SETIAP menjelang Lebaran, kita selalu disibukkan oleh penentuan kapan tanggal 1 Syawal jatuh. Karena penanggalan Islam memakai sistem lunar, tanggal baru dihitung setiap terlihat munculnya bulan baru yang berbentuk sabit dan hanya muncul beberapa detik di atas cakrawala. Sederhana, tapi karena terdapat banyak pendapat tentang bagaimana menentukan bulan itu terlihat atau tidak, masalah jadi pelik.
Ada yang cukup dengan menghitungnya di atas kertas dengan bantuan ilmu falak (astronomi), ada yang mewajibkan melihat dengan mata telanjang. Sebagian menganggap seluruh bumi Lebaran jatuh pada hari yang sama, yang lain mengatakan pasti terjadi dua hari, karena menurut ilmu astronomi, perbedaan letak geografis menentukan terlihat atau tidaknya bulan sabit di cakrawala.
Biasanya, perdebatan ini diakhiri (meski belum tentu disepakati) dengan pengumuman dari Badan Hisab Rukyat Departemen Agama. ”Berdasarkan hisab dan rukyat yang kami lakukan, hilal telah tampak sekian derajat di atas ufuk, maka 1 Syawal jatuh pada esok hari,” demikian pengumuman itu.
Bagi kebanyakan orang, kalimat itu tampak rumit, agak susah dimengerti. Kalimat singkat itu penuh dengan jargon yang diserap dari bahasa Arab: hisab, rukyat, hilal, ufuk. Padahal kata-kata itu bisa diterjemahkan menjadi kalimat yang sederhana dan gampang dimengerti: ”Berdasarkan perhitungan dan penglihatan yang kami lakukan, bulan sabit telah tampak sekian derajat di atas cakrawala, maka 1 Syawal jatuh pada esok hari.”
Entah mengapa para ulama dan pemuka agama Islam mempertahankan kata-kata bahasa Arab yang tidak akrab bagi masyarakat itu dan mengapa mereka tidak menggunakan bahasa Indonesia yang lebih dimengerti. Jika memang tujuan pengumuman itu untuk mengumumkan sesuatu yang penting bagi umat, sistem komunikasi tentu bisa disampaikan dengan bahasa yang lebih sederhana agar bisa dipahami.
-- ini sebagian dari isi artikel dalam kolom Bahasa! ( Tempo edisi cetak 27/09/2009) oleh Qaris Tajudin di link ini
No comments:
Post a Comment