Memasuki awal bulan Agustus enam tahun yang lalu adalah hari-hari yang menguras stamina dan memacu adrenalin. Tiket pesawat dan Schengen visa sudah oK, dan dalam hitungan kurang dari 100 jam kami harus pergi meninggalkan Tumasik. Masa dua tahun tinggal di flat HDB lantai 4 blok 419 Tampines akan menjadi sebuah kenangan indah bulan-bulan pertama kami menjadi pengantin baru di pulau ini. Koper-koper besar telah penuh, kardus-kardus telah dibagi antara mana yang akan pulang ke Jakarta, menetap di Singapura, atau berangkat lebih dulu ke destinasi baru. Pamitan, lelang barang bekas, aktivitas titip menitip, membersihkan flat, dan melunaskan rekening listrik, air, telepon, dan sewa rumah adalah rutinitas beberapa hari itu. Ini belum termasuk survei mencari kamera digital, membeli sebuah notebook, dan menukar uang. Di malam terakhir sekitar enam orang kawan datang berkunjung untuk salam perpisahan dan menerima warisan barang-barang terakhir. Setelah kawan-kawan pulang, kami pun berangkat untuk menitipkan empat koper besar ke bandara (Left Baggages) agar esok pagi tak perlu berat-berat membawanya. Jam saat itu menunjukkan pukul 0030.
Pemilik flat kami sudah tua, encik H. Amin. Bersama menantu prianya encik Zaini mereka membantu kami berkemas. Mereka berdua adalah pemilik sewa yang baik dan membantu kami melewati masa sukar ini. Dini hari keberangkatan mereka mengantar kami ke terminal dua Changi dengan mobilnya. Bukan hanya serah terima kunci, tapi mereka menanti hingga kami dapat lepas dari check-in dan urusan bagasi yang cukup meletihkan, mengingat semalaman hanya tidur 3 jam saja. Overweight ! alhamdulillaah 73 kg boleh masuk bagasi plus jinjingan ke kabin pun yang tak kalah hebohnya. Namun kami terpaksa meninggalkan sekitar 10 kg kardus aksesori masak-memasak kepada encik Zaini dan meminta mereka untuk dapat memanfaatkannya. Padahal itu barang-barang berguna namun harus ditinggal karena terlampau mahal dendanya kalau dibawa. Waktu tak banyak dan kami harus segera menuju ke imigrasi dan ruang boarding. Oh … at last we made it, it was really tiring, alhamdulillaah sekali lega rasanya pada saat si gemuk pendek B777-300 benar-benar lepas landas di Minggu pagi yang cerah itu.
Enam tahun bukan waktu yang lama meski tidaklah sebentar. Mengenang sejenak hijrah meninggalkan Asia enam tahun empat belas hari yang lalu. Tepatnya Minggu 4 Agustus 08:25 (GMT+8), Thai Airways TG402 telah membawa nasib kami ke sebuah wilayah yang sama sekali asing -- budaya, bahasa, makanan, dan penduduknya -- empat belas jam penerbangan ke arah barat. Tubuh letih dan mengantuk, tertidur antara Singapura dan Bangkok setelah menghabiskan sarapan di pesawat pagi itu. Dua jam kemudian pesawat mendarat di bandara lama BKK (Don Muang) untuk ganti pesawat yang lebih besar. Waktu transit sekitar 3 jam cukup dipakai untuk mondar mandir sejenak di dalam bandara dan shalat jama' qashr Zuhur-Ashr. Tak lama kemudian kami pun sudah antri di belalai gajah memasuki B747-400 TG 924 antara BKK-MUC, antrian kali ini sudah banyak bule nya.
Di atas ketinggian 10000 meter dapat dilihat berbagai profil darat dan lautan di sela-sela awan. Paling mengesankan di atas gunung-gunung tandus dan padang pasir saat akan memasuki Timur Tengah. Nampak pula sebelumnya puncak-puncak Himalaya bersalju. Semua begitu jelas karena langit yang cerah dan pesawat terbang "mendahului" sang surya ke arah barat. Langit siang terus :-) Petualangan menegangkan baru benar-benar dirasakan saat pesawat mendekati tujuan, langit gelap dan badai di luar. Biarpun ini pesawat penumpang terbesar saat itu, namun di atas sana dia bukan lawanyang seimbang untuk kemurkaan cuaca. Pesawat beberapa kali terbanting karena perbedaan tekanan udara (turbulensi) dan ini berlangsung agak lama, Laa haula walaa quwwata illa billaahi. Ini pengalaman pertama digoyang dan dibanting sehebat ini. Alhamdulillaah akhirnya pengalaman [yang umum] di atas pegunungan Alpen ini berakhir, pesawat dapat mendarat mulus dengan sedikit oleng kiri-kanan dan disambut tepuk tangan riuh para penumpang :-)
Di sore itu, pada hari yang sama, setelah mengarungi setidaknya 10000 km, kami menapakkan kaki pertama kali di Flughafen München Franz Josef Strauß. Senja gerimis dengan suhu udara di luar di bawah 20 derajat Celcius. Jaket dan baju hangat masih di koper, badan pun masih terasa hangat karena baru keluar dari pesawat. Masih agak bingung di ruang kedatangan karena bandara nya terlihat amat sederhana dan papan2 petunjuk arah berlatar biru tua yang menyediakan info terlampau singkat. Tak nampak petugas bandara yang siap membantu penumpang seperti yang umum terlihat di Changi. Akhirnya tiba juga di antrian panjang imigrasi khusus warga asing (non-EU), cukup lama juga di sini karena mungkin faktor bahasa. Tidak semua orang yang datang ke Munich paham bahasa Jerman dan untuk berkomunikasi bahasa Inggris pun mereka tertatih-tatih. Alhamdulillaah datang giliran kami, petugas mencoba ramah meski masih tampak kaku. Tanya ini tanya itu, dan akhirnya surat sakti dari kantor membantu mempermudah segalanya. Menuju klaim bagasi dan pintu keluar pun, semuanya modal pe-de saja, karena memang minim petugas :-( Baru nampak petugas berseragam (macam polizei) di pintu pemeriksaan akhir sebelum keluar. Ini pun lolos mudah, maklum agak khawatir juga saat itu, karena peristiwa sembilan-sebelas masih belum berselang 1 tahun lamanya.
Di bandara kami dijemput oleh seorang Jerman dari agen relokasi Wohnref GmbH, Hr. Hatzistamatis, kini pria ini telah memiliki firma sendiri. Pria berperawakan tinggi dan bersuara berat mendekat dengan papan nama bertuliskan nama kami. Dengan ramah ia memperkenalkan diri dan mempersilakan kami menaiki Mercedez Benz C200 nya. Sepanjang jalan ia rajin bercerita dengan bahasa Inggris aksen Jerman. Masa-masa awal musim gugur yang tidak bersahabat. Jalan becek dan langit gelap mendung padahal masih pukul lima sore. Bandara MUC ini tidak terlampau jauh dari kota, hanya sekitar 28 km di timur laut pusat kota Munich, namun ada kesesakan di jalan tol yang membuat kami tiba sekitar 1 jam kemudian di our future appartment for the next 18 months.
[bersambung]
No comments:
Post a Comment