Mar 18, 2012

Live Alone or Feel Alone

Satu artikel yg dimuat TIME edisi 12 Maret 12 mencoba memprediksi sepuluh ide yg berpotensi mendominasi masyarakat dunia di masa datang. Salahsatu ide di dalam "10 ideas that are changing your life" tersebut adalah Living Alone is the New Norm by Eric Klinenberg (New York University). Profesor Erick, seorang ahli sosiologi, memulai tulisannya dengan pernyataan “The extraordinary rise of solitary living is the biggest social change that we've neglected to identify, let alone examine”. Baca terus pemaparannya.

Solitary dalam kamus didefinisikan sebagai hidup sendiri (single), tanpa pendamping, tak punya kawan, atau terisolasi dari manusia lain. Pada tahun 1950 an terdapat 4 juta warga AS yang hidup sendiri (9% dari total rumah tangga di AS) dan berdasarkan sensus tahun 2011 ternyata terdapat 33 juta warga AS yg memilih cara hidup ini (28% dari total rumah tangga di AS), sebuah peningkatan tiga kali lipat dalam kurun waktu 60 tahun. Angka itu baru rata-rata senegara dan lebih mencengangkan lagi jika dibaca hasil sensus di kota-kota besar Amerika yg mencatat lebih tinggi antara 50-60%. Kenyataan ini juga dialami negara-negara “beradab” dan maju lain seperti Rusia (25%), Canada (27%), Itali (29%), Jepang (31%), Inggris (34%), dan Swedia (47%). Kondisi inipun juga diduplikasi sukses di Singapura dengan porsi 31% wanita dan 43% pria yg masih membujang di usia 30-34 tahun.

Tapi tunggu sebentar, bung Erick bukan membayangkan manusia yg cenderung hidup menyepi menafikan dunia atau menjauhi manusia lain karena mengidap penyakit anti-sosial kurang gaul (introvert) atau menjadi rahib suci. Mereka  memilih gaya hidup ini semata-mata karena mereka tak ingin menikah dan memutuskan lebih baik hidup sendiri. Penghasilan lebih, karir mantap, dan otak yg cemerlang membuat generasi masa kini *mampu memilih* moda kehidupan sendiri (privacy) yang paling sesuai dengan hati dan fikirannya (personal space and personal control of one’s time and assets). Memang kesannya materialistis sekali saat golongan ini menuduh mereka yg menikah itu hanya krn faktor ekonomis ... hidup hemat krn semuanya bisa sharing (rumah dpt dicicil bersama, makan bersama, mobil bersama dll).

Gaya hidup bebas bukan barang diskusi baru. Sosiolog dan psikolog beradu argumen tentang baik buruknya.

  • Manusia yg tak memiliki kawan utk berbagi suka duka atau partner curhat yg menyediakan shoulder to cry on atau think solution adalah kondisi kejiwaan yg tidak sehat dan bahagia. Sikap menutup diri antar individu menjadikan masyarakat yg sakit krn kehilangan semangat kebersamaan. Ini pendapat mereka yg kontra.
  • Sementara mereka yg pro mengatakan belum ada data yg pasti akan kebenaran teori tsb. Yg lebih penting adalah kualitas dibandingkan kuantitas hubungan. John T. Cacioppo (social neuroscientist dari Univ Chigaco) berpendapat agar dibedakan antara Tinggal Sendiri (Live Alone) dan Merasa Sendiri (Feel Alone). Cacioppo mendasarkan teorinya dari banyak kasus pasangan yg hidup terpisah dan  akhirnya bercerai, yg diawali dengan pernyataan “there is nothing lonelier than living with the wrong person” ck..ck...

Darimana datanya
Bung Erick mewawancarai sekitar 300 responden yg memilih hidup sendiri dan berpendapat bahwa mereka bukanlah manusia yg kesepian. Malahan sebaliknya, pelaku gaya hidup lajang ini justru berpartisipasi aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial, melebihi mereka yg tinggal bersama partner atau keluarga. Kota-kota besar yg banyak didiami kaum lajang banyak menghasilkan karya seni budaya masyarakat yg menonjol. Para lajang memiliki pilihan utk hidup sendiri (solo) yg memberi mereka kebebasan berbuat apa saja, kapan saja, dengan cara apa saja, merdeka mengatur diri sendiri, dan kesempatan untuk mengaktualisasikan diri yg lebih terbuka (self realisation) di masa-masa produktif hingga hari tua. Hidup solo membebaskan seseorang dari ikatan/kewajiban terhadap partner domestik (suami/istri/anak/ortu) dan dapat fokus pada hobi dan kualitas diri tanpa sekat-sekat ruang/waktu.

