Braddel Rd (di antara Masjid Muhajirin dan Singapore Press Holding), dan meluncur mulus di bantaran Sungai Kallang yang rindang dinaungi pepohonan hingga bertemu Potong Pasir Avenue 1. Di sini jelas aman karena sudah ada trek khusus sepeda, jadi meski pagi atau malam hari pun tetap nyaman. Kendalanya hanya jika hujan lebat karena tak ada tempat berlindung. Sampai bertemu simpang Upper Serangon Rd (Potong Pasir MRT) biasanya peluh belum banyak, tetapi etape terakhir menuju kantor yang mungkin kurang dari 1 km justru yang paling mendebarkan, Sepeda harus bersaing bersama mobil dan motor di jalan raya, tidak ada naungan pohon, asap dan panas bercampur dengan degap jantung memacu agar cepat tiba di kantor :-( Last etape inilah yang paling gerah :-)  

Singapura memang tak boleh dilawan mataharinya
Beberapa bulan kemudian kami pindah ke Bedok North, dari sini ke kantor ada jarak 11-12 km, dan sama sekali tak ada jalur sepeda atau bantaran sungai yang nyaman. Paling cepat perlu waktu 45 menitan untuk menempuhnya. Bersaing dengan bus dan kendaraan beroda lain, menghadapi tanjakan dan turunan yang panjang, dan pastinya radiasi matahari. Mandi keringat ! Ini memang bukan makanan sehari-hari hingga akhirnya tak pernah sama sekali. Biasanya menjelang bulan Ramadhan, saya antar sepeda ke kantor dan disimpan di sana hingga menjelang akhir Ramadhan. Tujuannya agar dapat pergi shalat Zuhur atau Ashr ke mesjid terdekat (Salim Mattar atau Alkaff Potong Pasir) dengan sepeda. Sebelum mudik lebarab, sepeda dibawa pulang. Jadi perjuangannya dua kali saja dalam setahun.

Alumunium Alloy
Diklaim terbuat dari Al-Alloy tipe 6061, mengangkatnya tetap perlu tenaga untuk melawan gaya gravitasi 150-200N, sepeda ini memang kawan setia.Meski belum pernah bertemu website resminya, URATA dikenal sebagai merek populer di sini untuk sepeda pemula. Mungkin awalnya merek Jepun, namun kini sudah produksi masal di Taiwan, dan hanya dijual di Singapura he..he... Dilengkapi Shimano V-Break, roda 26" dari Weinmann tm18 dan gerigi Shimano SIS-7 (21 kecepatan).

LEVEL 1
SIS-5 speed/6 speed/7 speed.
ALTUS-7
ACERA-7 speed/8 speed.

The above (3) are mainly used on bikes that are used on weekends,bike path riding and some commuting bikes.

Yeah ... yeah entry level


Tepat ini sebuah MTB untuk pemula karena memang biasa dipakai untuk mondar-mandir (errands), tak perlu mahal yang tentunya nggak pa-pa berat-berat dikit waktu menggotongnya naik tangga. Pergi ke mesjid, belanja jika hanya untuk keperluan kecil, mengantar ini-itu, pergi berolahraga, ke rumah teman ... semua tinggal genjot ! Sudah 4 tahun lebih tanpa rewel yang berarti kecuali saat ban kurang angin dan harus pompa sendiri :-) Kualitas rangkanya pun bagus dan tahan karat. Di forum online sepeda ini pun diakui sebagai sepeda pemula yang baik meski agak berat di body.


Well ... masih banyak daerah di sini yang belum mesra pengendara sepeda, apalagi matahari nya itu lhoo.. Berangkat kerja dengan sepeda hanya baik dilakukan sebelum jam 8 pagi dan untuk pulang kerja pun diusahakan sebelum jam 6 agar jalan raya masih sepi dan matahari sudah tidak tinggi. Di musim hujan amat tidak direkomendasikan karena pasti sulit menghindar dan khusus untuk sepeda dengan tipe rem-V akan tidak dapat mengerem sempurna. Sediakan kacamata, topi, handuk, dan pakaian ganti apabila ingin bike to work macam rekan-rekan di Jakarta. Kualitas udara masih cukup baik sehingga belum perlu pakai masker. Helm (topi keledar) mungkin belum perlu, namun lampu di depan dan di belakang perlu apabila sering berkendara di malam hari.

