Kl sebagian besar situs yg dipakai referensi sudah kena warning HATI-HATI dan WASPADALAH begini, kemana harus berguru ? Ini penulis blog pintar banget lah jadi polisi virus WASABI.
Dan sesuai hukum fisika, tiap ada aksi pasti ada reaksi, akan terdapat juga situs-situs yg melawan situs Olifa tsb dan mengeluarkan daftar tandingannya :-(
Padahal ustadz atau penulis di situs-situs tsb saya yakin berniat baik, berbagi tulisan yg mereka ketahui kebenarannya. Para penulis juga bukan orang awam, mereka lulusan pesantren-pesantren di Indonesia dan ada yg pernah menuntut di Al Azhar Kairo atau belajar di KSA sana. Sebagai sebuah institusi, pernyataan ini yg saya tahu sbg pakem Al Azhar: Al-Azhar sendiri meski tidak pernah secara eksplisit menyatakan permusuhan dengan golongan IM dan Salafi-Wahabi, namun Al-Azhar menentang ajaran-ajaran takfir (pengkafiran tanpa peninjauan ulang), ajaran pencampuran kepentingan politik dengan agama, ajaran fanatisme buta terhadap satu madzhab atau personal, dan ajaran-ajaran Islam yang tidak berlandaskan madzhab fikih yang empat (Syafi'iyah, Malikiyah, Hanafiyah, dan Hanabiah).
Kembali ke judul
Belajar Islam yang benar tak bisa dinafikan adalah lewat seorang guru / ustadz/ kiai yang diketahui punya latar belakang pendidikan yang benar dan diketahui akhlak/budi pekertinya, sehingga layak menjadi panutan. Lebih bagus lagi jika murid dan guru sama-sama memegang kitab yg dijadikan rujukan. Tradisi keilmuan agama Islam memang sejatinya tidak pernah disalurkan melalui textual tradition, selalu melalui oral tradition. Text kitab hanyalah alat bantu bagi oral tradition ini. Namun bagi mereka yang tidak memiliki kesempatan belajar langsung dalam kelas atau menghadiri pertemuan rutin dengan guru, tiada salahnya mengambil referensi dari buku (baik terjemahan atau bukan) atau membaca situs-situs yang bisa terjamin isinya, dengan berpedoman pada rambu-rambu khusus seperti
(1) referensi al-Quran dan Hadits.
(2) tak mengkafirkan (takfiri)
(3) tak menghina sahabat, imam,guru dll
(4) mementingkan kemaslahatan umat
(5) menjauhi mudharat yg lebih besar.
Rambu-rambu ini menjadi penting karena tidak jarang ternyata murid memilih guru / kitab yg salah.
Saya berpendapat kaidah "sampaikan yg benar walau satu ayat" dan "temukan hikmah itu dimanapun ia berada" adalah tetap berlaku hingga akhir zaman. Perluasan dakwah Islam dgn magnitude yg luar biasa di era internet ini adalah salahsatu berkah orang2 bisa membaca artikel / beli buku / baca tafsir,kitab terjemahan / tonton video ttg Islam dimanapun dan kapanpun. Kalau mengkopi tausiyahnya Gus Mus dulu, "selama orang itu terus belajar dan tak merasa sudah pandai" tak bakal keseleo mudah-mudahan. Bahkan resep ini beliau tulis juga buat menantunya, Ulil BA yg kejeblos doktrin JIL itu.
Kombinasi berguru secara fisik dan membaca adalah saling melengkapi. Ada orang yg lebih baik menerima lewat dengar, baca, tulis, praktek ... IMHO mayoritas muslim akan belajar ayat-ayat yg muhkamat, yg sudah jelas dan tetap hukumnya. Contohnya rukun Islam. Sementara hal-hal "berat" lain biasanya dicari mereka yg mau belajar ke tahap lebih tinggi (ada keinginan, waktu, tahu cara memilah informasi, ada guru yg tepat dll).
