Mar 8, 2014

Kala Uang Kurang Berarti

Awal September saya pulang kampuang untuk waktu yang teramat singkat, kurang dari tiga hari. Tiba Sabtu siang jam 3 dan sudah harus berangkat kembali Senin pagi jam 8. Hanya untuk menjemput Elwis dan DuoS kembali ke Singapura. Tak banyak waktu kosong, apalagi sudah beberapa minggu tak kumpul dengan keluarga, pastinya ingin melepas rasa rindu di rumah sj :-) Sampai Sabtu sore itupun, DuoS masih agak bingung bertemu saya. Shalih agak berani mesti senyum nya masih ditahan dan harus dipeluk agar mau duduk di pangkuan. Sementara uni Shalihah, masih khawatir bahkan untuk bertatap wajah dan membalas senyuman. ...

Memang ini bahaya long distance relationship (LDR) dengan bayi kurang dua tahun ... bisa cepat lupa mereka he ...he..


*****

Minggu pagi saya bilang ke Elwis akan pergi bercukur rambut. Langganan biasa di Pasar Ateh Bukittinggi. Namun siang itu langit mendung dan saya agak malas ke sana karena agak jauh. Sejam dua jam bakal habis. Bimbang antara pergi ke tempat biasa di Pasar Ateh atau cukup pangkas di pasar Padang Luar yang lebih dekat dari rumah. Saya belum pernah bercukur sebelumnya di Padang Luar ini. Berbekal hanya "kata orang ada kedai cukur di sana" dan pernah sekilas melihat kedai-kedai kecil tsb dari atas kendaraan, akhirnya saya putuskan ke Padang Luar.

Ada tiga kedai di sana dengan lokasi yang berpencaran, mulailah saya survei satu persatu. Karena itu hari Minggu, antrian panjang di dua kedai pertama, mungkin ada empat hingga lima orang yang menanti giliran. Mulai hati bergetar, " ... coba saja tadi ke Pasar Ateh, servisnya sudah saya kenal, antrinya pendek karena tukang pangkas lebih banyak. Tanpa mau menuruti kegalauan hati, saya tempuh kedai terakhir yaitu kedai ketiga yang lebih dekat ke tepi jalan raya Padang-Bukittinggi yang ramai kendaraan itu. Ternyata hanya ada tiga orang di sana: tukang pangkas, seorang yang sedang dilayani, dan seorang kakek yg sedang duduk di kursi panjang. Belakangan saya tahu rupanya kakek tsb hanya menumpang duduk di sana. Kesimpulannya, hanya perlu menanti satu pelanggan saja :-)

Yes, dalam hati, tak pakai lama nih.

Saya duduk di kursi papan panjang lain berhampiran dengan kursi sang kakek. Tersenyum dan menyapa secukupnya. Saya periksa saku celana dan kemeja, waduh HP tak terbawa. Hmmm ... surat kabar pun tak ada di dalam kedai sempit beratap triplek rendah berukuran 2x4 meter itu. Langit mendung kini sudah menitiskan titik-titik air di luar. Mobil, motor, bus, dan truk berat bergantian lewat menggetarkan kedai berdinding papan yang saya baru sadar hanya beralaskan semen dan ditutup terpal plastik tipis seadanya itu.

Hanya ada dua kursi bercukur dengan kualitas apa adanya di sana sementara tukang cukurnya hanya seorang. Ia terlihat mahir bekerja. Cermin kaca lebar ada di depan dan ada juga di atas dinding belakang (tipikal kedai cukur). Sound system (cd/vcd) dengan pengeras suara besar hitam tampak di samping meja cukur. Atap kedai dari seng dan tripleks yang di beberapa tempat banyak bolong dan tampak sudah sering terkena rembesan bocor. Bocor juga merembes ke dinding kedai yg terbuat dari papan sehingga sisa-sisa air menghitamkan pojok-pojok yang dilalui ulah kebocoran itu. Di lantai berserakan rambut-rambut sisa potong pelanggan dan ada satu papan nama "kuno" yang sudah tak terpakai tergeletak di pojokan dekat pintu masuk.

Alat-alat yg dipakai sederhana khas kedai cukur pinggir jalan. Entah mengapa tiba-tiba saya merasa geli untuk meneruskan bercukur disana dengan alasan alat-alat yang dipakai kurang higienis (jangan bilang untuk standar Singapura yah he...he..). Sensor cela ...

Haha... rezeki tukang cukur yg memang harus saya antar siang itu. Can not be missed ! Uang mungkin ada berlebih di dompet dan sanggup membayar layanan di tempat yg jauh lebih baik. Namun uang banyak itu tak berarti. Di luar hujan, hari sudah siang, dan saya tak mau kehilangan banyak waktu. Padang Luar - Bukittinggi di hari Minggu terkenal akan macet dan taksi adalah barang langka di sini. Pasrah ... berdoa untuk dapat hasil cukur terbaik. Alhamdulillah selesai juga dengan kualitas yg baik dan selembar sepuluh ribuan lusuh berpindah tangan. Urusan bersih-bersih dapat dilanjutkan di rumah nanti dengan mandi :-)

*****

Itulah yg terbaik bagi saya saat itu. Tak perlu komplen, mission accomplished alias tugas selesai. Itulah rezeki yg kadang lupa saya syukuri. Mungkin saya punya ekspektasi terlalu tinggi karena faktor umur, pendidikan, lingkungan tempat tinggal, keuangan dll ... namun manusia hanya berencana, berikhtiar, dan Allah Swt yg mencampur semua parameter tadi menjadi sebuah hasil yg harus saya terima pada detik itu dan tempat tersebut.

Masih untung masih ada tukang cukur. Seandainya ada berlembar seratus ribuan di dompet pun tak kan berguna jika saya tak bertemu kedai cukur yang dapat melayani saya saat itu juga dan bukan satu atau dua jam kemudian. Kebutuhan saya terpenuhi. Tak heran di kala barang langka, orang-orang rela membayar berkali lipat harga sebuah barang untuk mendapatkannya. Berapapun dibayar asalkan barang itu ia dapat.

Bersyukurlah jika tak harus bertemu kondisi itu terlampau sering :-) Musim kemarau panjang sehingga sukar diperoleh sayur-sayuran dan buah-buahan. Musim hujan dan badai sehingga nelayan enggan ke laut sehingga harga seafood meroket bahkan tak ada stok. Hari raya China membuat udang dan daun bawang menghilang di pasar. Hujan tak turun berbulan-bulan sehingga bekalan air terpaksa dikurangi atau penyalaan listrik bergilir yg disebabkan level air di PLTA merosot di musim kering.



No comments:

Post a Comment