Tulisan ini berawal dari kunjungan kami ke rumah Nek Baya di hari lebaran kedua tahun ini. Beliau adalah saudara dari nenek dari jalur ibu di Paritlintang, usianya hampir 70 tahun, namun masih kuat bekerja di sawah. Ingatannya masih kuat dan lantang suara ataupun tawanya. Sudah hampir tiga generasi kehidupan yang dilalui membawa pelbagai pengalaman hidup.
Seusai makan sore-sebelum-malam hari itu kami merasakan betapa nikmatnya beroleh air jenih yang segar di kampung nenek ini. Maklumlah lima tahun di Singapura selalu minum air PUB yang sudah di RO, UV, dan dioplos bahan kimia lainnya. Air menderu di tiap waktu baik di dalam banda (selokan) ataupun di dalam pipa-pipa paralon (PVC) yang akan mencurah deras dari kran-kran air di rumah penduduk. Sepanjang perjalanannya dari mata air di desa Bula'an Gadang hingga mencapai tempat terendah nantinya di sekitar Pasar Padang Luar sana, air pun menyinggahi sawah/tabek (kolam ikan)/pancuran melalui banda (selokan) ataupun pematang sawah yang telah diatur pembagiannya oleh penduduk setempat secara musyawarah sejak dahulu kala. Mata air alami yang alhamdulillah tak pernah kering dan selalu jernih menyehatkan tanpa tambahan kaporit.
Namun sumber air di Bula'an Gadang itu kecil. Hanya cukup mengaliri desa-desa yang tak seberapa kebutuhannya selain untuk mengaliri sawah, tabek, dan kebutuhan harian penduduk di beberapa desa kecamatan Banuhampu di sekitaran Gunung Marapi dan Gunung Singgalang yang tak seberapa banyak. Memanfaatkan sifat air yang selalu mencari tempat yang lebih rendah, begitulah pada awalnya air tersebut dimanfaatkan, lewat banda, pancuran ataupun sumur.. Baru di awal 1990 an pemerintah (PDAM) bergotong royong dengan penduduk setempat memasang pipa-pipa paralon kecil untuk memudahkan distribusi air langsung ke keran air di dapur atau kamar mandi penduduk. Saya masih ingat -- bahkan sampai sekarang -- penduduk dapat mandi di pancuran (terutama anak2 kecil), melepas hajat kecil/besar di tandai (tandas yang biasa terletak di pinggir tabek dan air segar mengalir tanpa henti dari banda dan kembali masuk ke tabek), mencuci baju/piring di tabek, atapun berenang dengan senang hati. Semuanya bermula dari anugerah ilahi yang bernama air bersih. Meskipun dingin, sangat menyegarkan. Sebelum mandi rasanya malas sekali karena sudah terbayang dinginnya. Namun sekali air digayungkan ke atas kepala atau menampar punggung, hmm itulah shower-time ternikmat, tak ragu lagi untuk menggayung berkali-kali sampai puas basah kuyup ! Nikmatnya setelah mandi air dingin ini badan justru terasa hangat, siap beraktivitas tanpa jaket/sweater :-) Alhamdulillaah dinginnya masih cocok dengan tubuh, tidak sedramatis air musim dingin di negeri empat musim.
O.. begitu ceritanya, anggapan saya selama ini air Bula'an Gadang ini yang mengalir sampai ke kota. Nek Baya lalu menerangkan satu nama nagari (desa) yang sudah lama saya kenal yaitu Sungai Tanang. Mata air dari desa tsb menjadi salahsatu sumber air penduduk kota Bukittinggi. Nama Sungai Tanang tsb saya kenal lewat lagu yang biasa mengiringi tari payung yang populer di Sumatra Barat. Nenek melanjutkan bahwa di saat ia masih muda dulu (termasuk ortu, mamak, tante yg besar di kampuang) biasa jogging pagi ke sana. Udara segar dan pemandangan yang indah di pagi hari menjemput ramai pengunjung yang ingin berolah raga ke sana.
