Dec 25, 2010

Mahalnya Salam dan Sapa

Mengapa lupa atau sengaja tak menyapa saudara sesama muslim ? Padahal sudah saling kenal, mata bertatapan dan badan berhampiran, alias tak ada batas fisik penghalang. Semudah melakukan sapaan singkat, lambaian tangan, kerlingan mata, jabat tangan ataupun ucapan salam yang paling mulia yg diajarkan al-Mustafa Rasulullah SAW.

Saya mengkritisi diri dan juga melihat kenyataan yg berlaku bukan hanya dalam event sosial melainkan juga dalam event keagamaan. Dapat dimengerti kalau ada alasan tak melihat, sedang terburu-buru, atau sedang berkonsentrasi terhadap hal lain (mudah2 an bukan masalah dgn penglihatan), namun ini tanpa ada alasan yg membuat tiga detik sapa itu menjadi sebuah kado yg teramat mahal bagi sesama muslim bahkan dengan orang yg sudah dikenal.

Bayangkan dengan orang non-muslim saat pertama kali berkenalan saja sudah kita sapa dengan senyum dan bahasa tubuh yang akrab. Dalam pertemuan selanjutnya spt di lift, rapat, atau di cafeteria, pasti sekurang-kurangnya ada tegur sapa singkat dari sekadar "Hi", How are you", "Good morning" dll. Lha ini justru terhadap saudara muslim kita melupakan salam tsb, padahal sudah kenal lama. Saya fikir sayang sekali jika dalam acara kumpul-kumpul yg mungkin terjadi sebulan sekali dua, setahun sekali, atau lebih lama lagi (entah kapan karena kesibukan masing-masing) tidak dimanfaatkan untuk membina ikatan silaturahim yg telah ada. Hal ini mungkin disebabkan bbrp alasan yg satu sama lain dapat saling melengkapi, coba ditulis satu persatu sebagai reminder juga buat saya:

  1. Salah memaknai arti dan tujuan salam tsb. Salam dianggap tidak penting karena sudah terlalu biasa bertemu -- di sms, di telp, email, chatting atau justru menghindari salam/sapa tadi krn amat jarang bertemu ... alias sudah lupa-lupa ingat, apa dia masih ingat saya ya ... ?
  2. Pernah punya "pengalaman buruk" saat dulu mencoba menyapa. Mgkn kesan pertama kali saat bertemu saudara muslim ini sambutannya dingin saja, membuang muka, atau nggak nyambung deh pokoknya.
  3. Tidak membiasakan diri sehingga menjadi kurang sensitif dengan lingkungan. Menjaga wibawa/gengsi wah mungkin terlalu kasar, mgkn lebih tepatnya kurang gaul.
  4. Menganggap seseorang itu bukan berasal dari satu lingkaran (gank) seperti arisan, teman satu sekolah, satu pengajian, dll. Tak heran jika jamaah di masjid itu sering duduk bergerombol dan sukar diajak merapikan shaf karena masih suka berafiliasi dengan gank nya. Salam biasanya otomatis terjadi utk warga satu kelompok.
  5. Menganggap diri tidak layak memulai krn merasa lebih senior, kurang senior, lebih alim, atau merasa tak layak disalami karena merasa nggak penting atau menghindari ujub (he..he.. ada aja). Nah sikap tarik ulur ini sebenarnya tidak perlu apabila sudah paham HR Muslim yg catat dari Abu Hurairah: "Rasulullah SAW, bersabda: Kamu tidak akan masuk surga sehingga kamu beriman, dan kamu tidak beriman sehingga kamu saling mencintai, apakah aku tidak perlu menunjukkan kepadamu pada sesuatu yang jika kamu kerjakan kamu akan saling mencintai? Maka sebarkanlah salam diantara kamu.
  6. Tidak ingin terlihat "dekat" demi menjaga kerahasiaan bersama di domain publik. Menurut saya ini lebih buruk dari label jaim (jaga image).
  7. Prasangka buruk terhadap yg akan di sapa, krn sudah lebih dulu merasa tidak nyaman dengan pandangan/tulisan/ungkapan beliau di tempat lain.
  8. Takut mengganggu privasi saudara yg akan ditegur/disalami. Mgkn objek sedang sibuk dengan boss nya, dengan istri/suami, atau hal2 lain.
  9. Saya sedang terkejar waktu. I have to catch that darn bus, last MRT, etc
  10. Tidak mau menyapanya karena tipe orangnya bila sudah berbicara sukar berhenti, senang gosip, dll.
  11. Merasa inferior seperti karena pernah tak diperhatikan saat pertemuan2 awal (mirip alasan nomor 2)
  12. Mendengar berita kurang baik (ghibah/fitnah) pada orang yg akan diajak bersalaman. Misalnya tukang kawin, bekas rampok, suka judi dll.

Imam Bukhari membawakan dalam kitab shahih nya pada bab Mengucapkan salam kepada orang yang dikenal maupun tidak dikenal sbb.: Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bahwasanya ada seseorang yang bertanya pada Nabi SAW,

“Amalan islam apa yang paling baik?” Beliau SAW lantas menjawab, “Memberi makan (kepada orang yang butuh) dan mengucapkan salam kepada orang yang engkau kenali dan kepada orang yang tidak engkau kenali.”

(HR. Bukhari no. 6236)

Siapa yang mendahului salam? “Hendaklah orang yang berkendaraan memberi salam pada orang yang berjalan. Orang yang berjalan memberi salam kepada orang yang duduk. Rombongan yang sedikit memberi salam kepada rombongan yang banyak.” (HR. Bukhari no. 6233 dan Muslim no 2160)

Dari dua hadits di atas semakin jelas pentingnya memberikan salam. Salam baik dalam konteks ibadah saling mendoakan antara dua muslim yg bertemu ataupun sekedar tegur sapa dengan non-muslim. Salam yang memberikan semangat bagi orang lain utk memulai aktivitas di hari itu atau salam yg tanpa sadar mengubah mood kawan yg menerimanya dari bete menjadi wonderful adalah rahasia salam yg berpotensi energi positif luar biasa. Rahmat dan rezeki dari Allah selalu tercurah selama kedua orang yg bersalaman itu belum berpisah. Saya sudah meyakini manfaat positifnya.

Hanya hati-hati yang kerdil yang tidak mau mengucapkan salam, memberi senyuman, atau menegur saudaranya. Tak perlu segan utk memberi salam atau tegur sapa terlebih dahulu karena niat untuk itu saja adalah suatu kemuliaan yang Allah beri. Sebarkan pesan yg baik akan indahnya salam, tanpa perlu merasa koq kawan-kawan tak mengacuhkan kehadiran saya, mengapa saya yang harus selalu memulainya ? Esok, minggu muka, atau di lain waktu pasti mereka ingat utk berlomba menyapa lebih awal. Berikan salam terlebih dahulu, datangi yg banyak, hampiri yg berjauhan, utk kesempatan istimewa yg Allah berikan ini.

Kita tidak pernah tahu apakah ini kali terakhir Allah memberi kesempatan bagi kita utk menyirami kebun silaturahim tsb.

No comments:

Post a Comment