Dec 22, 2011

Bumi dan Biruni



Berterima kasih pada para segenap ilmuwan yg dgn gigih, tekun, dan lelahnya tak jemu membuka satu persatu tabir rahasia alam semesta raya. Sejak zaman ilmu pengetahuan berhasil dicatat di atas pelepah daun, kulit yg disamak, batu, kertas-kertas kerja yg menguning di seluruh perpustakaan di dunia, disuarakan scr lisan di kelas atau dimanapun, dituliskan di wikipedia, dicatat al-Guugli, atau justru langsung direkayasa menjadi hasil temuan yg kasat hingga hari ini. Ayat-ayat (tanda) keagungan Allah Swt di bumi dan di langit tak kan pernah selesai untuk dituliskan. Seandainya pohon-pohon di bumi diraut menjadi pena dan seluruh mata air tawar ditambah tujuh samudra di bumi dijadikan tinta (bahkan ditambah lagi yg serupa itu) belum selesai juga pencatatan itu (Qs Luqman 31:27, al-Kahfi 18:109). Sudah bertera-peta bytes data direkam di lumbung data magnetik/optik akan masih banyak lagi rahasia mahluk hidup di atas bumi yg belum diungkap. Itu baru di atas bumi ! Itu baru menyelidiki ciptaan Nya, apalagi mencari tahu ilmu Sang Maha Pencipta. Mungkin manusia memang harus berhenti sebelum rampung kesemuanya krn malaikat Israfil sudah tak sabar mencoba terompetnya.

Umat Islam wajib bersyukur dan bangga bahwa para ilmuwan muslim turut serta aktif dan bahkan memelopori puncak-puncak penemuan ilmu pengetahuan di masa silam hingga hari ini. Di segala bidang mulai dari yg berhubungan dengan tubuh manusia, hewan, tumbuhan, sains, bumi dan alam semesta, dll. Salahsatu nya adalah Abu Rayhan Biruni (973-1048M) yg melakukan perhitungan jari-jari bumi dengan presisi (meleset kurang dari 0.5% dari perhitungan kompleks masa kini). Biruni memanfaatkan nalarnya dan segala teori/pendekatan/alat apapun yg sudah diakui benar pada masa itu: misalnya aljabar dari ibn Musa al-Khwarizmi (770-840M), trigonometri dari Hipparcus (190-120BC M, diklaim sbg bapak trigonometri)   meskipun baru sejak al-Khawarizmi ilmu dan tabel trigonometri menjadi hal yg serius dikaji sejak tahun 830, dan tak ketinggalan piranti penting para astronom muslim berupa plat lingkaran kuningan (brass) Astrolobe yg memungkinkan perhitungan sudut secara tepat di masa itu.

Memakai astrolabe (sumber: BBC Tour, youtube)
Astrolabe menjadi alat terkenal di dunia Islam sebagai alat bantu akurat dalam pelayaran, menentukan arah kiblat, dan waktu shalat di suatu tempat dengan berpatokan pada sudut azimut di kaki langit dan bayangan matahari di tanah. Penggunaan matematik pada alat ini diperkenalkan oleh al-Battani (858 - 929M) yg secara cermat menurunkan persamaan dan tabel tangen (garis singgung, bayangan) yg akan terpakai nanti.

Ide dan perhitungan mencari radius Bumi

Mengukur tinggi gunung dengan dua sudut dan jarak
Biruni, pria kelahiran Turkmenistan ini, memulai dengan mengukur ketinggian sebuah gunung batu di dekatnya dengan bermodalkan astrolabe. Puncak gunung "diintip" dari posisi A1 dan A2 yg berjarak d meter diantara keduanya (catatan: x dipakai sebagai peubah bantu saja). Dengan bermodalkan dua sudut intip dan jarak, menggunakan hukum/tabel tangen sudut, maka ketinggian gunung h dapat dicari dengan mudah. Posisi gunung dan kedua lokasi tadi sengaja dipilih di daerah yg hampir sejajar dgn permukaan laut.

Mendaki gunung utk mendapat sudut yg tepat
Lalu ia menaiki gunung tsb dan astrolabe kembali digunakan untuk mengukur sudut jatuh (dip angle) dari tempatnya berdiri di puncak gunung (G) menatap lurus ke arah kaki langit (S). Terbayang juga letihnya mendaki gunung dengan memanggul piring kuningan tsb :-) Pada ilustrasi kasar bola bumi dan gunung di sebelah dapat dilihat ide jeniusnya memanfaatkan fakta matematis bahwa titik S adalah titik singgung garis GS dengan lingkaran, yg berarti sudut yg terbentuk antara GS dengan jari-jari bumi (R) adalah "persis" 90 derajat (siku-siku). Dengan asumsi bahwa OGS adalah segitiga siku-siku sempurna maka jari-jari R dapat ditemukan dengan memanfaatkan identitas trigonometri dan aljabar sederhana. Lengkap rekonstruksi kisahnya dpt dinikmati dari link video BBC di atas.


Ide sederhana dengan keakuratan jitu ! Apa rahasianya hingga galat nya kurang dari 0.5% ? Ia lakukan percobaan dan pengamatan berkali-kali hingga diperoleh hasil yg konsisten. Mungkin lokasi dan gunung yg dipilih pun tak hanya satu, dilakukan di beberapa waktu hingga diperoleh sudut jatuh (azimuth) di ufuk yg pas. Hari ini teknik spt ini pun dapat dipakai juga dengan peralatan digital yg lebih akurat. Biruni adalah ilmuwan, astronom, sejarawan dan penulis hebat bahkan mendapat pujian dari para ilmuwan abad 20.

Beliau memang tidak sezaman dgn paman Edwin Hubble  dgn modal teleskop berdiameter 2.5 m yg sanggup "mengantarkan" manusia (800+ tahun kemudian) utk melihat galaksi-galaksi lain di luar bimasakti. Namun kertas2 penemuan beliau amat berarti bagi kelanjutan kerja para ilmuwan dan astronom sesudah nya. Ilmuwan muslim hari ini menghasilkan penemuan di bidang iptek dan sains yg relatif lebih sedikit dibandingkan masa-masa keemasan itu. Peran di masa kini sebagian besar "digantikan" oleh ilmuwan non-muslim yg juga memiliki semangat keras untuk merampungkan pekerjaan rumah yg teramat banyak dan menantang ini. Bagi saya pribadi tak ada bedanya di kancah kejujuran bernama ilmu pengetahuan ini. Adalah skenario "grand design" dari Allah Swt yg mengizinkan semua hal ini terjadi sesuai seruan Nya dalam Qs ar-Rahman 55:33. Muslim menikmati (memanfaatkan) hasil penemuan sains iptek tsb, mempelajari, mengembangkan, seiring berkata "oh ... benarlah firman Allah tsb, baru sekarang ada pembuktiannya". Sesuatu yg mungkin tak terbayang atau dapat dicerna oleh nalar 1400 tahun yg silam. Sedangkan bagi umat dari keimanan lain, satu persatu mereka pun mulai menerima Islam sebagai keyakinannya yg baru.

Wisdom is the lost property of the Believer, so wherever he finds it, he has a right to it (HR abu Hurairah).

Lanjut dengan Biruni di sini dan menikmati pergumulan trigonometri di sini. Di wikipedia tsb tercatat hasil perhitungan radius bumi oleh Biruni adalah 6339.9 km, terpaut hanya 16.8 km dari perhitungan zaman modern !


No comments:

Post a Comment