Nov 14, 2010

Kamus Bahasa Melayu Nusantara

Ingat sinetron Sengsara Membawa Nikmat (SMN) dulu ... banget. Saya tak bakal lupa, zaman akhir tahun pertama kuliah S1. Nonton di Bandung, bintang wanitanya Dessy Ratnasari (DR) lagi. Wah klop dah ... ada juga rasa senang karena sama2 satu daerah saat itu [ge-er mode on]. Bedanya saya kuliah, sementara doi main sinetron bareng Sandy Nayoan alias si Midun yang jago silat yang menjadi tokoh sentral novel fiksi ini.

Tiba2 saja ingin menulis judul ini. Siang tadi pulang zuhur di Ansar, mampir di perpus dekat pasar karena dipaksa langit yang sudah rintik2 hujan. Benar saja baru bbrp menit di dalam perpus, hari hujan lebat. Spt biasa ritual masuk perpus, pertama kali memeriksa rak koleksi buku2 baru. Dapat satu buku pelajaran bahasa Arab karya penulis barat (Teach Yourself: Complete Arabic). Sayangnya buku ini tidak datang dengan Audio CD nya, jadinya belum tahu efektif atau tidak ya :-)

Lalu naik ke lantai dua, langsung ke koleksi buku Melayu. Awalnya sih niat mau tengok2 buku komputer, tapi sptnya tak ada koleksi baru. Nah saat masuk ke gudang buku koleksi Melayu ini, nemu nih novel asli SMN karya Tulis St Nan Sati, yang diterbitkan pertama kali setelah Soempah Pemoeda (1929). Buku yg saat itu saya pegang sudah masuk cetakan ke X (2006) dari Balai Pustaka. Kasihan juga nasib kesusastraan lama Indonesia ini, bayangkan roman yang terkenal begini hanya dicetak ulang 10 kali dalam 77 tahun. Mungkin lebih miris lagi kalau ingin tahu sekali cetak hanya berapa eksemplar hu...hu... Bandingkan dengan Ayat Ayat Cinta atau Laskar Pelangi yang bisa cetak ulang puluhan kali dalam usia bukunya yang kurang dari 10 tahun.

Begitulah Allah mengatur skenario di hari ahad siang tanpa surya ini. Dari jendela kaca tampak di luar hujan lebat, sementara perut juga minta diisi karena belum makan. Suratan di perpus saat itu, saya menemukan SMN yg seumur hidup memang baru baca sekarang, padahal tahun 1992 saya sudah pelototi sinetron enam episod nya di TVRI. Di masa2 itu, melupakan letih pulang kuliah, menunda tugas2 kuliah, demi menikmati layar kaca yang menghidupkan kisah si Midun, Kacak dan Halimah selama enam malam berturut-turut. Benar2 kenikmatan yg cukup berarti menyaksikan tayangan sinetron cantik yang diangkat dari buku karya anak negeri.

***

Namun saat membaca buku aslinya, bbrp kali saya temukan kosakata baru yang benar2 baru. Entah karena kosakata antik atau memang karena di Indonesiakan dari bahasa daerah asalnya si Midun. Padahal saya juga berasal dari Minang dan sudah sering membaca karya2 penulis dari Sumatra Barat semacam Abdul Moeis, Marah Rusli, Nur St Iskandar, Hamka dll. Di sinilah judul tulisan ini menyambung dengan isi tulisannya :-)

Ruang koleksi Melayu itu cukup penuh siang itu. Masa-masa ujian sekolah, perpus menjadi lebih ramai, dijadikan sebagai tempat2 anak belajar. Sptnya mereka sudah usia pelajar politeknik atau JC karena anak2 sd/smp sudah mulai libur. Mereka gelar tugas, buku, kertas2 dan laptop di meja2 yg ada. Tempat mereka kuasai termasuk ruangan ini. Ruangan yg mestinya banyak muka Melayu nya, justru kali ini (eh seringnya) ramai anak2 sekolah yg mengerjakan tugas. Nyaman banget sih: sejuk, tenang, dan terang suasananya. Kebetulan ada slot kosong di pojok kanan sofa, bersisian dengan rak kamus bahasa Melayu, saya segera ambil posisi itu. Awalnya saya merasa posisi itu kurang nyaman krn terpojok tapi ternyata itulah yang terbaik.