Babendi bendi …
Ka Sungai Tanang, amboi kanduang ei, ka Sungai Tanang …
Ka Sungai Tanang, amboi kanduang ei
Singgah lah mamatiak diak, singgah lah mamatiak kuntum lambayuang
Singgah lah mamatiak diak, singgah lah mamatiak kuntum lambayuang
(pengetahuan umum dari internet)
Sungai Tanang adalah nama sebuah desa di kaki Gunung Singgalang, tidak berapa jauh dari kota Bukit Tinggi. Dipinggir desa itu ada sebuah mata air besar, yang oleh pemerintah Hindia Belanda dulu dijadikan sumber air minum untuk penduduk kota Bukit Tinggi (1860). Dibuat bak penampungan di mata air itu, lalu dialirkan dengan pipa ke kota Bukit Tinggi dan ditampung di “Benteng” , yaitu suatu bukit kecil yang di zaman Belanda dulu dijadikan benteng oleh Tuan De Cock untuk mempertahankan kota dari serangan pasukan Paderi, (Fort de Cock). Karena lokasi itu ketinggian maka air minum dialirkan kerumah-rumah penduduk dengan gaya grafitasi.
Kelebihan air mata air di Sungai Tanang itu ditampung pada bagian bawahnya pada satu danau kecil, yang karena airnya jernih, juga dimanfaatkan sebagai kolam renang alamiah, sehingga Sungai Tanang ini juga terkenal sebagai salah satu tempat wisata disekitar Bukit Tinggi.
Satu gambaran alamiah ini, dimana ada sumber air jernih di Sungai Tanang yang dialirkan ke Bukit Tinggi sebagai sumber air minum bagi penduduknya, dijadikan sampiran pantun ini oleh penciptanya.
Janieh aienyo Sungai Tanang,
Minuman urang Bukik Tinggi.
Tuan kanduang
tadanga sanang,
Baolah tompang badan kami.
****
Nah di hari kelima bulan Syawal lalu kami berkesempatan mengunjungi tempat yang populer ini. Lokasinya tidak begitu jauh dari rumah, mungkin jika berjalan kaki melintasi sawah/ladang dapat dicapai dalam waktu kurang dari 45 menit. Kami mencapai tempat tsb menumpang Avanza hitam yang dikemudikan uda Guswardi (papi Ghina). Memang saat beliau bekerja di Bappeda sering mengunjungi desa-desa atau nagari di wilayah Kabupaten Agam. Tampak selama di perjalanan wilayah ini sudah pulih dari kerusakan gempa Maret 2007 lalu.
Tiba di nagari Sungai Tanang, yang masih berada di kecamatan Banuhampu ini, langsung tampak kolam besar atau danau yang luas dengan air yang menghijau dari kejauhan. Airnya beriak kecil saja tersapu angin dan banyak anak-anak dan orang dewasa duduk atau berdiri di pinggirnya. Sementara itu di tengah danau tampak satu perahu motor yang agak besar, beberapa buah sampan kecil yang didayung dua penumpang, dan perahu bebek (putih dan pink) yang dienjot dengan kaki untuk menggerakkannya. Tampak begitu damai, menyejukkan mata dan fikiran saat melihat pemandangan luas tsb.
Mobil terus menyusuri perlahan jalan di tepi kanan danau hingga akhirnya berhenti karena memang jalan sudah berkelok, tertahan bukit yang penuh dengan pohon2 bambu perkasa di depannya. Setelah diparkir kami lanjutkan perjalanan searah dengan bukit tsb, tak tampak orang lain mengikuti di jalan setapak itu. Kami hanya terdiri dari tiga orang dewasa, tiga remaja, dan tiga anak-anak, nekad menembus semak-semak rendah di sana sementara di atas tampak langit sore yang kurang cerah. Angin sepoi-sepoi bertiup agak basah karena Bukittinggi memang rajin hujan petang malam hari sejak akhir Ramadhan lalu.
