Apr 25, 2012

Perlukah Terima Kasih

Blog ini pernah memuat tulisan tentang Mahalnya Salam dan Sapa beberapa waktu yg lalu. Nah sekarang saya mau menulis tentang hal yg mudah ditemui di dalam kehidupan bermasyarakat yaitu berterima kasih.

Terima kasih umumnya wujud sebagai sebuah sikap/rasa/etika ketika seseorang mendapatkan bantuan/kemudahan. Usaha apa yang Anda perlukan untuk berterima kasih. Berapa banyak energi yang perlu dikeluarkan untuk itu ? Wujud berterima kasih dapat berupa ucapan terima kasih, senyuman, kerlingan mata, atau bahasa tubuh (gesture) unik yg paling mudah dilakukan. Terkesan amat mudah terutama bagi sebagian orang meskipun terkadang ada situasi kondisi alami yg membuatnya sulit berekspresi. Saking biasanya ia berterima kasih maka ia pun akan berterima kasih kepada Sang Pemberi Kemudahan (Allah Swt) yg ia pun belum pernah berjumpa dengan Nya, mahluk hidup tak berakal (misal panen yg berhasil, kepada sang kucing yg berhasil menangkap tikus pengorek dapur, seorang tuna netra kepada anjing penuntun dll) dan bahkan benda mati sekalipun (mobil yang bertahun-tahun menemaninya menjadi agen rumah, pulpen yg berjasa di saat ujian, laptop yg tak rewel saat presentasi, dll).

Namun bagi sebagian yg lain berbuat demikian itu sangat susah. Perlu usaha besar ! Saya mengamati ada beberapa penyebab yg menghambat fitrah manusia yg pada dasarnya membutuhkan kehadiran manusia lain dalam kehidupannya (mahluk sosial) menjadi sulit menyampaikan syukran (terima kasih) ini. Dimulai dari alasan yg umum:
(1) Tidak terbiasa sehingga refleks utk itu tiba terlambat
(2) Belum mendapatkan yg sesuai dengan yg ia inginkan
(3) Sudah merasa itu hak nya sehingga tak perlu berterima kasih
(4) Ia tak merasa perlu dibantu sehingga tak merasa berhutang terima kasih.
(5) Kecewa dengan berterima kasih krn tak dihargai

Penyebab pertama dan mayoritas adalah TIDAK BIASA. Bukan berarti mereka tak pernah diajarkan atau tahu tentang hal ini, hanya saja tak biasa mempraktekannya. Bingung mengungkapkan dengan cara pada saat yg pas. Bahkan ada yg sampai berkeringat dingin setelah dipaksa kawan-kawannya untuk menyatakan terima kasih. Bagi anak-anak yg baru mengenal orang-orang lain sekitarnya ini adalah hal yg wajar namun bagi remaja atau orang dewasa kasihan sekali. Padahal terima kasih itu adalah sebuah siklus energi positif take-n-give yg memang harus mengalir sejatinya. Apa krn seseorang itu merasa perlu jaim (jaga image) atau gengsi untuk berterima kasih, hanya Allah Swt dan dia yg tahu. Buat saya pribadi, terima kasih itu bagai hutang yg harus segera dibayar agar hati ini terasa ringan tanpa beban. Sederhana dilakukan, berat dalam makna, semoga Allah Swt membalas tiap kebaikan yg kita terima dengan kebaikan pula.

Penyebab kedua timbul krn adanya perbedaan harapan. Seseorang merasa tak perlu berterima kasih terhadap hal-hal yg remeh temeh. Standar orang ini tinggi. Ucapan terima kasih baru layak jika ia sudah merasa apa yg diinginkan terpuaskan. Penyakit ini paling sering melanda para majikan dengan pembantunya, boss dengan OB nya, dll. Namun jangan salah, kejadian ini juga dapat menimpa orang2 yg suka berdoa instant. Ia berdoa sekarang dan mau mendapat sesuai keinginannya saat itu juga / dalam waktu dekat. Selama keinginan belum kesampaian, lupalah ia berterima kasih.