Saat mulai membaca dari halaman pertama, lanjut bbrp halaman berikutnya, sudah mulai saya rasakan adanya kata2 yang tidak dapat dipahami artinya. Ini ada contohnya di halaman 16:
Sesudah makan-minum maka diketengahkannyalah oleh Pak Midun syarat-syarat berguru ilmu silat, sebagaimana yang sudah dilazimkan orang di Minangkabau. Syarat berguru silat itu ialah: beras sesukat, kain putih sekabung, besi sekerat, uang serupiah, penjahit tujuh, dan sirih pinang selengkapnya.

Wah payah juga macam begini, mulailah mata iseng memandangi deretan kamus yg terdapat di rak sebelah kiri. Ada bbrp kamus bahasa Melayu dan bahasa Indonesia di sana, saya baca judulnya satu persatu. Ada yg tiga bahasa, empat bahasa, macam2 pengarang dan penerbit, terjemahan dari bahasa Indonesia, Arab, Inggris, Mandarin ke/dari bahasa Melayu. Dan tiba2 mata ini tertumpu pada satu buku kamus super tebal berwarna hijau muda, benar saja 3000 lebih halaman, tampak masih kinclong dalam sampul plastiknya, mgkn krn tak ada yang merasa perlu buka buku bantal berat ini. Dengan meregangkan otot biseps, saya pilih yg paling tebal ini, ada mungkin beratnya 3 kiloan. Terbitan dewan bahasa dan pustaka Brunei tahun 2003. Di antara penyusunnya ada dua atau tiga orang pakar bahasa dari Indonesia.

Kamus ini memang sakti mandraguna, power kata orang Melayu sini. Awalnya saya terka, isinya pasti mirip dengan KBBI Kamus Besar Bahasa Indonesia yg pertama kali beredar tahun 1998 (kini sudah edisi ketiga). Tapi nanti dulu, ternyata KBBI yg ada di sebelahnya tak memiliki semua kosakata apalagi beserta contoh pemakaiannya dari kata2 antik yg terdapat dalam karya pujangga angkatan Balai Pustaka tsb. Sementara itu, Kamus Bahasa Melayu Nusantara (KBMN) punya semua kata2 tsb ! KBMN tentu tak menampung kosakata yg dipakai bahasa SMS, bahasa alay, bahasa bencong dan bahasa2 chatting lainnya. Meskipun begitu, KBMN memiliki beberapa kata yang diberi inisial "bk" alias bahasa kasar, yg biasanya tergantung di negeri/daerah mana kata tsb dipakai.

Jika ada sanak saudara yg sedang studi bahasa sastra Indonesia kamus ini benar-benar recommended bersama dengan KBBI tentunya. Harganya tentu mahal tapi ini investasi berharga tak lapuk dipakai lima generasi sekalipun :-)


Sebagai mana dijelaskan di situs KBMN itu sendiri:
Buku ini merupakan bentuk usaha pengembangan bahasa Melayu, seperti dikatakan Haji Abdul Hakim bin Haji Mohd. Yassin, Pengarah Dewan Bahasa dan Pustaka Brunei. Jika orang Indonesia mendengar kata Melayu yang mengacu ke sebuah bahasa, umumnya yang terbayang adalah bahasa yang digunakan di Malaysia dan Brunei, atau di sebagian wilayah Pulau Sumatra. Kalaupun disangkutkan dengan bahasa Indonesia, itu adalah versi lamanya sebelum Sumpah Pemuda mengganti nama itu agar berbagai kalangan etnis yang waktu itu tengah membangun sebuah bangsa yang bernama Indonesia dapat lebih mudah menerimanya.

No comments:

Post a Comment