Sep 22, 2010

Mushalla bukan Terminal

Tempat-tempat umum yg dilengkapi mushalla adalah sebuah berkah luar biasa yang sukar kita temukan di luar negeri. Mushalla ini biasa ditemukan di gedung perkantoran, stasiun bus, mall, rumah sakit, airport, restoran, taman hiburan, tempat peristirahatan di pinggir jalan tol antar kota, dll. Perancang dan pengelola gedung (apapun agama yg dianutnya) patut mendapat penghargaan atas niat baik tsb. Ini adalah sesuatu yg hilang di negeri2 minoritas muslim.

Namun satu hal yg perlu menjadi catatan adalah pengelolaan harian dari mushalla tsb. Sarana sudah disediakan lengkap mulai rak sepatu, tempat wudhu, sejadah, lampu, kipas angin (bahkan kadang AC), arah kiblat, mushaf al Quran/yasin/kumpulan zikir doa dll. Namun sayangnya, mayoritas jemaah tidak peduli terhadap kriteria sebuah mushalla yang baik, sehat, dan nyaman. Tempat sudah disediakan, gratis air bahkan bisa utk istirahat setelah penat berjalan atau belanja. Namun mengapa kehadiran mushalla ini hadir hanya saat ia diperlukan saja. Dicari saat kita perlu menunaikan kewajiban shalat, dipakai 5-10 menit, dan dilupakan untuk berjam-jam kemudian, hingga dipakai lagi di keesokan hari atau di saat-saat lainnya. Ada yang masih menjaga tata tertib dengan baik: meletakkan sandal/sepatu di tempatnya, memakai air seperlunya, merapikan sejadah atau alat shalat lain yg telah dipakai, menghemat listrik dengan mematikan kipas/lampu sesudah digunakan. Namun adakah yang peduli mengenai kenyamanan dan kesehatan di dalam mushalla ?

Mungkin jamaah beranggapan bahwa seorang muadzin "diharapkan" bertugas rangkap menjadi penjaga kebersihan, baik itu sebagai peraturan tertulis atau tidak. Lalu bagaimana dengan mushalla yang tidak mempunyai muadzin dan tidak ada petugas kebersihannya, seperti di mall, airport, dll ? Sejak hari pertama beroperasi, mungkin mushalla tsb hanya ditengok bila ada masalah saja atau diperiksa sekali seminggu. Alhasil:
  • Tempat berwudhu sering kotor, air tergenang karena sampah tersekat.

  • Keset mushalla (antara tempat wudhu dan shalat) dibiarkan lembab sehingga berbau tak sedap.

  • Sajadah dibiarkan tak beraturan dan jarang dicuci sehingga kening dan hidung pun alergi menempel di sana.

  • Buku, tasbih, dan al Quran yang tak rapi disusun kembali setelah dipakai.

  • Mukena yang berantakan dan dekil.


Tanggung jawab mengelola tentunya kewajiban bersama. Terutama utk jamaah yang rutin memakainya sudah menjadi "aturan" tak tertulis untuk memelihara kenyamanan mushalla tsb (barangkali memang sudah ada sukarelawan/wati yang secara sembunyi melakukan tugas mulia tsb, seperti merapikan sejadah, mencucinya, mengeringkan lantai dll). Mushalla bukanlah seperti terminal bus yg didatangi saat diperlukan dan dilupakan saat hajat sudah selesai.

Muadzin atau merbot atau siapapun yg memakai mesjid tsb perlu sadar apa tugasnya baik secara langsung atau tidak. Kapan keset harus dikeringkan atau dicuci, kapan sajadah atau mukena perlu dicuci, lantai mushalla perlu kering dan di pel, tempat wudhu dibersihkan secara berkala, dll. Sediakan sandal bila diperlukan, letakkan tempat sampah, dan susun sepatu/sandal pada tempatnya sehingga kerapihan muslim itu tampak nyata. Bicarakan dengan pengelola gedung mengenai biaya operasional agar pengelolaan menjadi profesional: biaya kebersihan, bagaimana prosedur untuk penggantian barang yang rusak atau pengadaan barang baru, pemeriksaan berkala terhadap pendingin/listrik/saluran air dll.

Dengan demikian semua pihak merasa memiliki mushalla tsb. Diharapkan jamaah dapat beribadah dengan lebih baik dan berminat utk ikut berpartisipasi memakmurkan mesjid (menyumbang uang, fikiran, ataupun tenaga). Siapa yang tak senang, beribadah di tempat yang nyaman :-)

*gambar diambil saat penulis menunggu zuhur di terminal keberangkatan int'l LCCT KUL (25 Ramadhan 1431)

No comments:

Post a Comment