May 8, 2008

Mencetak Laskar Pelangi Masa Kini

Masih teringat dengan dua buku pertama tetralogi Andrea Hirata yaitu LP dan SP. Rangkaian karya sastra menarik yang bercerita indah tentang impian dan tekad kuat untuk menggapai mimpi-mimpi itu. Sejalan dengan pengamat ilmu komunikasi, ibu Santi Indra Astuti: "Novel ini tidak mengajak pembaca untuk menangisi kemiskinan, sebaliknya mengajak kita untuk memandang kemiskinan dengan cara lain, tepatnya melihat sisi lain dari kondisi kekurangan yang mampu melahirkan kreativitas-kreativitas tak terduga."

Tanpa diragukan lagi itulah pesan yang ingin disampaikan penulis lewat sepuluh anak kampung Belitong dalam novel LP atau tiga tokoh remaja dalam SP.
Dalam renungan saya berfikir apakah generasi LP ini dapat dikloning (dibuat duplikat) nya pada masa kini ?
Tentu saja jawaban positif yaitu bisa ! Namun saya melihat parameter-parameter yang dihadapi siswa-siswi dari golongan orang tua kurang mampu masa kini ternyata lebih kompleks dibandingkan dengan saat dan tempat LP asli dilahirkan. Survey BPS 2006 menyebutkan ada 39.05 juta orang miskin, 10,24 persen pengangguran dari total angkatan kerja yang berjumlah 103 juta jiwa, dan 19,2 juta KK adalah rumah tangga miskin di Indonesia.

Banyak kisah anak negeri Indonesia memiliki alur cerita yang sama. Mereka dilahirkan dan dibesarkan dalam keterbatasan dan meraih kesuksesan di kemudian hari -- dengan berbagai pengalaman jatuh bangun -- sebagaimana perjuangan Ikal dan Arai dalam SP.


Plus Minus

Mari kita tuangkan satu persatu situasi dan kondisi siswa-siswi SD MD di kampung Belitong Timor pada umumnya di masa itu. Untuk tiap poin yang mengarah pada kesuksesan siswa akan kita beri tanda positif dan sebaliknya diberi tanda negatif:
  • (-) Kampung Melayu Belitong adalah sebuah kampung nelayan miskin. Jauh dari sarana dan infrastruktur publik yang baik.
  • (-) Orang tua murid umumnya tak pernah bersekolah.
  • (-) Lapangan pekerjaan terbesar adalah nelayan. Kalaupun ada orang tua murid yang berstatus pegawai hanyalah buruh rendah di PN Timah. Penghasilan mereka tentunya pas-pasan ditambah lagi harus membiayai keluarga Melayu yang umumnya punya anak banyak.
  • (-) Keterbatasan media informasi, hanya ada radio dan surat kabar (yang biasanya terlambat hingga berhari-hari bahkan berminggu).
  • (-) Bangunan dan fasilitas sekolah yang jauh dari mapan.
  • (-) Guru-guru yang berpenghasilan jauh dari cukup.
  • (-) Jauhnya lokasi sekolah yang mengharuskan seorang siswa punya tekad baja untuk tidak bolos. Panas terik, hujan badai, jalan berbatu turun naik adalah tantangan tiap hari.
  • (+) Kampung yang dikelilingi alam terkembang nan asri dan indah.
  • (+) Kepala sekolah (Pak Harfan) dan guru kelas (Bu Muslimah) yang punya visi, ketulusan, dan berdedikasi tinggi sebagai pendidik dan pengajar.
  • (+) Sistem pengajaran yang memberi kebebasan bagi guru dan murid untuk berkarya tanpa terikat dengan kurikulum.
  • (+) Sekolah berbiaya murah, tanpa mengharuskan siswa membayar uang pangkal, uang seragam, dan kutipan-kutipan tak perlu lainnya.
  • (+) Pustaka yang lumayan lengkap sehingga anak sejenius Lintang dapat belajar lebih dulu dari usianya.
  • (+) Pergaulan siswa yang erat tanpa ada perbedaan status sosial, permusuhan, dan pelecehan dari senior/jagoan (bullying).
  • (+) Orang tua anak-anak LP yang mulai sadar akan pentingnya sekolah. Mereka hanya mengantarkan anak-anaknya pada hari-hari pertama sekolah dan selanjutnya menitipkan sepenuhnya pada guru. Mereka yakin hanya dengan sekolah, masa depan anak mereka akan lebih baik.
  • (+) Nilai-nilai agama yang tertanam baik di sekolah, masjid, dan di rumah.
  • (+) Masyarakat yang masih polos, jauh dari konflik dan korupsi.
  • (+) Keinginan kuat dari siswa untuk menuntut ilmu dan memiliki cita-cita.
  • (+) Krisis moneter dan kebablasan reformasi belum menyerang republik ini.
Dari beberapa poin di atas dapat dilihat bahwa hanya siswa-siswi yang "lulus seleksi alam" saja yang dapat sukses mengarungi kejamnya cobaan pendidikan di sana. Ada 7 poin negatif dari total 18 poin, ini artinya 39% desakan negatif akan menahan laju seorang anak kelas 1 SD untuk merangkak menyelesaikan 12 tahun jalan pendidikan wajibnya. Belum lagi kalau ternyata poin-poin merah di atas memiki bobot lebih besar dibandingkan poin positif.