Mar 24, 2010

Montir Peti Sejuk di Singapura

Berawal dari kejadian malam minggu, tanpa disadari ternyata kulkas yang sudah lebih 3.5 tahun mengabdi ini, tiba-tiba hening tanpa alasan. Usia pakainya mungkin lebih tua lagi mengingat saat diperoleh bukan dari kondisi baru, jadi maklum bila sekarang ia memulai rewel pertama nya :-)

Diteliti sebentar, tak ada masalah dengan listrik karena lampu di dalamnya tetap menyala, namun mengapa kompresor yang biasa berderun dan menggeram itu kini hening tak bernyawa. Curiga kompresor itu sudah ajal, namun tak mungkin secepat itu karena hari-hari sebelumnya ia tetap perkasa tanpa menunjukkan tanda-tanda mogok.

Mbah google ditanya, tapi tak ada yang memuaskan, mungkin karena kata kunci yang kurang pas. Salahsatunya bertemu ini di repairclinic.com, namun belum membantu saya karena banyak detail yang mengarah kepada memanggil montir.

Cari juga lewat youtube, meskipun bertemu dengan dua video yang jauh dari cocok untuk reparasi instant namun lebih tepat untuk merancang kulkas baru. Video nya menarik dan kalau ada waktu saya berminat mengunduhnya (download).
OK, kembali pada masalah, ini sudah hampir 12 jam tanpa kulkas. Barang-barang yang masih ada di dalam terpaksa diselamatkan. Iklan reparasi dari koran sedang diteliti, hari Minggu agak sulit untuk memanggil montir yang bersedia datang. Terus terang mengamati dinding freezer bagian atas itu bingung juga, tak terlihat bagian2 isi perut kulkas tsb, dimana mereka tersembunyi ?? Yang tampak hanya kompresor bulat hitam di bagian belakang bawah kulkas, namun feeling masih tak percaya bahwa kompresor itu yang rusak.

Rencana temu janji baru dapat terlaksana hari Senin jam 4 sore, berarti lebih 44 jam sejak kulkas ini mati. Seorang montir melayu yang tampak berpengalaman dari caranya bekerja dan menerangkan mulai beraksi. Rupanya isi perut freezer itu ada di dinding belakang bagian dalam, untuk membukanya cukup ditarik dengan tang (plier) setelah rak es batu yang menghalangi dinding dibuka. Kesimpulannya defrost heater pecah (elemen pemanas yang dibungkus dalam gelas slinder kaca sepanjang 14"), sehingga kabel yang menghubungkan heater di salah satu sisi putus. Unit ini diperlukan untuk menghancurkan bunga es, dan kompresor tak akan bekerja jika unit ini putus. Ini semacam tindakan pencegahan dari rancangan kulkas.

Encik Amin menyebut total transport + ongkos kerja + penggantian alat, tak bisa ditawar. Jika tak setuju, cukup bayar uang transport $20 (biasanya montir lain hanya $10 saja). Kami setuju dan 15 menit kemudian selesai, alhamdulillaah kulkas kembali normal. Beliau sempat menunggu sekitar 30 menit di rumah untuk memastikan bahwa segalanya berjalan baik. Alat dijamin selama 3 bulan !

Montir ini direferensikan oleh makcik H tetangga karib kami. Makcik mewanti-wanti agar jangan sembarangan memanggil montir karena sudah banyak kasus penipuan yang mencekik leher konsumen karena alasan yang dibuat2. Memang kewaspadaan itu perlu dan ada saatnya rezeki montir itu lewat uang kita juga :-) Saya kutipkan guideline untuk memutuskan apa ongkos reparasi yang akan dilakukan masih masuk akal dari salahsatu situs:
If the part that is needed costs more than one quarter of the original price of the fridge, then you should probably just get another one.
Memang cerita ini kisah nyata dan tidak seunik kisah teladan sepanjang masa Knowing Where to Tap. Kebetulan saya cocok dengan panduan di atas, dimana harga reparasi tidak lebih mahal dari 1/4 atau mungkin hanya 1/6 dari harga kulkas baru. Insya Allah lancar jaya ke depannya.

Sebagai tukang insinyur yang tak pernah ikut kursus reparasi pendingin tentunya kesulitan memahami nama2 komponen yang ada (memang tidak punya literatur), tak ada pengalaman step-by-step troubleshooting, kurang perkakas, dan cara mengakses komponen yang rusak tsb. Bila target komponen yang rusak sudah diketahui pun, persoalan berikutnya adalah kemana mencarinya. Padahal jika sudah jelas kata kuncinya, semacam defrost heater, maka informasi saat mencari di internet pun akan lebih akurat, seperti ini.






Mar 23, 2010

SPT Pertama

Salahsatu kejadian istimewa di hari ultah tahun ini adalah rampungnya pengiriman laporan pajak pribadi (SPT 2010) ke Jakarta. Ini pengalaman pertama melaporkan pajak sejak memiliki kartu sakti sejak awal 2009 lalu. Alhamdulillaah, semoga tidak salah dan lancar ke depannya.