Bentuk ketiga yg umum ditemui adalah jika ada orang yg merasa sesuatu itu (misalnya pelayanan, honor ekstra, waktu luang dll) sudah hak nya maka ia tak akan berterima kasih. Padahal bisa saja ia mendapatkan hal-hal tsb karena ada orang lain yg “sudah berkorban” untuk memberikan kenyamanan/keuntungan tsb kepada nya. Saya menyadari fenomena ini pertama kali saat mengamati penumpang MRT/bus yg menempati reserved seat (kursi khusus yg diprioritaskan utk warga tua, bumil, kurang upaya / cacat). Jika kakek-nenek / ibu hamil / orang yg menggendong anaknya itu diberikan tempat duduk di seat yg sudah ada tanda reserved utk mereka, mereka akan tak berterima kasih, namun jika di deretan kursi lain mereka akan berterima kasih. Warga tua itu merasa kursi spesial itu memang utk mereka sehingga adalah kesalahan besar bagi orang sehat utk duduk di sana. Menurut saya, tidak ada yg salah dengan duduk di kursi khusus ini, selama tak ada yg lebih membutuhkan di dekat sana. Contoh lain seperti di supermarket, saat ada petugas/kasir yg membantu membungkuskan seluruh barang belanjaan ke dalam plastik-plastik, tukang parkir, OB di kantor yg membersihkan meja/karpet, supir taksi yg mengantar dengan selamat dll. Intinya utk apa mereka berterima kasih krn sudah menjadi hak mereka, tak perlu berterima kasih krn mereka sudah membayar layanan tsb, dll.

Hampir mirip dengan bentuk ketiga, ada tipe orang yg tak merasa perlu dibantu, hanya orang-orang di sekitarnya saja yg tergerak utk membantu. Nah utk aksi sosial semacam ini mereka lebih sering tak berterima kasih he..he.. Saya masih kuat koq, saya tak perlu dengan kebaikan Anda koq, uang saya ada utk membayar tak perlu repot-repot, dll. O..ya anak perlu diajarkan utk hal yg satu ini. Anak merasa sudah terbiasa dibantu/mendapat kemudahan oleh orang tua/kakak/babysitter nya sehingga ia "lupa" atau tak mengerti apakah perlu berterima kasih. Memang bantuan itu wujud sayang namun sangat tepat jika anak diajarkan bahwa terhadap "servis" yg memang layak ia terima (take for granted) itu ia pun seharusnya berterima kasih. Sebagai pembiasaan dan pembelajaran.

Nah salahsatu penyebab mengapa orang melupakan terima kasih adalah krn ia pernah kecewa sebelumnya. Ia berterima kasih namun tak mendapat respon apa-apa (bagi yg masih belajar, tentunya ingin juga mendapat respon balik semacam senyuman atau feedback spt Terima Kasih Kembali, You Are Welcome, Anytime, don't Mention It). Alih-alih balasan yg mesra, ia mendapat muka masam atau umpatan ketus yg tak pernah terpikir olehnya. Penerima bantuan justru sakit hati seperti pengemis yg menerima sedekah plus caci maki yg menghinakan atau seorang anak yg sudah berhasil naik kelas dgn bimbingan kakaknya namun ia mendapat cemoohan karena nilainya sedang-sedang saja. Nah barisan kecewa ini pelan-pelan menanam kesan tak perlu berterima kasih jika hanya menuai kekecewaan.

Sebenarnya berterima kasih itu tak bermodalkan apa-apa kecuali kebesaran hati. Ganjarannya luas dan berlipat ganda. Tanpa menantikan iming-iming ganjaran pun sebenarnya sikap berterima kasih itu menyehatkan jiwa. Dari bbrp negeri yg sudah pernah kami singgahi, Jepun adalah negeri yg paling ramai orang mempraktekkan terima kasih. Tentu tak perlulah dibahas di sini, apa ungkapan terima kasih itu tulus atau tipu he..he.. Sedikit melenceng dari topik, di sinilah pintarnya orang-orang yg pandai memanfaatkan celah untuk tujuan kejahatan / KKN, rajin berterima kasih untuk menebar ranjau. Terima kasih mereka berisi alias tidak kosong, selalu ditempeli angka atau parsel mulai sebatang rokok hingga kunci properti. Luar biasa sanjungan ungkapan terima kasih yg berbau amis berstiker balas jasa ini. Mereka yg menerima "terima kasih" biasanya sukar mengelak untuk tak memberi bantuan di kemudian hari karena merasa berhutang budi atau haus ingin disiram "terima kasih" lagi :-(





No comments:

Post a Comment