Feb 28, 2013

Mengapa Segan Jadi Anggota Dewan

Syaratnya mudah bagi mayoritas WNI sehat, lulus SMA, yg tidak punya sejarah kelam dari sisi hukum. Apalagi bagi mereka yg berprofesi pengusaha, alias bukan berasal dari pegawai negeri/bumn/bumd/angkatan, tak perlu resign atau copot jabatan dulu.

... susahnya dua saja, (1) bersedia kerja sepenuh masa dan mampu adjusting life style.
Dapat dimaklumi karena take home pay (gaji pokok dan tunjangan pokok) hanya Rp. 18 - 50 jutaan sebulan.

dan (2) yang terpenting Anda dicalonkan oleh Parpol.

Melihat persyaratan di atas dengan UMR ibukota Rp. 2.2 jeti sebulan rasanya siapapun bisa jadi anggota DPR. Anggaplah bersih bawa pulang ke rumah uang lima juta, setelah sumbangan ke partai, udah cukup rasanya, toh rumah, listrik, telp, dan transport juga dibayari negara. Jadi syarat pertama mudah dilewati.

Bagaimana syarat kedua ? Nah ternyata ini mahal. Kalau sekadar mau jadi simpatisan atau anggota parpol mudah. Namun utk diajukan sebagai caleg dari parpol tsb, ada maharnya nya. Mahar itu tergantung dimana caleg dicalonkan dan harus dibayar di awal. Meski ada terobosan baru oleh Nasdem dan Gerindra yang melakukan rekrutmen partai secara terbuka. Pertengahan 2012 lalu, Nasdem mau membiayai kampanye caleg mereka Rp. 5-10M tergantung dapil (nggak tahu deh setelah Hary Tanoe minggat dari sana, apa tawaran ini masih berlaku). Sementara Gerindra lebih lunak lagi dgn mensyaratkan bagi para pendaftar baru, dari unsur non-kader/non-partai, harus mengumpulkan seratus KTP penggemar dan ia layak diusung jadi caleg (Jan - Feb 2013). Namun setelah terpilih jadi anggota dewan, tahu sendiri lah berapa yg harus disetor balik ke partai :-(

Idealnya seorang anggota dewan memang dpt mencurahkan pikiran, hati, dan tenaga utk kemaslahatan umat 8-12 jam sehari (sebagaimana buruh UMR). Yg punya usaha agar tak dituduh conflict of interest jangan sampai mencampurkan urusan bisnis dgn jabatan baru ini.

Ada pribumi intelek semacam Mahfud MD yang mau duduk di dewan 2004-2008, padahal apalah yg ia cari lagi sebagai tokoh nasional dan mantan menteri kabinet. Digaji 18 jeti sebulan pun ia keberatan. Ia sempat menulis sebuah kolom tentang karir politisi sebagai orang Islam di SINDO .

Namun apakah politik itu harus dijauhi orang-orang yang beragama? Tidak. Malah orang yang beragama dengan benar dan ingin menegakkan kebenaran haruslah berpolitik.

Tulisan klasik pro dan kontra. Jebakan batman spt yg ditakutkan Muh Abduh akan selalu terjadi apabila sepuluh duapuluh ekor sapi merumput bersama lima ratus ekor serigala yg tak gemar makan rumput. Citra yg baik akan lenyap. Sebab utamanya karena para pemilih tak tahu mana yg asli, mana yg topeng. SBY di tahun 2004 mgkn sejatinya adalah harapan banyak orang, namun musuh dan oportunis di sekelilingnya terlalu banyak sehingga ia pun tak sadar dijebak, terpaksa melakukan manuver yg tak pernah terpikirkan saat dicapreskan pertama kali, mungkin jadi serigala sekalian memangsa serigala lain yg mengancamnya. Sama lah dgn sejarah Sukarno dan Suharto (alm).

Seperti ungkap seorang kawan, betapapun 'kotor' nya dunia tsb, harus ada yg melakukannya dgn segala resiko nya.
Dua jempol buat mereka yg berani 'nyemplung', walau beresiko terjebak atau teralih (atau beralih dengan kesadaran sendiri) orientasi-nya. Bagi yg beralih dgn sadar, harus akui kesalahan dan bertaubat, yg berpotensi terjebak
harus hati-hati. Krn profesi apapun yg dipilih, semua ada resiko nya.

Mgkn buat sebagian besar orang yg berkompeten utk duduk di dewan, menjadi anggota itu buang-buang waktu, tenaga, buat naik darah dll:
  1. Rapat RUU yg melelahkan bahkan bisa lebih dari satu atau dua periode keanggotaan sptpengesahan UU Pornografi, UU SisDiknas, dll
  2. Rapat dengar pendapat dengan pemerintah, rapat komisi dll yg sering jadi ajang tarik urat leher namun minim fakta, pamer ego, gengsi antar partai,daerah, dll.
  3. Rekan anggota yang tak amanah, tumpang tindih otoritas, mafia anggaran/projek, tukang tilap uang dinas dll.
Tak semua orang pandai bermanis muka, bermain cantik untuk kepentingan yg lebih besar. Jadi daripada keluar fitnah atau berkelahi lemparan kursi apa lebih baik tak pernah nyalon :-)

Di penghujung tulisan ini saya kutipkan lagi kaidah ushul fiqh yg dikutip Pak Mahfud MD dalam referensi di atas: “Maa laa yatimmul waajib illaa bihii fa huwa waajib (jika sesuatu kewajiban itu tidak dapat dilakukan tanpa danya atau tanpa melakukan sesuatu yang lain, mengadakan atau melakukan sesuatu yang lain itu wajib juga adanya).” Jika menegakkan amar ma'ruf nahi munkar atau menegakkan keadilan dan kebenaran itu tidak dapat terlaksana dengan baik tanpa berpolitik, berpolitik itu hukumnya menjadi wajib.


*diskusi di milis IMAS 25-27.02.2013

No comments:

Post a Comment