Kenyataan semacam ini mudah dimengerti. Selama anak dan ortu punya visi yang sama tentang pendidikan. Selama anak tidak stress di push untuk memberikan hasil yg setimpal dengan kucuran dana dan perhatian yg telah diberikan tentu kesuksesan tak jauh dari impian.
Anak dari ortu yg kaya tentu punya banyak kesempatan. Gizi lebih baik, kesempatan beli buku tambahan, ikut les di luar jam sekolah, internet 24 jam, pembantu domestik yg siap antar jemput, menyediakan makanan, menyiapkan peralatan sekolah, sampai2 kalau perlu (dan biasanya) membawakan tas sekolah mereka. Pokoknya si anak tinggal belajar...belajar... ikut ekstrakurikuler, makan, tidur, semua kebutuhannya sudah dipenuhi. Kalau masih ada waktu lagi tutor dapat dipanggil ke rumah, ikut pelatihan aritmatik, NLP, otak tengah, makan omega-3/6/9, brainbooster lainnya :-)
Sobekan surat kabar 25 Januari 2011 ini menunjukkan statistik pendidikan orang tua dari anak-anak yg bersekolah di sekolah elite/top di Singapura dibandingkan dengan rekan-rekannya yang hanya mengenyam studi di sekolah kejiranan (sekolah yg disediakan pemerintah di lingkungan perumahan).
The data which was revealed by Minister Mentor Lee Kuan Yew on Monday, showed parents of students from the top schools largely had higher levels of education than the parents of students from the neighbourhood schools.
Namun perjuangan di sekolah top ini tentu rruaarr biasa juga. Saya pernah termasuk pesertanya :-) Lokasi sekolah yg jauh dari rumah sehingga harus berangkat pagi dan pulang telat, jam dan aturan sekolah yg ketat, tugas banyak, guru strict, persaingan, biaya ekstra ini-itu dll. Keluhan lain yg tak disadari pada awalnya, yaitu pergaulan dengan anak2 orang kaya. Jika itu sebuah pergaulan yg win-win, alhamdulillah. Namun sebaliknya jika ada anak2 yg sombong, membuat gank krn status sosialnya, peer pressure yg hebat yg membuat persaingan tak sehat, atau membebani ortu krn si anak tahu-tahu berubah gaya hidup krn tiba2 masuk lingkungan anak2 the-have.
Belum lagi kalau anak belum siap menerima "kekalahan" dan depresi. Maklum saja memasuki sekolah elite, artinya siap berlaga dengan kuda pacuan 2000cc ke atas. Seorang anak yg biasa jadi juara di SD nya, koq tahu2 keteteran di SMP elite. Seorang anak yg kehilangan semangat boleh jadi akan kehilangan motivasi dan di akhir pacuan justru terlempar sama sekali utk melanjutkan ke jenjang pendidikan selanjutnya, misal gagal masuk SMA favorit atau tak lulus masuk perguruan tinggi yg diincar. Ujung2 nya ortu juga stres atau malu krn prestasi anaknya tak jauh beda dengan anak2 tetangga yg sekolah di dekat rumah :-)
Sekolah elite. High Expectation, High Capital, High Rewards.
Mau ???
No comments:
Post a Comment