Jalan setapak dengan semak belukar di kiri kanan tsb memang tidak nyaman dan tepatnya tidak aman apalagi kalau berjalan di malam hari. Di sebelah kanan kami bukit yang menjulang tinggi dengan batang-batang bambu besarnya, sementara di sebelah kiri adalah bekas kolam renang pacu yang kini sudah menjadi rawa berlumpur hitam tebal. Mengapa disebut "bekas" karena memang ini adalah kolam renang delapan jalur (8x50m) yang kini sudah dipenuhi tanaman air hijau berleher gemuk, bermahkota ungu, bergelar enceng gondok.
Selesai kolam renang pertama tadi kami melewati lagi satu kolam renang yang sepertinya menjadi tempat untuk lompat indah (?) atau tempat renang bersama. Situasinya sama menyedihkan -- sesak oleh semak belukar, ilalang, potongan2 bambu yang berserak, dan enceng gondok. Terbayang, siapa yang mau kesini lagi, apalagi malam hari. Yang pasti gelap dan horor karena kemungkinan dipatuk ular atau nyemplung ke lumpur pekat.
Di ujung jalan setapak (alhamdulillah setelah 100 meter dari awal kawasan "larangan" ini) tampak sebuah pos jaga beratap biru yang dikelilingi pagar besi setinggi satu meter yang juga berwarna biru PDAM. Jalan setapak itu buntu mentok di sana karena pagar tsb tergembok. Pos ini tampak sering juga dikunjungi karena cukup bersih di sekitarnya. Di dalam lingkungan pos jaga itu tampak sebuah kolam air kecil yang lagi-lagi berlumut hijau pekat mengapung di permukannya dan sebuah drum beton raksasa yang mencuat bagian atasnya di sebelah kolam air besar berlumut itu. Sepertinya di dalam drum raksasa itulah pompa hisap bertekanan tinggi menaikkan air dari sumber mata air di dalamnya dan kolam air tsb berfungsi sebagai bak kontrol. Tapi koq kesannya jauh dari sebuah instalasi air bersih ya ? Air besih dengan bonus lumut sih benerr :-( Saya berfikir positif saja toh air tsb disalurkan langsung dari sumber nya melalui pipa-pipa besar dan bukan dari kolam-kolam berlumut tadi. Hingga kini mata air Sungai Tanang hanya layak dikonsumsi sebagai air bersih dan bukan sebagai air minum tanpa diolah lebih dahulu.
Setelah melihat pos kontrol tadi kami berbalik arah 180 derajat kembali ke arah kami masuk tadi. Sejenak ambil-ambil foto -- yang percaya tak percaya -- diambil di sebuah instansi pengadaan air bersih terbesar di kotamadya yang telah setia memberikan airnya lebih dari satu abad ini. Alangkah sayangnya lokasi wisata yang pasti ramai dikunjungi orang saat masih jayanya dulu, kini hanya tinggal kenangan menanti uluran dana dari pemerintah untuk memolesnya lagi. Kami dengar dari nek Baya, di tahun 2000 lalu penduduk nagari ini mendemo kotamadya dengan memutuskan aliran air bersih ke kota. Demo bertujuan meminta pemda memberikan kompensasi materi terhadap air bersih yang telah dinikmatinya 90 liter per detik selama ini tanpa bayaran sepeser pun. Baru di tahun 2001 nagari ini menerima kompensasi Rp. 8 juta sebulannya. Uang tersebut digunakan untuk kepentingan umum seperti perbaikan jalan, mesjid/mushalla, dan kegiatan2 nagari.
