Apr 10, 2008

Membersihkan sisa kencing - Istibra'

“Anak kunci kepada shalat itu adalah bersuci"
[ Riwayat Abu Daud dan Tirmidzi ]

Dari hadits tadi dapat dipahami bahwa tidak sah shalat seseorang apabila dia tidak bersuci dari hadats kecil ataupun hadats besar. Dengan kata lain hadats adalah suatu perkara yang dapat menghalangi sahnya shalat atau ibadah seseorang. Untuk itu, hadats tersebut harus dihilangkan terlebih dahulu sebelum shalat, diantaranya dengan wudhu (ablution, Qs. Al-Maidah 6) atau mandi/ghusl (complete ablution, Qs. al-Baqarah 222).

Selama ini saya mengenal istilah untuk membersihkan aurat dari najis adalah istinja’ (membersihkan apa-apa yang telah keluar dari suatu jalan di antara dua jalan yaitu qubul atau dubur) dengan menggunakan air atau dengan batu atau yang sejenisnya (benda yang bersih dan suci). Dalam istilah gaul istinja’ ini dikenal dengan cebok. Nah sebelum wudhu disunnahkan untuk beristinja', apa saja yang perlu dibersihkan ?
  1. Zakar/Qubul (tempat keluar air kencing) wajib dibasuh dengan air.
  2. Dubur (tempat keluar air besar) dapat disiram dengan air ataupun diusap dengan benda padat yang suci dan dapat menghilangkan najis seperti batu, tanah keras, kertas, dll.
Jika air dan kertas sama-sama tersedia, maka yang lebih utamanya lagi adalah menggunakan kedua-duanya. Khususnya untuk toilet modern yang telah menyediakan kertas tisu, sebaiknya, pertama-tama menggunakan kertas untuk menghilangkan benda najisnya lalu gunakan air untuk menyucikan tempat keluar najis dari warna atau sisa-sisa najis yang masih tertinggal.

Lalu hari ini saya belajar sesuatu dari internet mengenai istibra’. Istibra‘ dalam bahasa Arab berarti menuntut kebersihan. Sebagian besar ulama mazhab Syafi’i dan Hanbali mengatakan hukumnya adalah sunat dengan beralasan bahwa selepas berhenti pengaliran air kencing itu, ia tidak akan keluar lagi. Sementara ada juga sebahagian daripada ulama Mazhab Syafi’i yang berpendapat bahwa istibra‘ itu hukumnya wajib, dan inilah juga menjadi pendapat ulama Mazhab Hanafi dan Maliki. Istibra’ bagi pria muslim dilakukan setelah selesai buang air kecil (kencing) untuk meyakinkan bahwa tidak ada air kencing yang tersisa di saluran kencing (uretra). Tidak ada anjuran ini untuk wanita muslim.

Istibra' dilakukan dengan cara:
  1. Mengurut dengan kuat antara lubang anus dan zakar sebanyak tiga kali;
  2. Meletakkan telunjuk di bawah batang zakar dan ibu jari di atas batang zakar dan lalu mengusapkannya dengan tekanan hingga ujung zakar sebanyak tiga kali;
  3. Menekan ujung zakar (kepala zakar) tiga kali.
Manjur dipraktekan terutama bila buang air kecil dalam posisi duduk atau jongkok. Urutannya yaitu selesai kencing, lakukan istibra’, dan istinja’ dengan air. Teknik ini amat bermanfaat dilakukan di pagi hari sesudah bangun tidur atau pada saat cuaca dingin di mana terjadi peningkatan volume air kencing, saat tak enak badan, dan sebelum berolahraga yang banyak melibatkan pergerakan otot-otot di bawah perut.

Langkah terakhir, apabila telah diusahakan namun tetap ragu ada sisa air kencing yang terasa keluar walaupun sedikit, cukup bersihkan sisa air kencing yang ada dengan betul-betul bersih misalnya dengan kain atau kertas tisu. Lalu, berwudhu pada setiap kali masuk waktu shalat atau setiap kali akan melakukan shalat. Kalaupun di saat shalat ada yang terasa keluar, hal itu tidak membatalkan shalat. Pasalnya, Allah tidak membebani seseorang di luar batas kemampuannya:

”Allah ingin memberikan kemudahan untuk kalian dan manusia tercipta dalam kondisi lemah.” (an-Nisa: 28).

