Dec 25, 2018

Iman dan Akal seorang Muslim

Diskusi medsos yang akan selalu berulang di tiap angkatan (alhamdulillaah) adalah mempertanyakan mana yang lebih didahulukan antara iman dan akal dalam beragama. Kebetulan seorang rekan membagikan tulisan ini di FB, dan muncul di lini masa saya.


Dari pemahaman saya, yang tepat adalah iman didahulukan sebelum akal. Bagi sebagian saudara muslim, akal yang didahulukan, dan persoalan iman tak perlu dikaji. Didasari atas pelajaran agama Islam yang pernah saya terima:


  1. Kisah-kisah kenabian:
    Tentunya bermula dari kisa nabi Nuh as yang dianggap gila oleh kaum nya untuk membuat kapal kayu besar di dalam hutan, nabi Ibrahim as yang dapat mimpi untuk menyembelih anaknya Ismail, nabi Musa as yang diarahkan langsung oleh Allah Swt untuk membelah laut Merah dengan memukulkan tongkat nya, ... dll kisah nyata yang dikisahkan dalam al Quran. Para nabi menjalaninya sepenuh hati -- ikhlas mesti berat -- tanpa banyak bertanya atau menguji dengan akal mereka saat itu. Seorang muslim yang membaca al-Quran akan mengimani kisah" ini sebagai kisah nya dan bukan dongeng orang" dahulu. Sampai di sini, teman" pembaca perlu sepakat dulu, bahwa kita mengimani kisah" dalam al Quran tanpa meragukan sedikit pun. Kalau sudah tak sepakat, tak perlu meneruskan membaca blog ini :-)
  2. Ritual ibadah, apakah masuk akal?
    Penganut ajaran agama / kepercayaan apapun, jika sudah memasuki domain ini, akan mengatakan kami menjalani ritual tsb dengan penuh keimanan dan kami yakin itu benar sebagaimana yang kami terima. Para pengamat (mereka yang berbeda keyakinan atau berada di luar alias tak beriman) akan mengatakan ritual" tsb sebagai aneh, tak masuk akal, dll. Bayangkan shalat dengan ruku dan sujud di masa industri 4.0 ini akan dianggap orang gila. Anda kentut, batal wudhu, dan yang dibersihkan bukannya liang keluar kentut melainkan urutan basuh tangan, muka, dahi, dan kaki ... tak berhubungan sama sekali.
  3. Ritual non-ibadah
    Islam mengatur keseluruhan, kaaffah, bukan HANYA aspek ibadah. Jadi jika dalam al-Quran ada mengatur hak waris wanita 1/2 bagian pria, atau mengapa babi haram, atau mengapa pria tak boleh pakai emas/sutra, atau kenapa poligami dibatasi empat, yah harus diimani, bukan dikaji (adu nalar) dulu. Seorang muslim akan melakukan dengan sikap sami'na, waatha'na  (without any reserve), dan mencari hikmah atau sejarah nya mengapa seperti itu setelah mengimani dan menjalankan syariah tsb. Krn mgkn hingga sampai hari ini, akal manusia belum sampai memahami apa alasannya dihukumi seperti itu.

Para pembela akal, akan membantah pastinya, dengan pakem yang sudah standard:
  • Kisah kenabian: lha mereka tahu mereka nabi, makanya percaya dan langsung buat. Jangan pakai contoh manusia sempurna dong.
  • Bedakan sesuatu yg bentuknya ritual ibadah dan non ritual. Dari dulu Rasulullah mencontohkan shalat seperti itu, jangan berinovasi utk menciptakan shalat gaya baru.
    Tapi hal-hal yg bersifat non ritual ibadah, dan tdk ada contohnya, penafsiran dapat berbeda-beda, akal dan nurani manusia dipakai dalam mengambil keputusan, tafsir mana yg hendak dianut (he he tafsir jalanlain)
  • Untuk ibadah non-ritual. mereka akan mencoba berargumen dengan "bab pelecehan wanita yang mereka amat paham" seperti aturan poligami atau hak waris yang tak setara.  Mereka mengajak berdiskusi dengan mengedepankan sumber ustadz" abad-20/21 yang "toleran" terhadap perbedaan, kebebasan berfikir, dan pluralisme. Mereka nafikan bahwa para ilmuwan Islam abad VII adalah tertinggal cara berfikir nya dan tak dapat dijadikan rujukan di masa sekarang.
Namun rekan" penyembah akal ini lupa / tak tahu bahwa para islamic scholars (cendekiawan muslim) yg bermula di abad 7 hingga abad 12 adalah mereka yang menyumbang mutiara" ilmu pengetahuan di masa" keemasan pemikiran Islam. Cendekia" sekarang memakai mereka (mis. imam Syafiie yg dipakai mazhab nya di Asteng) sebagai referensi dan tak menafikan fatwa/pemikiran di zaman itu.

Cendekiawan" muslim itu mengimani baru mencoba mengerti atau membahas dgn akal mereka, mengapa begini dan mengapa begitu. Mereka tunduk pada keimanan. Mereka tak merasa lebih pintar dari sahabat/generasi abad ke-7 dan seenaknya mau mengubah aturan" langit tsb. Koq 4, mengapa bukan 3, padahal ini sudah 14 abad yg lalu. Koq masih dipertahankan 1/2 padahal di era kesetaraan gender sekarang mestinya 1/1. Koq di zaman sekarang khinzir masih dilabel haram padahal segala jenis cacing sudah dimatikan dan diternakkan di tempat yg kinclong .... bottom line is faith must be much bolder than ratio.

Mereka tetap memuja bahwa akal adalah alasan mereka memilih Islam. Di dalam keluarga, mereka diberi kebebasan untuk memilih dan menjalankan sesuai apa yang diyakini. Tiada paksaan dan tiada yang berhak memaksa, bahwa akal akan menimbang apa itu patut dibuat, atau abaikan. Mereka lupa bahwa puluhan sahabat awal dan ribuan mereka yang bersyahadat sesudah itu di masa Rasulullaah Saw adalah mereka yang tiada perlu berdebat panjang untuk menjadi muslim.

Alhamdulilllaah Islam yg diperkenalkan pada saya, dan itu merupakan rahmat terbesar. Kalau masih seorang muslim yang galau akan keimanannya, memang sangat disayangkan, sehingga dengan bangga mengatakan orang lain tak berakal.

'Ala kulli hal, saya menghormati perbedaan. Toh kawan-kawan diskusi "yang saya layani" di medsos  adalah muslim, dan sesama muslim bersaudara. Mau masuk Islam dan mempertahankan Islam. Nah lewat jalur mana itu urusan hidayah. Mau beriman dulu, kemudian pakai akal, dan tetap dalam Islam itu lebih baik. Mau uji nalar / akal dulu, lalu mengimani, dan meyakini Islam adalah yang benar, tentu boleh. Yang penting nanti, di hujung hayat, husnul khatimah.

No comments:

Post a Comment