Last minute akhirnya selesai juga lembar demi lembar 1770S tsb. Padahal sudah beli buku petunjuk pengisiannya sejak pertengahan tahun lalu :-) Minta tolong juga kepada keponakan untuk memeriksa isiannya. Alhasil selesai juga.

Intinya saya kirimkan dalam amplop ukuran A4:
  1. Lembaran 1770S yang sudah ditandatangani plus dua helai lampirannya (1770S-I dan 1770S-II). Cukup menggunakan kertas A4, karena ukuran resmi yaitu kuarto (F4) amat jarang dipakai di tempat saya sekarang.
  2. Surat pernyataan yang intinya menyatakan bahwa sampai saat ini saya tidak menetap dan tidak bekerja di Indonesia. Pendapatan dalam negeri yang diperoleh hanyalah dari bunga bank (yang sudah dikenakan PPh final 20% oleh bank tiap bulan otomatis) atas tabungan yang ada di bank nasional.
  3. Fotokopi kartu tanda penduduk luar negeri.
Bagi saya cukup mengisi:
  • Pekerjaan, Nomor telp di Jakarta, Tahun pajak
  • Lampiran (disilang): surat pernyataan tinggal di LN dan fotokopi KTP LN
  • 1770S-I: kosong
  • 1770S-II: isi harta pada akhir tahun (Bagian B) dan daftar susunan anggota keluarga (Bagian D). Jika ada beberapa tabungan maka tulis semua tabungan tsb berikut tahun perolehan (2009) dan harga perolehannya per 31 Desember 2009.
  • Isi nama dan NPWP di tiap halaman
  • 1770S: Tanda tangan di lembar pertama disertai menyilang pilihan Wajib Pajak dan mengisi tanggal pengisian.
Sesuai nasehat asisten, saya tidak perlu mengisi:
  • 1770S: Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) karena keringanan ini tidak berlaku untuk WNI yang tinggal di luar Indonesia.
  • 1770S-I bagian A No. 1 tentang bunga deposito, tabungan dll karena sudah otomatis ditarik dari bank yang bersangkutan (sebagaimana saya tuliskan di bagian B).
Selesai semuanya, pergi ke kantor pos, kirim dengan surat tercatat. Pastikan resi pengirimannya disimpan. Tukang pos cakap perlu waktu 8 hari untuk sampai alamat tujuan ... nah lho ... padahal pesawat ke Jakarta ada tiap jam dari sini :-(

Keuntungan punya NPWP tentunya memudahkan urusan di tanah air. Salahsatu yang sudah dipraktekkan dan amat membantu adalah saat membawa orang tua ke luar negeri, cukup perlihatkan NPWP dan fotokopi kartu keluarga kepada petugas pajak di bandara, agar dapat bebas fiskal untuk orang tua.

Info:
- Form 1770S dapat download di lelaman pajak.
- Khusus TKI di LN ini peraturannya.
- Ada blog yang membahas ini juga lebih rinci, di dudiwahyudi.com

Mar 21, 2010

Hadiah 100 Milyar Euro

Apa saya siap menerima hadiah 100 Milyar Euro ?
100 Milyar itu 10 pangkat 11, alias berderet 11 angka nol di belakang 1.
(Euro hanya sebagai contoh, dapat diisi dengan mata uang lain yang lebih perkasa)

Jujur saja sampai saat ini saya belum pernah mimpi dan punya rencana apa yang akan saya lakukan kalau tiba-tiba dapat amanah, titipan uang, atau hadiah tanpa ikatan pengembalian bernilai zillion besarnya itu. Jangankan 100 Milyar Euro, nilai lebih kecil dari itupun belum terfikirkan. Masih untung hadiah ini tidak harus saya habiskan dengan terburu-buru ala reality show Uang Kaget (dan sejenisnya) yang pernah tayang di stasiun TV swasta di negeri kita.

... So jika teman-teman pembaca seperti saya, mulailah mengerjakan pekerjaan rumah untuk merencanakan penggunaan uang tsb ...

Yang pasti ada gula ada semut.
Saya akan kebanjiran tamu dengan berbagai proposal pembangunan, aktivitas sosial, kerja sama, minta bantuan, dll ... tentunya ini amat membantu saya untuk tidak pusing dimana harus menyimpan uang sebanyak itu. Mau tahu ilustrasinya, silakan klik situs 87billion ini.