Belajar ala entertainment
Saya belum pernah begitu detail mengecek kredibilitas seorang ustadz yg harus --tak terputus sanad dalam belajar-- hingga malaikat Jibril. Tapi saya yakin para pendakwah tanah air yg sudah pernah diundang di forum taklim seperti SI atau penceramah -- kelas youtube -- macam Ahmad Deedat, Zakir Naik, NAK, Hamza Yusuf adalah nama2 yg tak bisa disingkirkan begitu saja gara-gara sanad mereka terputus atau tak jelas.
Dan umat Islam yg belajar lewat entertainment mode ini (inisiatif sendiri via buku / media) tak bisa dianggap keliru total. Sekali lagi opsi terbaik memang punya guru, lebih baik lagi jika ada buku pegangan dan kurikulum nya. Bertatap muka sehingga pesan tersurat dan tersirat dapat disampaikan, mengklarifikasi jika ada pertanyaan saat itu atau di kemudian hari, terstruktur alias tidak acak, dan bisa dimonitor kemajuan pelajaran, dll.
Sejalan dengan tips yang disampaikan oleh ustadz Dr. Ahzami Sami’un Jazuli di Saung Mei kemarin. Videonya juga dapat disimak dengan jelas di sini (mulai waktu 1:25:00).
Sebagai penutup saya tuliskan pendapat seorang kawan dalam diskusi di milis bahwa perbedaan pendapat adalah keniscayaan karena kita makhluk berperadaban. Masalahnya adalah banyak orang tidak bisa berbeda pendapat secara beradab. Memang amat dasyat fitnah Dajjal akhir zaman, sampai kita tidak tahu mana lawan atau kawan, dia menawarkan air padahal itu api.
Referensi lain:
Hukum berguru pada internet
Ikhtilaf itu Rahmat
Tak Memvonis Sesat
*pernah didiskusikan di awal bulan Mei 2013 di IMAS
Dan sesuai hukum fisika, tiap ada aksi pasti ada reaksi, akan terdapat juga situs-situs yg melawan situs Olifa tsb dan mengeluarkan daftar tandingannya :-(
Padahal ustadz atau penulis di situs-situs tsb saya yakin berniat baik, berbagi tulisan yg mereka ketahui kebenarannya. Para penulis juga bukan orang awam, mereka lulusan pesantren-pesantren di Indonesia dan ada yg pernah menuntut di Al Azhar Kairo atau belajar di KSA sana. Sebagai sebuah institusi, pernyataan ini yg saya tahu sbg pakem Al Azhar: Al-Azhar sendiri meski tidak pernah secara eksplisit menyatakan permusuhan dengan golongan IM dan Salafi-Wahabi, namun Al-Azhar menentang ajaran-ajaran takfir (pengkafiran tanpa peninjauan ulang), ajaran pencampuran kepentingan politik dengan agama, ajaran fanatisme buta terhadap satu madzhab atau personal, dan ajaran-ajaran Islam yang tidak berlandaskan madzhab fikih yang empat (Syafi'iyah, Malikiyah, Hanafiyah, dan Hanabiah).
Kembali ke judul
Belajar Islam yang benar tak bisa dinafikan adalah lewat seorang guru / ustadz/ kiai yang diketahui punya latar belakang pendidikan yang benar dan diketahui akhlak/budi pekertinya, sehingga layak menjadi panutan. Lebih bagus lagi jika murid dan guru sama-sama memegang kitab yg dijadikan rujukan. Tradisi keilmuan agama Islam memang sejatinya tidak pernah disalurkan melalui textual tradition, selalu melalui oral tradition. Text kitab hanyalah alat bantu bagi oral tradition ini. Namun bagi mereka yang tidak memiliki kesempatan belajar langsung dalam kelas atau menghadiri pertemuan rutin dengan guru, tiada salahnya mengambil referensi dari buku (baik terjemahan atau bukan) atau membaca situs-situs yang bisa terjamin isinya, dengan berpedoman pada rambu-rambu khusus seperti
(1) referensi al-Quran dan Hadits.