Teknologi juga Pemicu
Saya berpendapat ada dua faktor lagi yg membuat opsi Tinggal Sendiri ini menjadi lebih mudah yaitu ketersediaan teknologi canggih dengan harga yg terjangkau dan hadirnya beragam jasa/layanan kreatif hari ini yg tak pernah terpikirkan di masa lampau. Teknologi membuat gaya hidup lajang lebih mudah. Hadirnya gadget semacam Microsoft Kinex, Nintendo Wii, Sony PS3 adalah salah tiga dari permainan interaktif dengan sensor gerakan tubuh yg dpt dihubungkan ke HDTV layar lebar yg dapat dinikmati sendiri atau beregu. Koneksi internet tersedia 24 jam pada genggaman Anda kemanapun, sementara hiburan, cafe, dan penyedia dugem siap sedia jika diperlukan. Bahan bacaan berupa buku atau tulisan di internet yg bercerita tentang alternatif hidup solo membuat orang berpikir bahwa mgkn cara ini membawa bahagia.

Harga properti yg meroket tiap tahun dan kejelian tenaga pemasaran developer properti menghasilkan unit-unit tempat tinggal yg dikustomisasi untuk para lajang: kondominium satu kamar tidur atau studio apartment adalah produknya. Tiga puluh tahun lalu siapa pernah mengira seseorang dapat senang hidup di kotak korek api berukuran kurang dari 30 meter persegi seorang diri ? O..ya layanan pemuas sudah hadir sejak dahulu kala dan makin tambah banyak variasi. Cover majalah TIME edisi 25-12-2006 sangat tepat menunjukkan bahwa fokus dunia abad informasi (teknologi, produk, jasa, hiburan) saat ini adalah Anda (It is You).


Perspektif Islam

Mengapa manusia makin menjauhi fitrahnya untuk hidup berpasang-pasangan (al Quran 36:36) ?

Agama samawi mengajarkan bahwa sebuah keluarga atau rumah tangga hanya dapat dibangun dengan niat tulus dan landasan kokoh yg diawali dengan pernikahan sepasang pria dan wanita. Ini syaratnya: suami dan istri yg sah. Lalu syarat tersebut dilanggar karena dianggap mengekang hak asasi sepasang manusia yg saling mencintai namun belum siap mematrinya dalam undang-undang. Maka dimulailah gaya hidup bersama tanpa ikatan (samen leven/kumpul kebo), sehingga di era 60-80 an dunia mengkhawatirkan banyaknya anak-anak yg lahir dari pasangan hidup bersama tanpa nikah. Sekuat apapun upaya manusia utk mendustakan fitrahnya maka ia tak akan mampu kecuali ia akan menyerah. Kumpul kebo ini bermasalah. Dua orang hidup satu atap hanya bermodalkan cinta, tanpa ikatan, dan tanggungjawab, lambat laun merasa tak sejalan, pertengkaran bukan barang baru, tertipu, dan kecewa. Secara fisik memang berdekatan namun hati mereka terpisah ribuan kilometer. They feel alone, being alone (terbiar). Dari pengalaman hidup tak mau disakiti atau menyakiti tsb, generasi baru memilih jalan kedua yg juga ekstrem yakni Tinggal Sendiri. Mereka ingin bebas mengekspresikan isi kepala dan jiwa tanpa batas hubungan kedekatan pasangan/keluarga. They argued that live alone is better than feel alone.

Sebagai muslim, kedua jalan hidup di atas adalah salah. Niat hidup bersama tanpa nikah atau niat  hidup membujang selamanya alias tak ingin menikah adalah mendustakan fitrah. Rasulullah Saw mengecam dgn peringatan yg luar biasa bahwa mereka yg tidak mau menggenapkan separuh dari agama ini adalah bukan bagian dari umatnya: "Nikah itu adalah sunnahku, maka barang siapa yang tidak mau mengikuti sunnahku dia bukan umatku.”(HR.Ibnu Majah)". Pembaca dapat membaca banyak tulisan di internet tentang larangan membujang (dalam Halal Haram ust Yusuf Qardhawi) dan keutamaan orang menikah (salahsatunya di sini).

Islam memerlukan generasi penerus dan selamanya sebuah negara pun akan selalu perlu orang-orang muda utk pembangunan. Sebuah artikel minggu lalu dari seorang kolumnis media David Brooks (New York Times 13-03-2012) memberi kutipan yg sungguh tepat menggambarkan kecemasan baru masa kini tsb. "For decades, people took dynamism and economic growth for granted and saw population growth as a problem. Now we’ve gone to the other extreme, and it’s clear that young people are the scarce resource."

Semoga kita dan anak keturunan kita dilindungi Allah Swt dari perilaku yg amat dibenci agama dan negara ini.


No comments:

Post a Comment