Mungkin ada yang berkata, ah cita-cita saya tak setinggi langit, atau seluas alam semesta, mengapa harus bingung untuk mengelola uang sedemikian banyak. Spend... spend... dan spend ... Iya namun itu belanja yang merupakan kegiatan konsumtif dan pasti akan menjenuhkan, apa tidak bosan menghabiskan uang sebanyak itu hanya untuk mengelilingi dunia berpuluh kali dalam sebuah jet pribadi atau kapal pesiar mewah dan menginap di hotel bintang tujuh.
Ahaa ... mengapa bingung, niat mulia hajikan 2 juta orang muslim tak mampu. Satu orang perlu biaya 2000 Euro, artinya baru terpakai 4 Milyar Euro setahun. Kegiatan ini dapat dilakukan selama 25 tahun penuh artinya 50 juta orang tak mampu pergi haji. Artinya Masjidil Haram hanya menerima jamaah haji yang saya biayai selama 25 tahun dan tidak menerima jamaah lain karena maksimum jamaah luar negeri adalah 2 juta saja di musim haji.
Namun apa ada ide yang lebih baik dan tidak terkesan pamer atau orang kaya bingung yang kebanyakan uang ? Belum lagi kalau difikirkan aspek teknis penyeleksian siapa yang akan menerima haji gratis tsb ... rebutan, saling sikut, berdesakan, dll macam antri angpao.

Apa masukkan deposito, beli obligasi, SUN SBI, sewa fund manager ...ah ini pun menambah kekacauan di dunia yangt sudah sesak dengan produk2 derivatif ribawi saat ini.

Beli emas ? No way .. siapa yang pernah berfikir menukar very-liquid-asset ini dengan emas, toh uang sebanyak ini tak habis dipakai 10 generasi. Lagipula mau disimpan dimana batangannya.

Sudahlah, saya pun tak berminat beli apartemen atau ruko untuk disewakan, repot berurusan dengan penyewa yang telat bayar dan tak merawat apartemen dengan baik.

Bangun negeri,
  • Memang saya mengimpikan ada jembatan tol multilane, multistorey antar pulau-pulau di Indonesia, semacam proyek ambisius selat Sunda (kendaraan, KRL cepat beriringan)
  • Perlebar jalan-jalan provinsi semacam lintas Sumatra sehingga distribusi hasil pangan mudah, murah, dan selamat.
  • Rumah sakit, sekolah, pesantren, buku gratis
  • Peternakan sapi, pertanian bibit unggul
  • Menciptakan lapangan kerja dengan membuka industri hulu ke hilir yang canggih.
  • ...
Hmm ... ternyata banyak juga ya ... apa memang cukup dana 100 MilEuro itu ? Apa tak akan kehabisan di tengah jalan sementara proyek megaderma tadi belum rampung final ?

Disinilah perlu konsorsium konsultan dan manajer projek yang amanah dan profesional.
Menghitung dengan teliti tentang dana yang tersedia, SDM yang ada, teknologi yang ada saat ini dll. Jangan sampai uang habis, hasil tak ada. Belum lagi ada kompetitor dan mafia KKN yang menggelembungkan dana proyek tanpa batas. Ternyata saya pun belum mampu ikut berfikir sekompleks itu, dan jelas takut dikhianati. Koq tega niat mulia masih dirusak juga.

Tunggu ... lha .. kalau semuanya untuk bangun negeri, donatur kegiatan amal sosial, mana bagian uang untuk saya dan keluarga ... dan cucu 10 generasi tadi !

JADI APA SAYA RELA BERBAGI !!!
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bin Sahal bin Sa'ad r.a., ia berkata,"Aku mendengar Ibnu Zubair dalam salah satu khutbahnya dimimbar kota Makkah berkata, `Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Nabi Muhammad saw. bersabda: Seandainya anak Adam diberi satu lembah yang penuh berisi emas, maka dia akan mencari lembah yang kedua. Seandainya dia diberi lembah yang kedua, maka dia masih akan mencari lembah yang ketiga. Tak ada yang mampu menutup perut Bani Adam kecuali tanah. Dan Allah memberikan ampunan kepada siapa saja yang bertobat." (HR. Bukhori)

Sebaiknya memang lekas sadar dari mimpi ini, kembali mengerjakan yang memang sudah jadi tugas, dan tidak mengharapkan mimpi yang sama datang lagi :-) Mungkin ini yang membuat saya belum dipercaya menangani amanah sebanyak itu, wallaahu a'lam bishawwab

Any takers ? Pls let me know if you can share the brilliant idea how to utilise this fund smart and wisely.





