Sep 29, 2009

Budaya Memberi Tips

Tulisan ini pernah saya tampilkan di dua milis sekitar setahun yang lalu. Pada intinya apakah konsumen itu ikhlas memberikan tips karena rasa puas atau hanya karena terpaksa oleh keadaan. Teringat untuk menampilkan tulisan ini di blog setelah satu tahun berjalan.

Pulang lebaran kemarin ada beberapa kali saya memakai taksi untuk beberapa keperluan. Pertama kali saat tiba di Jakarta hari H-4, langsung kami menuju agen jasa Laks Transport di terminal 2-D bandara Sukarno-Hatta. Sejauh ini layanan taksi ini paling dapat diandalkan, harga ekonomis all-in dan pelayanan petugas di kaunter baik. Mereka klaim tarifnya paling murah dibandingkan jasa taksi serupa di bandara (seperti silver bird, golden bird, dll). Untuk wilayah rumah ortu kami di Cipinang masih masuk ring-1-Jakarta, jadi tarifnya Rp. 130 ribu bila memakai Avanza, 150 dengan Nissan Livina, atau 175 dengan Toyota Altis. Armada mobilnya baru dan bersih dengan supir yang taat peraturan dan ramah ! Tak perlu repot siapkan uang tol atau uang kecil karena sudah termasuk dalam tarif dan pembayaran langsung dilakukan di kaunter bandara, dapat memakai uang tunai/kartu debit/kartu kredit. Begitu mudah dan ekonomis.
Memberi tips bagi supir saat tiba di tujuan sudah lumrah karena puas dan diiringi ucapan terima kasih.

Pada kesempatan berikutnya kami panggil taksi (biasanya Bluebird group yang terkenal masih pakai tarif atas meski harga bbm sudah turun he..he..). Kadang pesan lewat telpon atau stop di jalan. Pelayanannya baik, supirnya hafal jalan, dan mobilnya terawat, ... namun ada satu cacat yang mungkin tidak dilakukan oleh tiap supirnya. Hal tersebut adalah "kepolosan" pak supir mengatakan "... maaf tak ada uang kembaliannya neeh". Lha setahu saya ini kan trik supir-supir taksi nakal dari armada taksi yang warna-warni itu ! Mengapa pihak pengelola taksi tidak mewajibkan supir2 tsb membawa pecahan Rp. 1000 dan Rp. 5000 (mungkin juga sekarang dengan Rp. 2000) setiap kali mereka memulai perjalanan (rit) ?. Selama ini kami masih dapat menerima jika uang kembalian masih dibawah Rp. 4999. Supir yang "baik" masih mau memberikan Rp. 2000 untuk kembalian yang seharusnya Rp. 3500 (sejauh ini belum pernah bertemu supir yang bela-belain cari kembalian pecahan Rp. 500). Tapi ada juga supir Bluebird yang bandel yang memaksa kita menerima uang kembali apa adanya, padahal kita sudah cari pecahan uang kecil agar bulat uang kembaliannya, misalnya ongkos Rp. 87000, kami bayar Rp 107000 agar uang kembalinya Rp. 20000. Pak supir ngotot mengembalikan Rp. 10000 dan mengambil selembar merah 100 ribu (artinya ia dapat ekstra Rp 3000).

Memang contoh di atas belum serusak kasus penumpang yang seharusnya membayar Rp 23 ribu tapi "terpaksa" bayar Rp. 40 ribu karena pak supir mengaku baru dapat satu penumpang dan ia hanya membawa uang Rp. 10 ribu untuk uang kembalian (sang penumpang menyerahkan selembar biru 50 ribu). Atau contoh lain dimana si penumpang merelakan uang ekstra yang berlipat-lipat ongkos taksinya karena pada saat itu ia hanya punya selembar seratus ribu :-( Apess... dan penumpang memang harus siap dengan uang pas !

Perlu diingat dengan menerapkan tarif atas, harga jasa taksi di Jakarta tidak lebih murah dibandingkan di Singapura dengan kualitas kenyamanan yang lebih baik ... dan uang kembali yang pas :-) Apa banyak penumpang merasa uang kembali di bawah Rp. 5000 itu layak diabaikan dan membuang-buang waktu menunggu pak supir mencarinya. Lha ini preseden buruk untuk membuat supir taksi memakai trik-trik yang sama di masa depan.

Ok, intinya saya masih bingung dengan "memberikan tips". Apa ini baik utk dibudayakan, berpahala karena termasuk sedekah, atau justru mengajarkan budaya mark-up service (uang pelicin) secara tak langsung utk sebuah jasa yang semestinya dilakukan.

Contoh-contoh lain:
(2) Biaya kurir/tukang pos/antar tiket
- Sudah tugas tukang pos untuk mengantar paket ke rumah, tapi si penerima memberi tips sbg uang lelah.
- Sudah ditulis dalam TOC bahwa servis kurir itu door-to-door tapi diberi tips kepada petugasnya.
- Sudah dijelaskan bahwa agen tiket menyediakan pengantaran tiket ke rumah gratis, tapi diberi uang rokok juga.

(3) Uang jasa
- Sudah jelas tidak ada biaya utk pengurusan bebas fiskal di bandara. Namun karena urusan kita terasa lancar dan mudah, tanpa banyak tanya ini itu (malah terkesan membantu), di akhir berita acara petugas pajak tsb kita beri tips.

