Oct 14, 2010

Angkutan Kota Bukittinggi


Tak perlu panjang dikisahkan betapa bergantungnya kehidupan masyarakat di sekitar sini dengan angkot. Hampir semua aktifitas memerlukan angkot: ke pasar, bersekolah, ke warnet, pos, bank, makan di restoran, silaturahim... Di masa lalu angkot di Bukittinggi ini lebih dikenal dengan nama MERSI alias angkutan merapi singgalang yang sempat membentuk koperasi pula.

Angkot masuk desa menciptakan kebersamaan baru, baik antar penumpang maupun antara penumpang dan supir. Berbeda dengan angkutan umum di perkotaan dimana jumlah armada lebih banyak dan penumpang pun lebih ramai/beragam, angkot kelas pedesaan ini justru terasa lebih akrab dengan pemakai setianya, karena memang tidak banyak dan umumnya penumpangnya loe-lagi-loe-lagi (4L). Kadang jalinan hubungan tsb rapat bahkan amat rapat mgkn jadi disebabkan pelanggan setia yang selalu naik dari tempat yang sama dgn jadwal rutin setiap hari.
Di jalan desa umumnya hanya ada satu angkot dengan warna tertentu yang mondar-mandir sehingga penduduk lokal sudah amat hafal merah-kuning-biru-hijau angkotnya.
Saling berbagi cerita, tawa, kesal dan cemas antar mahluk-mahluk sosial di bawah atap angkot 1.5x3 meter persegi ini menjadi lumrah.

Supir yang pandai memikat hati penumpang bahkan sampai hafal kebiasaan penumpang. Ada ibu yang berbagi keriangan karena beroleh pisang raja seharga Rp 9000 saja dibandingkan "harga toeslag" lebaran yang biasa tiga kali lipatnya. Ada anak rewel tak mau diam meski dibujuk ibunya berubah menjadi anak yang berperilaku manis setelah ditegur "teman" baru sesama penumpang di angkot. Ada uda supir yang cukup prihatin sampai meminjamkan kain lap angkot nya (masih bersih lhoo kainnya) untuk membantu ibu yang kebingungan karena anak nya sedang kurang sehat muntah ringan di kursi belakang. Dan bahkan ada supir yang berhasil menikahi bunga desa di jalur angkotnya :-)

Kuota 7-5
Penumpang harus rela bersesak, untuk memenuhi kuota tsb, mengandalkan jari kaki, otot betis, paha, dan lengan untuk menjaga keseimbangan tubuh saat angkot berjalan meliuk-liuk atau merem mendadak. Luar biasa aturan ini bergeming hingga kini. Saat mahasiswa dulu, saya masih 55 kg dan mampu mengikuti aturan tsb. Namun kini di saat timbangan badan sudah naik 25% tetap saja saya terpaksa ikut kuota tsb :-( Belum lagi keikutsertaan bangku serep (tambahan) di dekat pintu masuk menambah uang masuk bagi angkot untuk 1-2 penumpang ekstra.

Ada supir yg amat peduli hingga mau mengantar penumpangnya ke suatu tempat di luar rute umumnya. Ada supir yang ringan tangan membantu mengangkatkan barang2 penumpangnya dari sebuah kedai di tepi jalan (yg ternyata seorang ibu pedagang) sehingga memenuhi 1/3 ruang penumpang. Namun tentu saja ada supir yang mengesalkan dengan kegigihannya ngetem (menunggu penumpang), menambah penumpang terus padahal sudah tak ada ruang kosong kecuali mau dipangku, mentransfer penumpang ke angkot lain karena jalanan di depan macet atau ada urusan lain, atau membawa angkot ugal-ugalan berkejaran dengan saingan.


The Merrier The Better
Terkadang angkot dimodifikasi sehingga terlihat cool atau berani dengan lampu sorot, dahsboard dan jok kulit imitasi warna mencolok, tambahan bumper yang begitu rendah hampir menyentuh aspal, pengeras suara besar yang meneriakkan musik hingar bingar meski sangat mengurangi ruang duduk penumpang, dan stiker sepenuh badan angkot untuk kepuasan penumpang yang melihat atau menaikinya. Gejala ini masih wajar di Bukittinggi bila dibandingkan di Padang yang aksesorisnya lebih heboh dan penumpang pilah-pilih angkot berdasar selera penampilan luar dan kedahsyatan stereo di dalam angkot ck..ck.. Tiga puluh tahun yang lalu, di saat aksesori lampu dan speaker adalah barang langka, angkot ini biasanya memiliki klakson dengan suara yang khas merdu alat musik.


Mengapa masih angkot, padahal jumlah orang semakin meningkat. Banyaknya angkot pun membuat sesak jalan krn mereka bebas ngetem sembarangan, ngebut dan berhenti tanpa aturan. Tapi lebar jalan masuk ke kampung2 memang pas seukuran angkot ini. Angkot tetap primadona untuk jarak dekat (kurang lebih 20 km), semacam mikrolet di Jakarta. Memang penumpang di negeri kita benar2 dimanjakan, mau naik atau turun pas di depan rumah pun bisa. Mungkin pesaing angkot ini di kampung hanyalah ojek dan sudah jelas angkot lebih murah dan bersahabat dengan cuaca. Kiranya pemerintah daerah belum punya solusi lain. Selama pusat perdagangan, pemerintahan, dan keramaian masih terpusat di satu tempat dan belum ada alternatif transport masal pedesaan semacam tram/MRT sudah pasti angkot akan tetap diperlukan hingga kapanpun.

2 comments:

  1. kalau backpacked ke bukit tinggi angkot boleh dijadikan pilihan untuk ke destinasi wisata???

    ReplyDelete
  2. Maaf baru saya lihat komennya. Backpacker asal jangan bawa terlalu banyak barang saja. Saran saya pelajari dulu rutenya (kota yg akan dituju), baru cari angkotnya.

    ReplyDelete