(2) tak mengkafirkan (takfiri)
(3) tak menghina sahabat, imam,guru dll
(4) mementingkan kemaslahatan umat
(5) menjauhi mudharat yg lebih besar.
Rambu-rambu ini menjadi penting karena tidak jarang ternyata murid memilih guru / kitab yg salah.
Saya berpendapat kaidah "sampaikan yg benar walau satu ayat" dan "temukan hikmah itu dimanapun ia berada" adalah tetap berlaku hingga akhir zaman. Perluasan dakwah Islam dgn magnitude yg luar biasa di era internet ini adalah salahsatu berkah orang2 bisa membaca artikel / beli buku / baca tafsir,kitab terjemahan / tonton video ttg Islam dimanapun dan kapanpun. Kalau mengkopi tausiyahnya Gus Mus dulu, "selama orang itu terus belajar dan tak merasa sudah pandai" tak bakal keseleo mudah-mudahan. Bahkan resep ini beliau tulis juga buat menantunya, Ulil BA yg kejeblos doktrin JIL itu.
Kombinasi berguru secara fisik dan membaca adalah saling melengkapi. Ada orang yg lebih baik menerima lewat dengar, baca, tulis, praktek ... IMHO mayoritas muslim akan belajar ayat-ayat yg muhkamat, yg sudah jelas dan tetap hukumnya. Contohnya rukun Islam. Sementara hal-hal "berat" lain biasanya dicari mereka yg mau belajar ke tahap lebih tinggi (ada keinginan, waktu, tahu cara memilah informasi, ada guru yg tepat dll).
Belajar ala entertainment
Saya belum pernah begitu detail mengecek kredibilitas seorang ustadz yg harus --tak terputus sanad dalam belajar-- hingga malaikat Jibril. Tapi saya yakin para pendakwah tanah air yg sudah pernah diundang di forum taklim seperti SI atau penceramah -- kelas youtube -- macam Ahmad Deedat, Zakir Naik, NAK, Hamza Yusuf adalah nama2 yg tak bisa disingkirkan begitu saja gara-gara sanad mereka terputus atau tak jelas.
Dan umat Islam yg belajar lewat entertainment mode ini (inisiatif sendiri via buku / media) tak bisa dianggap keliru total. Sekali lagi opsi terbaik memang punya guru, lebih baik lagi jika ada buku pegangan dan kurikulum nya. Bertatap muka sehingga pesan tersurat dan tersirat dapat disampaikan, mengklarifikasi jika ada pertanyaan saat itu atau di kemudian hari, terstruktur alias tidak acak, dan bisa dimonitor kemajuan pelajaran, dll.
Sejalan dengan tips yang disampaikan oleh ustadz Dr. Ahzami Sami’un Jazuli di Saung Mei kemarin. Videonya juga dapat disimak dengan jelas di sini (mulai waktu 1:25:00).
- Referensi benar yaitu Al-Qur’an DAN Sunnah ditambah ijma' para ulama.
- Metodologi cara memahaminya harus benar (Tafsiran)
- Berkomitmen untuk menyatukan umat, bukan malah mencerai-beraikan.
- Tidak terburu-buru memvonis saudara lainnya (sesat, kafir, ahli bid'ah, dll).
Sebagai penutup saya tuliskan pendapat seorang kawan dalam diskusi di milis bahwa perbedaan pendapat adalah keniscayaan karena kita makhluk berperadaban. Masalahnya adalah banyak orang tidak bisa berbeda pendapat secara beradab. Memang amat dasyat fitnah Dajjal akhir zaman, sampai kita tidak tahu mana lawan atau kawan, dia menawarkan air padahal itu api.
Referensi lain:
Hukum berguru pada internet
Ikhtilaf itu Rahmat
Tak Memvonis Sesat
*pernah didiskusikan di awal bulan Mei 2013 di IMAS
No comments:
Post a Comment