Difikir2 berapalah nilai uang Rp. 8 juta sebulan atau kurang dari Rp. 100 juta setahun itu. Itupun digunakan untuk kepentingan nagari. Mungkin sedikit sekali atau memang tak ada bagian untuk melestarikan cagar wisata danau Sungai Tanang ini. Masyarakat sekitar berasumsi bahwa urusan merawat sumber mata air dan instalasinya itu adalah urusan PDAM. Tapi mungkin masyarakat tidak sadar bahwa jika lokasi wisata di sekitar sana bersih, ditata dengan baik, dan kolam renang diaktifkan kembali, pasti pemasukan kas nagari akan bergairah kembali. Uang dari karcis tanda masuk saja sudah menjadi penghasilan ekstra. Melihat kondisi saat ini memang perlu kerja keras untuk merenovasi kembali lokasi kolam renang tsb. Mungkin dana segar minimal Rp. 100 juta diperlukan untuk membersihkan lokasi dan mempersiapkan tempat tsb sebagai fasilitas wisata air kembali.
Karena membawa keponakan yang kecil-kecil, ingin juga membawa mereka wisata air di danau yang luas tsb, naik perahu motor tentunya seperti yg tampak di tengah danau kini. Kami berjalan mendekati loket karcis di sebuah bangunan yang tak terpakai lagi. Harga tiket Rp 2000 untuk dewasa dan setengah harga untuk anak-anak. Tak jelas juga apa definisi anak-anak di sini :-) Di sekeliling loket, di dekat tempat naik turun perahu, banyak orang duduk-duduk santai, sambil makan minum ringan, dan ... tampak sampah plastik makanan dan tusuk sate berserakan di tanah/lantai. Heran ... menjaga kebersihan saja susah padahal mereka sudah dapat duduk gratis di sana menikmati keindahan danau sore itu.
Perahu bermotor yang ditunggu pun tiba. Penumpang naik dengan beratur meski agak khawatir juga karena kami harus mengangkat anak-anak masuk ke dalamnya. Saat "berlabuh" itu perahu motor muatan 30 orang ini terus bergoyang-goyang mengikuti riak air. Maklumlah perahu kayu ini memang ringan sehingga tiap terjadi perubahan beban muatan karena ada orang naik akan membuatnya melenggok kiri ke kanan. Dengan membaca bismillaah kami mulai piknik mengelilingi danau ini :-)
Perahu berputar dua kali dengan kecepatan sedang-sedang saja. Memang kalau diukur dengan reservoir yang ada di dekat Bedok, danau ini mungkin hanya berukuran sepertiganya. Air yang beriak tenang menunjukkan danau ini cukup dalam. Tak tampak dasarnya mungkin karena lumut hijau yang cukup pekat memantulkan bayangannya ke permukaan air. Anak-anak tertawa riang sementara kami menikmati semilir angin di sekitar pukul lima sore itu.
Coba saja wali nagari atau pemerintah daerah dapat mengembangkan potensi wisata air ini dengan baik, atau paling kurang melestarikan (baca: merawat) apa yang sudah dibangun sejak dulu, pasti makin ramai lagi orang yang berkunjung ke sini. Namun begitulah kondisi saat ini: tak ada dana sehingga tak ada perawatan, sementara ada orang iseng tak bertanggung jawab yang suka merusak yg sudah ada, ironisnya tak ada yang merasa berkewajiban menegur. Tempat hiburan semacam ini "barang langka" sehingga pasti ramai orang yang akan datang. Ramainya pengunjung harus diantisipasi dengan profesional diantaranya: penyediaan tempat beristirahat yang aman sehingga pengunjung tidak membahayakan dirinya sendiri berdiri di dekat danau, tempat sampah yang memadai, loket karcis yang baik sehingga orang mau antri, kedai makanan yang teratur, edukasi terhadap pengunjung/warung/restoran tentang kebersihan dan keamanan, tenaga keamanan dan kebersihan yang memadai, armada perahu motor dan perahu2 main lainnya perlu ditambah, area parkir yang cukup, dll. Terakhir, tentunya diharapkan pemerintah daerah dapat membersihkan kolam renang yang sudah "terkubur" enceng gondok dan merapikan semak belukar di bukit yang mengelilingi objek wisata ini.
X september 2010 X
Sejarah dan berita Sungai Tanang dari internet:
Kab. Agam
Kabar Indonesia
Minang Forum
Padang Today
Forum Kaskus
No comments:
Post a Comment