Guru semangat, Murid semangat

Seorang murid kelas XI yang mengikuti kelas matematika Sabtu pagi itu berkata bahwa guru matematika nya saat kelas X adalah tipe guru yang disukainya. Orangnya bersemangat dalam mengajar dan mau membantu murid mengerti tentang apa yang diajar. Sementara guru nya saat ini bertolak belakang gayanya, membuat murid tak bersemangat dalam mengikuti pelajaran. Alhasil sang murid sukar memahami pelajaran dan berbuntut nilai2 ulangannya di semester kemarin anjlok. Dia pun tak mau mengikuti kelas tambahan pelajaran guru tsb karena curiga akan sama saja hasilnya :-(


Dalam kalimat logika matematika, pernyataan ini dinyatakan sebagai pernyataan implikasi:
  • Jika guru semangat mengajar, maka murid pun akan semangat belajar (p -> q).
dan invers nya pun :
  • Jika guru tidak semangat, murid pun akan tak bersemangat mengikuti (~p -> ~q)
Keduanya bernilai Benar saat saya tanyakan pada para siswi kelas tambahan trigonometri pagi itu. Ini konsisten dengan tabel kebenaran.

Namun apakah implikasi tadi juga berlaku pada arah sebaliknya ?
  • Jika murid tak bersemangat maka guru menjadi tak bersemangat mengajar (~q -> ~p)
Tanda tanya besar akan pertanyaan yang manusiawi ini.

Untuk guru yang mengerti bahwa amanah ini adalah karena semata-mata ibadah kepada Allah SWT untuk kemajuan anak didik maka pernyataan di atas sama sekali jauh dari fikirannya. Memang ada faktor-faktor eksternal yang mungkin membuat semangat juang guru ini berfluktuasi, namun ini tak harus membuatnya terus berada dalam posisi turun sehingga murid-murid terlantar.

Energi positif dalam transfer pengetahuan senantiasa terpancar di tiap kelasnya. Di kala lain, di saat murid-murid lelah dan mulai kehilangan fokus, maka muncul ide-ide kreatif untuk menggairahkan kembali suasana belajar di kelas. Kehadirannya selalu dinantikan dan apa yang disampaikan dicatat dengan baik oleh murid. Di akhir kelas ia selalu berdoa dalam hati bahwa apa yang telah disampaikan dapat dipahami dengan baik dan menjadi bekal yang bermanfaat bagi murid-murid nya di masa kini dan masa depan.

Jujur, keadaan murid-murid masa kini jauh berbeda dengan kondisi 20 tahun lalu saat saya duduk di bangku mereka. Hari ini acara-acara hiburan yang beragam mengguyur para siswa-siswi, internet begitu mudah di dapat di negeri ini, handphone/sms, jejaring sosial/chat (FB, Y!M), portable game player (nintendo DS, PSP), magnet cuci mata tempat berbelanja (mall), komik/majalah, orang tua yang tak sempat mengawasi dll ... Belum lagi jika dibandingkan dengan sekolah2 favorit tempat saya pernah menganyam sel-sel neuron di masa SMP dan SMA. Jelas kondisi ini jauh berbeda.

Nah ... bagaimana guru menyikapi ini semua. Harus PUNYA semangat, mengerti dengan baik subjek yang diajarkan, mampu menyeleksi apa yang penting diketahui siswa dan apa yang sifatnya ekstra, dan last but not least aktif memotivasi siswa untuk tidak lemah atau putus asa.

Tidak mudah memang, at least for me. Saya hanya berdiri di depan kelas dua minggu sekali, tanpa dibebani paper work kurikulum yang menghabiskan waktu, dan cukup konsentrasi dengan penambahan materi saja. Namun melihat siswa begitu bersemangat untuk mengikuti tatap muka yang "hanya" dua jam paling lama amat memotivasi saya untuk dapat mengajar sebaik mungkin. Siapa yang tidak bersyukur dan senang melihat anak didik nya sukses. Meskipun perlu datang di Sabtu pagi, yang kadang diiringi hujan, menanti murid-murid untuk dapat mengisi minimal lima kursi saja, dan sabar mengamati tingkah polah anak-anak yang berangkat ABG tersebut dengan "beragam"gaya nyentrik nya di kelas (ada yang curi-curi sms, bercanda, pandangan menerawang tak memperhatikan, asyik dengan kegiatan lain, ...).

Ada murid-murid yang tampak tekun memperhatikan meskipun saat ditanya atau disuruh mengerjakan soal tak mampu menjawab dengan benar, ada yang asal cepat menjawab meski salah, ada yang tak memperhatikan dan asyik melukis namun ternyata ia anak yang paling pintar di kelas, ada yang ramai saja mulutnya dan aktif mondar-mandir di kelas namun ia juara satu di kelas itu, ada anak pintar yang kurang teliti sehingga kertas test nya banyak salah nya, ada yang mencontek terang-terangan, ... arrrggghh

Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa,
Ilmu berharga yang diajarkan semoga menjadi amal pahala yang tak putus-putusnya,
Wabil khususi untuk almarhumah mama yang hampir 30 tahun menjadi guru, 4 hari seminggu (tiap hari 5 jam), dengan tak kurang dari 435 orang murid yang bergantian mencatat ilmunya tiap tahun.

