May 22, 2011

Kisah Rp. 200


Recehan logam warna perak Rp. 200 (rupiah) dan Rs 1 (rupee) itu persis bundarnya, sekitar 1 sentimeter diameter. Meski koin Rs 1 lebih tipis dan terlihat ia terbuat dari bahan yang lebih baik, sehingga lebih berat dan kokoh penampakannya. Nilain keduanya pun agak mirip Rs 1 = Rp. 215 mengikut kurs uang hari ini. Setahu saya di India nominal uang receh terbesar adalah Rs 5 dengan warna emas atau perak yang lebih berat. Sama juga dengan di Indonesia Rp. 1000 adalah nominal receh terbesar dengan desain dan bahan yang jauh lebih baik dibandingkan recehan lainnya.

Bagaimana orang memperlakukan koin receh ini ?

Di Jakarta koin Rp. 200 itu langka, biasanya bertemu saat belanja di supermarket. Nilai Rp 200 memang sudah tak berdaya menghadapi inflasi harga barang di tanah air, bahkan satu pisang molen goreng ukuran mini pun harganya sudah Rp. 1000 tiga buah bulan lalu. Jadi pandangan biasa, orang2 di Jakarta menganggap remeh receh Rp. 200 ini, bahkan receh Rp. 500 pun hanya beredar aktif di mikrolet/angkot/metromini, tukang parkir, atau pak ogah U-turn. Kadang konsumen "mengikhlaskan" saja uang kembalian recehan ini. Namun hal ini tak berlaku bagi pemberi jasa, semisal supir taksi dengan argometer menunjukkan Rp. 22200 maka ia tak mau dibayar kurang dan mengharapkan kalau dapat dibayar Rp. 22500 atau lebih besar dari itu misalnya Rp. 23000++. Bahkan cerita biasa jika ia dibayar dengan tiga lembar sepuluh ribuan, kembalinya hanya lima ribu dengan alasan tak ada uang kecil :-(

Amat mengherankan peredaran uang receh nominal kecil ini terkesan amat disepelekan di tanah air. Akibatnya peningkatan harga jasa semisal transportasi, tarif tol, parkir, harga barang akan mengikuti nominal pecahan besar seperti Rp. 500 atau Rp. 1000.

******

Nasib receh Rs 1 di Bangalore lebih baik alias distribusinya lebih nyata meski hari2 ini. Tak ada orang sombong yg membuang sengaja koin Rs 1 ini. Kedai makan, supermarket, bus kota semua biasa bertransaksi dengan Rs 1. Tinggal masih ada stok atau tidak. Kalau perlu diadakan "pengaturan" uang kembalian agar solusi kembalian tetap tercapai. Sebagai contoh:
(1) bila kembalian makan siang itu sebesar Rs 4, maka kasir akan meminta Rs 1 dari si pembeli apabila ia tidak memiliki stok receh, si pembeli menambah Rs 1 dan si kasir mengembalikan dengan receh Rs 5.
(2) misalnya tiket bus seharga Rs 13 dan penumpang bayar Rs 50, berarti akan ada kembalian Rs 37, sementara tak cukup recehan untuk mengembalikan sebesar itu. Kondektur yang cerdik akan meminta tambahan Rs 2 dari penumpang sehingga ia dapat mengembalikan Rs 5.

Ada kondektur yg begitu rapi soal uang kembalian. Semuanya tuntas, penumpang bayar, uang kembali langsung dikembalikan. Meskipun itu hanya Rs 1, ia akan mengeruk tas kulit belel warna coklatnya untuk "memburu" receh Rs 1. Ada juga yg sulit meminta uang kembalian terutama saat bus penuh yg membuat kondektur sukar bermanuver di dalam bus. Ada juga yg menganggap remeh pecahan Rs 1 atau Rs 2 itu dan dianggap penumpang ikhlas dgn nya. Untuk kasus terakhir ini sering terjadi juga dan repotnya si kondektur hanya paham bahasa ibunya :-( Suatu saat ia mengatakan seperti ini (kira-kira) ... "Untuk kembali Rs 4 saya tak ada, tapi beri saya Rs 1, nanti saya kembalikan Rs 5". Lha bagi saya sebagai pendatang, mana ngerti hal ini :-)

Memang semua kembali pada kejujuran dan ketersediaan recehan yg diperlukan. Prakteknya, penumpang bus yg tiap hari memakai bus ke tempat kerja maka mereka akan membeli tiket bulanan sehingga tak repot lagi menyiapkan uang pas. Tiket bulanan (season ticket) ini tentu lebih murah dan dapat dipakai unlimited.

Kesimpulan sejauh ini, di Bangalore nilai uang Rs 1 ini tetap dihargai. Kasir memberikannya dan pembeli memintanya. Tidak ada istilah pembulatan ke atas apalagi ke bawah ya karena tiap orang dapat meminta receipt pembayaran. Di atas karcis tertera nominal harga tiket yg diperlukan untuk sampai tujuan. Lupa membeli tiket, membuang tiket padahal masih dipakai di dalam bus, menipu harga maka hukumannya amat berat. Denda Rs 500 sekali ditemukan ! Pengguna jasa pun berhak komplain ke kantor BMTC (operator bus) tentang ketakadilan yg mungkin terjadi.

******

Di Singapura, penggunaan koin terkecil yaitu $0.01 alias 1 sen (sekitar Rp. 68) sudah semakin langka. Toko, supermarket, kedai makan semua mengatur pembulatan ke atas atau ke bawah untuk melenyapkan uang kembalian yg lebih kecil dari 5 sen. Dengan kata lain, koin terkecil $0.05 alias 5 sen saja yg masih banyak beredar hari ini. Koin 1 sen secara fisik boleh diasumsikan sudah punah. Selain dengan pembulatan, ada satu hal lagi yg membuat konsumen/produsen jasa/barang tak terlalu dipusingkan oleh urusan koin satuan, yaitu dengan pembayaran tanpa uang tunai. Semuanya dilakukan dengan kartu debit/kredit/cashcard/dll sehingga mau nilai berapapun transaksi tetap dapat dilakukan dengan tepat.


catatankaki:
Kisah konduktor bus BLR yg tertangkap di kamera saya, baca di sini.


No comments:

Post a Comment