Sep 28, 2009

Sandal Jepit Putus

Cerita sendal jepit hilang atau tertukar di mesjid sudah biasa. Kejadian ini sudah semakin jarang terjadi terutama di mesjid/mushalla lingkungan kantor atau perumahan. Nah mudik lebaran kemarin ada kejadian yang menurut saya luar biasa, skenario nya jelas sudah ditulis Allah SWT bahwa transaksi amal tsb pasti berlaku, tak meleset sedetik ataupun selangkah pun.

Pagi itu kami baru pulang shalat Subuh berjamaah di mushalla depan rumah. Tak lebih dari 10 meter dari pagar rumah ke pagar mushalla. Seperti biasa ada beberapa jamaah yang baru pulang menunggu doa terakhir dari sang Imam shalat Subuh, berjalan santai beriringan sambil ngobrol ringan. Kalau tak salah ada lima orang termasuk Papa dan saya. Eh tiba-tiba salah seorang Bapak terhenti dan membungkuk melepas sandal jepitnya yang ternyata putus sebelah. Saat itu Papa menoleh ke kanan dan ikut berhenti.

Refleks ... Papa melepas sepasang sandal jepitnya di jalan dan langsung menawarkan kepada si Bapak yang sudah bertelanjang kaki menjinjing sandal jepit kiri putusnya dengan tangan.

Sandal jepit empuk biru yang dipakai Papa pun segera berpindah tangan. Sang Bapak tersenyum senang dan berterima kasih, sambil menanyakan "Pak, ini buat saya ?" dan Papa pun mengangguk .. "bawa saja". Subhanallaah, Superb ! Saat itu saya yang berjalan lebih dulu sudah hampir tiba di pintu pagar rumah dan hanya terkesima melihat kejadian yang amat cepat tsb. Tanpa basa-basi dan begitu ringkas prosesnya. Saya yakin benar proses kilat tsb tak akan dapat berlaku tanpa diiringi hati yang ikhlas dan tangan yang sudah terbiasa bersedekah.

Memang nilai nominal sendal jepit itu tak seberapa mungkin kurang dari 10 ribu rupiah saja, namun gerakan hati itulah yang menjadi pelajaran berharga pagi itu. Empati dan ikhlas memberi tanpa pamrih karena kejadian yang begitu nyata di depan mata.

Ingatan saya melayang pada saat kami berdesak-desakan pulang shalat berjamaah fardhu dari Masjidil Haram dua tahun yang lalu (1427H). Jamaah keluar mesjid membanjiri jalan2 depan mesjid di antara hotel-hotel dan kedai-kedai yang menjual berbagai kelontong dengan hingar bingar alunan qasidah, murattal, dan shalawat nya. Saya yang berjalan bersama Papa tak dapat berjalan secepat jamaah2 lain, harus berhati2 memilih celah yang tidak ramai dan dijejali orang2 yang mau mampir di kedai2 tsb. Belum lagi ada kaki lima yang menggelar dagangan seenaknya di pinggir jalan atau pengemis2 kecil profesional yang duduk berjejer di tengah jalan tanpa takut terinjak orang ramai.

Nah pada masa-masa itu mata yang awas, kekuatan kaki, dan kesabaran jelas modal utama menapaki 1.5 km menuju hotel Yamamah tempat kami menginap di Misfalah. Badan yang terdorong-dorong, terkena sikut-sikut kecil dari kiri kanan, atau berhenti mendadak karena ada rombongan lain dari arah berlawanan adalah kejadian biasa setiap pulang shalat fardhu. Memang kalau mau menunggu bisa pulang lebih telat lagi agar jalanan lebih sepi tapi kadang ada hal2 alami yang tak bisa menunggu terutama perut yang minta diisi atau tubuh letih yang perlu beristirahat karena sudah jalan ke mesjid satu dua jam sebelum Subuh untuk berqiyamul lail. Papa tak bisa menunggu lama karena perlu beristirahat dan menjaga kestabilan gula dalam darahnya. Bila dibiarkan terlalu rendah akan membuat keletihan yang luar biasa.

Di saat-saat genting menuju hotel itu sendal jepit putus (atau hampir putus) karena terinjak rombongan lain dari belakang adalah hal biasa. Tak terhitung berapa kali sendal kami terinjak, alhamdulillah tak semuanya berakibat putus. Namun herannya, sungguh heran, koq para calon haji atau hajjah ini begitu rendah rasa empati mereka. Ada yang hanya melongo saja menyadari ia menginjak sendal kami, atau meminta maaf ringan saja sambil berlalu cepat, atau ada yang sama sekali tak peduli dan bermimik marah mungkin karena dianggapnya kami menghalangi laju perjalanannya. Sendal putus artinya siap meneruskan perjalanan menuju hotel tanpa alas kaki (jangan coba2 di waktu zuhur/ashr ... melepuh boo) atau kalau beruntung dapat segera menemukan penjual sendal di dekat sana :-)

Nah dari dua contoh di atas saya belajar:

  • Kadang kesempatan beramal itu amat sempit waktu dan tempatnya, tidak dapat diduga bila Allah memberi kesempatan tsb di depan mata kita. Maukah dan mampukah kita merebutnya ? Jangan anggap enteng, ini perlu latihan sehingga menjadi terbiasa !
  • Tingkatkan rasa empati: senang melihat orang lain senang dan susah melihat orang lain susah.
  • Ingatlah ada orang lain di sekitar kita, jangan menzhalimi mereka baik tak sengaja apalagi sengaja.
Hmm ... memang kita umat Islam masih perlu belajar untuk berempati dan merebut peluang amal ini dimana saja. Hanya Allah yang dapat membalas amal-amal baik yang dilakukan. Amalan sendal jepit yang tak seberapa nilainya itu insya Allah dapat melindungi kaki-kaki kita dari panasnya hari perhitungan kelak di padang mahsyar dan membebaskan kita dari dasar neraka.

Rabbighfirli waliwalidayya warhamhuma kama rabbayani saghira. Amiin...

No comments:

Post a Comment