Mar 17, 2010

First and Last Bus



Ada kalanya penumpang tak perlu kesal dengan:
  • sopir yang mengemudi dengan santai.
  • calon penumpang yang hampir ada di tiap halte bus
  • kena stop lampu merah di tiap perapatan dan zebra cross
Karena semua ada maknanya, terutama di saat nafas memburu berpacu mengejar bus harapan terakhir :-) Ucapkan alhamdulillaah ... selamat, hemat, sampai tujuan.

1 Head per 100 Sqm


Excerpts of Deputy Prime Minister and Home Affairs Minister Wong Kan Seng's speech at the Committee of Supply debate in Parliament yesterday.


Mr Chairman, many Members have spoken passionately about the issues of immigration and population. They no doubt reflect concerns raised by segments of our public over the increased inflow of immigrants and its impact on our society. This is a very important subject. It is also a highly complex subject. I thank the Members for giving me this opportunity to address it.

Let me first assure the Members that the Government recognises and acknowledges Singaporeans' concerns and sentiments. Indeed, in the last few years, we have seen a dramatic increase in the number of foreigners in Singapore. It is understandable that Singaporeans may feel uncomfortable over the sheer number of foreigners in our midst. The Government has taken note of this, and we have reviewed our current processes of granting permanent residence (PR) and citizenship (SC) to foreigners in Singapore.

Calibrating inflow of foreigners

Dr Teo Ho Pin asked about the Government's strategy in attracting foreigners to come here for work, and to become our PRs and citizens. Broadly speaking, there are two types of foreigners living in Singapore - the transient group which mainly comprises those who come here to work, and the resident group which sinks roots and becomes our PRs and citizens eventually. Although this distinction is not always obvious on the ground, it is an important one to bear in mind.

In June 2009, the transient group accounted for about 1.25 million out of a total population in Singapore of about 5 million. Foreigners who come here to work essentially fall into this transient group. They leave when their work permits or employment passes expire. They are an important part of our workforce, and their economic contributions to Singapore's growth are real and significant.

Competition from foreigners

Ms Indranee Rajah and Mr Chiam See Tong have raised concerns about the competition that foreign professionals pose to Singaporeans in the job market, housing and use of common spaces and public transport. While we will not condone discrimination against Singaporeans, we cannot ring-fence jobs and reserve them only for Singaporeans. The majority of foreigners, who are here on work permits, are working in jobs that Singaporeans do not want to do. I acknowledge that there are also those on employment passes holding jobs that Singaporeans are willing to do, and who compete directly with Singaporeans.

However, as Mr Arthur Fong has mentioned, if we want to compete globally, we have to create an environment which can attract the best people including those who are mid-level - be they Singaporeans or foreigners - to work here and contribute to our economy. The measures in Budget 2010 will provide Singaporean workers with the best possible head-start to compete in this global economy. If foreigners are not here to help us compete against other countries, they will be working in other countries to compete against us.

Indeed, it is because of our meritocratic open door policy that Singapore continues to attract investments, and ranks high up in international surveys on the ease of doing business. Companies must be allowed to recruit and deploy the best talent for the job possible to ensure the success of their businesses. This in turn generates economic growth and job opportunities, which ultimately benefit our citizens more than any transient foreign worker group.

Social differences

I believe Singaporeans recognise the value and contributions of these foreign workers. Mr Matthias Yao and some other MPs who spoke in the Budget Debate are also right in observing that Singaporeans may have begun to feel that the Singaporean way of life was being encroached upon. The negative reaction of Singaporeans is one of frustration and annoyance of having to share limited common spaces with people who may have different social habits and reflexes.

The Government has hence undertaken actions to educate foreign workers on our social norms so as to integrate them better while they are here. Some of us would recall that 40-50 years ago, we shared the same habits. In the coffee shops, you would see spittoons under the tables.

On the issue of PRs driving up housing prices, Minister for National Development will address this (during his Committee of Supply debate). There will be 12,000 Build-to-Order flats offered this year. We have to expect that PRs who sink roots in Singapore will need a home. PRs cannot buy new flats or enjoy housing grants. They can only purchase a resale flat in the open market.

Singaporeans, however, need to be realistic and fair-minded. While we want foreign workers to do the less pleasant jobs and contribute to our economy, we cannot also expect them to stay away, during their off days, from public places and shopping malls where we frequent, or not to take public transport to work. On our part, Singaporeans need to be more tolerant and understanding of the different habits and practices of workers from different backgrounds and cultures.

Adjusting inflow

Some Singaporeans have asked why we allowed such a large inflow of foreign workers in recent years. We had taken in larger numbers during the economic boom years from 2004 to 2007 to catch the wind of growth so as to propel our economy forward. From 2004 to 2009, the non-resident population grew from about 750,000 to 1.25 million. The foreign workers enabled us to take full advantage of the favourable external conditions from 2004 to 2007 in order to maximise our growth.