Tambahan:
Jika setelah istibra' keluar cairan yang meragukan apakah air kencing atau bukan maka dianggap suci dan tidak membatalkan wudhu tetapi jika tidak istibra', maka dihukumi najis dan membatalkan wudhu'.

Jika kita tidak melakukan istibra’ dan kita yakin bahwa setelah beberapa waktu berlalu dari kita buang air kecil tidak ada air kencing yang tersisa di saluran kencing, lalu kita menemukan setetes cairan dan ragu apakah cairan itu adalah suci atau tidak, maka cairan tersebut adalah suci dan tidak membatalkan wudhu.

Tambahan:
Teknik lain adalah dengan melakukan gerakan seperti sedang ruku' sambil menampung tetes terakhir bila masih ada dari saluran kencing. Bisa ditampung dengan telapak tangan yang dirapatkan atau sehelai kertas tisu. Ini benar2 yakin, insya Allah sudah bersih.

Wallaahu a'lamu bisshawwab,

Sumber
Fiqh Sunnah, Sayyid Sabiq
http://aljawad.tripod.com/kajian/fiqih.htm
http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/16/cn/31711
http://www.brunet.bn/gov/mufti/irsyad/pelita/2003/ic12_2003.htm

6 comments:

  1. Assalamu'alaikum..

    Artikel yang bagus, ijin copas yah. Thanks.. Wassalamu'alaikum

    ReplyDelete
  2. Allah tidak ingin menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkanmu. (Al Maidah ayat : 6)

    ReplyDelete
  3. Assalamualaikum tolong ilmunya , apabila kita setelah shalat dan ternyata ada terkeluar cairan apakah pakaian yg terkena nya harus kita ganti untuk shalat selanjutnya ???

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya karena syarat sah shalat, salah satunya adalah harus suci pakaian...kecuali yg keluarnya air mani...itu suci...

      Delete
  4. Apakah cara diatas memang sunnah? tapi saya tahu di artikel lain kok bid'ah

    ReplyDelete
  5. Assalamuálaikum

    Iya ustadz. Saya baca artikel dan buku menghadapi was-was itu mengurut kemaluan termasuk bidáh. Padahal saya melakukannya, bukan karena was-was Ustadz tapi memang kondisi fisiologis saluran kencing pria memang begitu kan Ustadz.

    Ada dua sfinger/katup: Pertama, di ujung kandung kemih, yaitu sfingter interna dan Kedua, tepat di antara testis dan anus yaitu sfingter eksterna. Semakin lanjut usia, keduanya akan melemah terlebih bagi mereka yg kurang olahraga.

    Sedangkan proses keluarnya urin dipengaruhi keduanya dan didukung dengan gravitasi. Air jatuh ke bawah. Sehingga masuk akal apabila ada sisa setelah sfingter eksterna. Nah, ini kemudian jadi kontra dg pendapat yang mengatakan bahwa mengurut kemaluan adalah bidáh. Setelah sfingter eksterna ada uretra terluar yaitu yg ada di batang penis. Kondisi sisa inilah yang kemungkinan besar akan keluar sendiri/merembes karena dipengaruhi gaya gravitasi atau tekanan ketika beraktivitas atau karena tekanan pakaian dalam/celana.

    Akhirnya, saya jadi bingung mau mengurut atau tidak karena takut salah tapi dalam hati saya jadi gelisah karena hal itu. Kemudian, ada beberapa mahdzab yang mengatakan bahwa najis dikatakan najis dan perlu disucikan apabila memenuhi ukuran tertentu misalkan seukuran uang dirham. Jadi akhirnya saya bertanya2 selama ini antara hubungan ketiga hal ini: 1) kondisi fisiologis uretra pria (yg lebih panjang dan berbentuk lengkung), 2) pernyataan yg mengatakan mengurut kemaluan adalah bidáh dan 3) mahdzab mengenai ukuran najis

    Saya mohon pencerahannya ustadz. Terima kasih.

    ReplyDelete