(4) Pak ogah
- Perlu tidaknya pak ogah di persimpangan atau putaran arah ? Karena terbiasa, yah beri juga deh cepek.

(5) Parkir modern
- Meski sudah jelas bayar parkir secara elektronik di pintu keluar tapi tetap memberi Rp. 1000 untuk pak satpam yang sudah membantu kita masuk/keluar lajur parkir di dalam gedung. Padahal pak satpam nya tak minta lhoo ..

(6) Jalan rusak, sumbangan sukarela
- Ini tidak jelas dan atas inisiatif siapa ? Koq pengendara mobil dimintai bayaran untuk menikmati jalanan rusak. Biaya perbaikan jalan tentunya diperoleh dari pemerintah setempat dong :-)

Jika dicermati kasus demi kasus memang uang tips itu seringkali wajar apalagi jika diiringi keikhlasan maka insya Allah bernilai sedekah. Ada tips karena kita puas, karena pelayanannya ramah, karena kita merasa terbantu dan "sang penolong" tak berharap apa-apa, ada juga yang sudah otomatis tergerak untuk berbagi rezeki mengingat tarif jasa di negeri kita untuk para pekerja kerah biru ini masih amat rendah.

Bagi saya, tips diberikan tidak dengan terpaksa dan perlu diiringi lisan bahwa saya puas atau senang dengan jasa yang telah berikan (baik kepada supir, asisten parkir, petugas bebas fiskal, kurir dll). Intinya si pemberi jasa juga perlu tahu atas dasar apa ia menerima tips. Tentunya kita berharap si pemberi jasa akan dapat tetap melayani dengan baik di masa-masa datang dan bukannya hanya saat diberi tips saja.

Tindakan memberi tips yang tidak diiringi kesadaran si penerima dapat berakibat buruk yaitu terjadinya pemerasan secara halus atau turunnya kualitas pelayanan jika tidak ada uang tambahan. Lebih buruk lagi tindakan memberi tips yang "sengaja" dilakukan cukong atau preman yang ingin usaha/bisnisnya lancar. Tidak heran kalau kita masih melihat oknum/cukong yang mendapat "perlakuan istimewa" saat di bandara, kantor polisi, imigrasi, dan kantor2 pelayanan pemerintah lainnya. Cukong ini sudah menanamkan ranjau (kasarnya: menyuap para petugas) sehingga mereka terlena dan tidak tahu bahaya laten dari hal tsb. Koruptor dapat kabur dari penjara atau lolos ke luar negeri kan semua berawal dari "uang tips" yang berlebihan yang terkenal dengan nama sogok.

Contoh memberi tips terpaksa lain adalah pungli. Baik dilakukan oknum petugas ataupun yang dilakukan preman kampung atau terminal yang minta uang keamanan dari tiap supir mikrolet yang lewat di kampungnya atau supir bajaj/taksi yang mangkal di dekat supermarket yang ramai. Uang keamanan ini juga biasa dibayar pedagang kaki lima liar ataupun pengusaha resto/dugem resmi agar usaha mereka tidak diganggu. Besarnya tips tentu bervariasi tergantung kelas okunum/premannya. Sudah tak terkira banyaknya anak istri yang terpaksa nrimo dihidupi dengan rezeki yang tak berkah ini.

Nah dari contoh2 di lapangan tadi apakah wajar budaya memberi tips dilestarikan di negeri kita ? Amat disayangkan pada saat penerima jasa memberi tips ia tidak menegaskan alasan mengapa tips tsb diberikan dengan alasan/dampak yang sudah dikemukan di atas. Ini sama sekali tak ada niat utk pelit ya... Bedakan suap dengan tips dan tidak memberi tips dengan pelit :-)

Saya lihat di beberapa negara maju (terkecuali AS yang membiarkan budaya tips) tidak ada pelayan atau pemberi jasa yg menanti tips tadi. By default, mereka laksanakan tugas, kita tanda tangan (confirmed, approved sesuai berita acara, faktur) dan mereka segera pergi. Rasanya mereka ingin segera menyelesaikan pekerjaan berikutnya daripada membuang waktu beramah tamah dengan Anda apalagi menunggu tips. Jangan memulai memberikan tips di Jepang karena kita akan dianggap menghina si pemberi jasa.

Mungkin ini sebabnya POS Indonesia dan sejarah kurir semacam Titipan Kilat yang sudah berpuluh tahun usianya tertinggal jauh dari saudara2 mudanya di luar negeri spt Fedex, UPS, dll. Ini juga sebabnya mengapa penyedia jasa kendaraan umum mengeluh penerimaan mereka tergerus pungli setiap hari. Dan ini pula sebabnya para penanam modal asing merasa enggan masuk negeri ini jika mereka tidak mendapat kepastian hukum berusaha dan perlindungan keamanan dari pemerintah setempat. Kalau memang pengelola usaha merasa tarif jasa terlalu kecil maka naikkanlah biaya tsb dan lebihkan pendapatan untuk pekerja-pekerjanya. Jangan sampai si pelaksana (kurir, tukang cuci mobil, supir dll) membedakan pelayanan yang sudah disepakati harganya dari awal.

No comments:

Post a Comment