These were good years for Singaporeans too because median income also went up. Had we kept out foreign workers, our growth would have been choked off, and Singaporeans would have been worse off.

Going forward, in line with the ESC's recommendation for our economy to keep the foreign workforce to about one-third of our total workforce, the Government will take steps to moderate the inflow of our foreign workforce over time. However, the change will not be easy. It will require heavy capital investment in automation, training to re-tool our own workforce, and raising productivity. Our businesses and workers must also gear up to make the necessary adjustments.

To sum up, transient foreign workers are here to work and will eventually go home. Most of them do not sink roots. We should appreciate their contributions to Singapore as they have helped us to grow our economy. In turn, with economic growth, we have the resources to develop infrastructure and support programmes which have raised the quality of life for all Singaporeans. Economic growth has also enabled us to accumulate reserves in good times, which we have been able to rely on to sustain and support Singaporeans during lean and tough times.

Enhancing our immigration policies - ensuring quality and assimilability

The second category of foreigners in our midst is not transient but stays on to become PRs and citizens. I know that this is a matter which Singaporeans care very deeply about, and rightly so, as it concerns the value of our citizenship. The number of PRs and Singapore citizenships (SCs) granted to foreigners has gone up in the last few years. Singaporeans have expressed concern about this increase. Some even wonder if we are giving away permanent residency and citizenship too easily.

While the number of SCs granted is fairly stable, the number of PRs given has indeed been higher over the last few years compared with the years before 2005. Why did we do this? We wanted to take advantage of the strong economy in the mid 2000s to attract and retain suitable foreigners to sink roots here, and to make up for our low TFR.

We have recently reviewed the PR/SC assessment framework. We will refine it to better manage the pace and overall numbers. We will ensure that those who become one of us are of better quality, and not only contribute to Singapore economically but also integrate well into our society. We have already started to tighten the framework in the last quarter of 2009. Mr Ang Mong Seng asked about the number of new PRs and citizenships granted. We granted 59,500 PRs and 19,900 citizenships for the whole of 2009, as compared with 79,200 PRs and 20,500 citizenships in 2008.
Going forward, we will further tighten the framework to raise the quality of the immigrants. This will reduce the number of PRs granted. We will monitor carefully the number of PRs who qualify, and if necessary, fine-tune our criteria in the light of the actual outcome. However, I am not in favour of any absolute cap on the number of PRs. How many we take depends on the quality of the applicants, and there may be events which trigger an unexpected surge in numbers, which we should take advantage of.

As for the number of new citizens, this will again depend on the quality of the applicants, but provided we have good applicants, we should take up to 20,000 a year.

Integration of new PRs and citizens

We will put in more effort to integrate PRs and new citizens into our society. This will continue to be spearheaded by the National Integration Council, which was set up under MCYS last year to promote and foster social cohesion and integration. The success of this endeavour will, however, depend on the support and response of both newcomers and Singaporeans.

Integration is an ongoing journey and takes a long time. It cannot be rushed. It needs the direct and active involvement of both Singaporeans and new immigrants.

Many immigrants are taking the first step to become part of Singapore society, through participating in grassroots activities and volunteering in community organisations. But it takes two hands to clap. Indeed, we have many Singaporeans, including 800 Integration and Naturalisation Champions from our grassroots organisations, who go about helping newcomers settle in and integrate into their communities as part of their daily lives.

The INCs organised about 600 events last year for 30,000 new immigrants. Many Singaporeans took part in these events too. This should be encouraged. The newcomer's transition into the community would be much smoother and faster if their Singaporean neighbours and co-workers take the initiative to welcome them and help them settle in. On the other hand, new immigrants could also initiate efforts to reach out to Singaporeans, and take part in activities organised for them by Singaporeans.

Differentiation between citizens and PRs

Although we will continue to welcome good quality PRs and new citizens who can contribute to Singapore, we stand by the principle that Singaporeans come first in their own country. No need to worry about this. Recently, the Government took measures to draw a greater distinction in privileges and benefits between Singaporeans and PRs in the areas of education and healthcare. This is necessary to recognise the privileges of citizenship, and to give PRs adequate incentive to convert to become Singapore citizens.

However, we need to be sensible and balanced about how we go about this. For instance, we should never undermine the principle of meritocracy which makes us competitive and which ensures communal harmony and social cohesion.

We must also avoid making ourselves so unattractive that suitable foreigners are deterred from sinking roots and becoming a part of Singapore. There is a global competition for good people with talent and if we make Singapore an inhospitable place, we will lose out. We will do ourselves great harm if others outside Singapore have the wrong impression that we are xenophobic. This will be against our national interest.