Pilihan mereka tak banyak: mau melanjutkan sekolah atau mengulang sejarah yang sama dengan nenek moyang mereka menjadi nelayan atau buruh rendah. Saya mencatat hanya
Ikal (M.Sc, pegawai Telkom), Arai (M.Sc), Mahar (PNS), Syahdan (Praktisi IT) yang berhasil mendaki menara gading atau puncak Everest kesuksesan dari standar keduniaan (koreksi saya bila salah). Ini berarti hanya empat dari selusin tokoh anak-anak dalam SP dan LP (success rate 33%). Kecerdasan tak melulu menjadi modal utama, karena siswa jenius Lintang Samudra Basara tak mampu berbuat banyak saat ia harus berhenti sekolah di usia 14 tahun demi menopang ekonomi keluarga setelah ayahnya wafat.

The 1 million dollar
question ...

Apakah
generasi LP dapat lahir saat ini di nusantara ?

Sengaja saya ambil dua lokasi ekstrim di nusantara ini yaitu Jakarta dan kampung di pinggiran danau Maninjau (Sumatra Barat). Jakarta adalah sebuah metropolitan ibukota negara palugada (apa lu mau gua ada). Maninjau adalah kampuang indah permai nan asri dengan pertanian dan nelayan ikan karamba, yang telah banyak menghasilkan tokoh-tokoh kharismatik Indonesia seperti ulama besar Hamka, pahlawan nasional wanita HR Rasuna Said, mantan perdana menteri M. Natsir, sastrawan Nur St. Iskandar, dll.

Dengan poin-pon Plus Minus di atas, saya coba buat perbandingan
masa kini dengan kondisi Andrea Hirata melukiskan kampung dan masa sekolahnya.

Jakarta
Kota ini mungkin menegasi seluruh poin negatif di atas ! Kota ini cukup kondusif untuk siswa-siswi yang orang tuanya berpendidikan dan punya uang. Institusi pendidikan bergengsi, berkelas, dan mahal tersedia. Informasi lewat berbagai media mudah di dapat. Tinggal bagaimana siswa-siswi yang beruntung ini memanfaatkan keberuntungan ini saja untuk sukses. Namun coba kaji apakah Jakarta saat ini memiliki seluruh poin positif untuk warga kurang mampu ?