We heard Mr Sam Tan's story about the PRC also wanting to attract talent. New Zealand is also targeting Singaporeans because we are honest and hardworking, and so is Australia. We are in a world where competition for talent is very keen.

Singapore's population challenge - addressing a critical need through immigation

Besides broadening our talent pool, PRs and new citizens have another critical value for Singapore. Immigration is a key source of population augmentation which we cannot afford to do without.

We face a serious population challenge today. Last year, the number of resident births fell to 36,926 compared to 37,277 in 2008. But citizen births constituted only 31,843. Resident total fertility rate (TFR) fell to 1.23, our lowest yet.

This is well below the 2.1 needed to replace ourselves. Our TFR is among the lowest in the world. Mr Seah Kian Peng suggested that we review the effectiveness of the marriage and parenthood package. The package was only recently enhanced in August 2008, and the economic downturn occurred soon after.

The economic downturn is likely to have played a part in the decline. It is not like what Mr Chiam said, that it is too hard to raise a family. Marriage and parenthood are very much personal decisions. In the previous two recessions in 1998 and 2001, resident births fell by an average of 4,500. In 2009, the decline was smaller, at 351.

We believe that the 2008 marriage and parenthood package has helped to cushion the decline. Without the package, the decline could have been worse. It is too early now to review the marriage and parenthood package. We will let the 2008 marriage and parenthood package run for a while before doing a more comprehensive review.

The Government is trying to address the problem of our low fertility rate and create a pro-family environment. Through the M&P package, we aim to provide holistic and comprehensive support to couples in getting married and having children. However, we need to be realistic that even with our M&P package, we will not be able to turn our TFR around. Moreover, getting married and having children are intrinsically personal decisions.

Impact of low fertility and ageing

That leaves us with a sobering truth - Singaporeans are not producing enough babies to replace themselves. What are the implications of this?

If our TFR remains the same, and we do not allow immigrants to settle here, our resident population will start to shrink as early as 2025 because deaths will outstrip births, just like what is happening in Japan today. In 1970, when our TFR was above 2.1, each elderly person was supported by 17 working adults. By 2020, one elderly person will be supported by five working adults. And by 2030, it will be one elderly person supported by just over three working adults.

A larger elderly population in the future would also mean increased public expenditure due to increasing demands on our public healthcare, community and social support infrastructure. Taxes may have to be raised to increase support for the aged.

With fewer young people, our workforce and society will lose our vitality and vibrancy. This will mean that Singapore will become less attractive to foreign investors. Our own young talented Singaporeans may leave our shores for better opportunities in more dynamic economies. With fewer young Singaporeans, we will face grave challenges to maintain the strength and efficacy of our citizen armed forces, security and law enforcement agencies.

Supplementing local births

In a nutshell, we need 60,000 babies just to replace our resident population. But we only have about 37,000 babies per year. This is provided the number of births does not go down in future years. This is why I mentioned earlier that we need about 20,000 new citizens in order to keep our citizen core.

Unless there is a dramatic reversal of local TFR, and I do not see this happening, it is critical that we must tap on immigration as a measured means to augment our population. We must continue to allow in good-calibre foreigners as PRs and SCs to supplement our low birth rates. However, our society needs a strong citizen core. Singaporeans must always form the bulk of our resident population.

Hence, we must focus on getting good-quality citizens rather than carry a large PR population who are content to remain PRs indefinitely instead of taking up Singapore citizenship. Without this infusion of new citizens, based on current demographic trends, we will soon have a shrinking Singaporean population and a declining Singapore.

I would like to assure the House that the Government is cognisant of the ground sentiments and feedback on the issues which had been brought about by immigration in recent years. We have made careful refinements and changes to our policies to address these concerns. But we have to also be practical and realistic.

We must look at the issue of foreign workers and immigration objectively and rationally. We must recognise that good-quality foreign workers and immigration still remain important to our sustained economic growth and are vital to address our serious longer-term population challenges. Ultimately, the key is always in finding the right dynamic balance and trade-offs, as some MPs have suggested. This is not easy to do but it is necessary to do, if Singaporeans are to be assured of a future and a quality of life, no less than what we enjoy today.

We are all descendants of immigrants. Singapore grew and prospered since its founding because our great-grandparents, grandparents and parents were allowed to come and settle to make a better life and in the process, to contribute to Singapore's growth. Had they been denied the opportunity to do so at the right time, we would not be born here and Singapore would not be what it is today. In future, the children and grandchildren of today's immigrants who sink roots here, will grow up with our children and grandchildren. Together they will be the next generation of Singaporeans and Singapore will be their home, just as much as it is our home today.

Kecap buatan Bumiputera