Jakarta jauh dari bayangan sebuah kota yang asri dan nyaman untuk belajar. Jakarta terlebih lagi tidak ramah terhadap anak-anak dari golongan ekonomi lemah. Pendidikan yang kian mahal sehingga orang tua miskin tak mampu menghantar anaknya ke sekolah meski dengan SPP gratis (karena banyak tambahan uang-uang lainnya). Hiburan 24 jam yang cenderung berisikan hal-hal yang tak berguna, gosip, materialis, hedonis, dan fantasi membuai anak-anak yang kurang beruntung tsb untuk malas memikirkan sekolah dan justru jadi beban buat orang tua mereka. Pendidikan agama dan akhlak yang lemah menimbulkan tawuran-tawuran baik antar level horisontal dan level vertikal (menekan yang lemah, saling hujat, konflik antar kampung, dll).
Anak-anak usia sekolah dijadikan tenaga kerja ilegal membantu nafkah: mengamen di perepatan jalan, jual koran, pengemis kolektif, pak ogah, joki 3-in-1 dll. Kalau diteruskan daftar dosa ini akan tambah panjang :-(

Dari poin-poin ringkas di atas, jelas bahwa Jakarta bukan ladang yang subur untuk lahirnya generasi LP secara alamiah. Jakarta bukan untuk siswa miskin yang tak punya mimpi tinggi dan berjiwa lemah.

Kampung Maninjau

Secara alam kampung ini banyak memiliki kemiripan. Mungkin dapat dikatakan kampung ini lebih baik dibanding kampung Belitong Timor karena alamnya jauh lebih indah dan bersahabat. Tapi yang namanya kampung yang jauh dari pusat negeri tetap saja irama kehidupannya lebih lambat bahkan terkesan membosankan :-) Kampung ini jelas lebih enak untuk merehatkan otak sejenak dan meraih energi untuk tugas-tugas baru. Tak heran, tak banyak sekolah berdiri di sini. Siswa-siswi yang ingin maju harus pergi merantau untuk pendidikan yang lebih baik.

Seratus tahun setelah lahirnya tokoh-tokoh legendaris dari kampung ini, kondisi fisik memang jauh membaik dengan hadirnya listrik dan telepon. Siaran dari Jakarta atau dari wilayah benua lain pun dapat dipantau di desa ini. Saya pun heran dengan ramainya antena parabola di atas rumah-rumah sederhana penduduk, bahkan di atas warkop, gubuk atau rumah gadang yang hampir roboh ! Kontras sekali kehadiran payung besi pucat berdiameter 1.5 meter ini dengan alam hijau di sekelilingnya.

Dengan hadirnya antena parabola artinya hiburan dari manapun jadi potensi untuk merusak jiwa dan pikiran siswa-siswi di sini. Anak-anak dan generasi muda menjadi malas pergi ke mesjid, padahal mesjid adalah pusat orang-orang dulu mengaji ilmu dan belajar akhlak. Dengan hiburan 24 jam siswa-siswi jadi malas belajar dan rajin mengaca di TV mencermati acara-acara yang tak baik. Orang tua - yang hanya nelayan atau buruh tani - justru berlomba bekerja keras mencari uang untuk beli TV baru atau antena parabola atau beli DVD/VCD bajakan atau Sony PS2, dan bukan memikirkan pendidikan untuk masa depan anak-anaknya !

Bila tidak ada azzam yang kuat baik dari orang tua, anak-anak, ataupun pemuka masyarakat dan agama maka mustahil akan lahir kembali tokoh-tokoh terkenal penerus Hamka dan M. Natsir dari desa yang indah ini.

Sebagai renungan kita bersama, kira-kira dimana tempat yang kondusif untuk siswa-siswi miskin di tanah air ini untuk lahir sebagai generasi Laskar Pelangi ? Mimpi tinggi dan cita-cita untuk maju adalah benih yang memerlukan habitat dan pupuk yang baik untuk tumbuh besar mendaki puncak-puncak kesuksesan.

No comments:

Post a Comment