Jun 21, 2008

Menikmati liburan sebagai fotografer

Pulang kemarin ke kampuang nan jauah di mato setelah 2 tahun absen menghirup udara gunung Merapi dan Singgalang cukup melelahkan. Penyebab utamanya tentu karena jadwal yang padat dan masa yang singkat. Berpindah dari satu tempat ke tempat lain: mengunjungi keluarga dekat, wisata kuliner, anjangsana ke Aua, dan menyinggahi satu dua tempat wisata. Semua dalam waktu kurang dari 5 hari. Kalau sarana transportasi nya terjamin mungkin lebih nyaman, namun ini ada kalanya sepasang kaki atau sepasang roda (baca: ojek) adalah the best we can afford :-) Sebagai pengobat lelah, tentunya menikmati udara segar pegunungan dan pemandangan alam yang damai jauh dari hiruk pikuk kota.

Kembali ke judul, ternyata ada satu penyebab lain yang tanpa disadari ikut menguras stamina yaitu capek jadi tukang potret dadakan. Potret sana potret sini, hari panas, pasar yang sesak, rela jalan kaki demi menangkap objek dan pemandangan indah sepanjang jalan (ah keliru, memang tak ada kendaraan lain sehingga mengandalkan sepasang kaki dan ojek saja).


Menjadi pemotret sukarelawan

Memang tak mudah :-) Padahal hanya bermodalkan kamera digital kompak Canon A700 dengan mode di set to AUTO point-and-shoot, tinggal jepret. Tak pusing-pusing dengan pengaturan ajaib macam aperture, exposure, white balance, shutter speed, dynamic range, depth of field, ISO dll. Hasil jelek tinggal hapus. Dua modal utama adalah niat dan kekuatan batere AA. Selebihnya adalah petuah turun temurun bapak pada anaknya semacam: tangan tak boleh gemetar, cahaya cukup, tekan tombol jepret (shutter release button) setengah dulu sebelum tekan penuh, jangan menantang matahari, menghindari flash untuk hasil alami dalam ruangan, dan tahu cara memakai pewaktu (self timer) untuk foto bareng. Apalagi dengan adanya layar LCD 2.5" tempat mengamati objek sebelum dipotret, pasti amat membantu.
Bayangkan kalau harus bawa "persenjataan" macam kaki tiga (tripod), DSLR pro yang punya badan setengah kiloan lebih beratnya, beberapa tabung lensa dari yang wideangle sampai yg tele, baterai cadangan, lampu flash tambahan, ... Terus diimbangi dengan liuk-liuk tubuh untuk mencari sudut jepret yang tepat, mengamati objek untuk mencari komposisi yang pas, atau menanti saat yang tepat untuk memotret momen tertentu. Wah ... kebayang deh ribet :-) Belum lagi tentengan yang berat akan membuat mandi keringat.


Dokumentasi ?

Kadang saya berfikir jjs ini kan sekali-sekali dan bukan tiap kali berkunjung ke tempat yg sama. Dokumentasi memang perlu, tapi apa harus menyita kebahagiaan menikmati liburan keluarga ini. Kadang sejarah atau hikmah dibalik objek yang difoto itu justru lebih penting untuk direnungkan.

Nah kalau begitu mana ada waktu untuk menikmati jjs yang singkat tsb. Apalagi istri atau anak juga minta perhatian, sementara objek dan pemandangan justru terasa lebih indah dinikmati dengan mata telanjang dan bukan mata kamera. Ada lagi yang konyol sementara lambung sudah menggebu-gebu minta diisi nasi kapau yang hangat dan nikmat eh ... ada objek menarik untuk diabadikan :-( Si pemotret akhirnya sudah tak bisa fokus pada ritual kuliner yang wajib dinikmati. Pulang jjs pun udah tak inget lagi, tadi di sepanjang jalan objek apa saja yg dilihat, apa sejarahnya, apa keistimewaannya dll, eh ini mah kalau jadi antropolog yah ...


Nah bagaimana baiknya?

Buat saya yang tidak menjadikan fotografi sebagai hobi atau sarana mencari nafkah (hingga saat ini) maka satu kamera kompak A700 saja sudah cukup. Kamera ini ringan disandang (kurang dari 300 gram) dan pasti boleh dibawa masuk ke kabin pesawat. A700 cukup kaya dengan berbagai pengaturan manual dan hasil foto-fotonya bagus. Tinggal meluangkan waktu untuk berlatih dengan membaca buku petunjuk atau baca-baca di internet sehingga terasa kelebihan kamera ini dibandingkan produk Taiwan yang lebih sederhana atau HP yang dilengkapi kamera.

  1. Tema perjalanan: liburan keluarga atau berburu foto.
    Artinya prioritas adalah menemani keluarga dan menikmati momen penting bersama mereka tanpa harus menghabiskan waktu mencari objek foto.
  2. Sisihkan waktu khusus.
    Beri tahu istri, anak-anak, atau keluarga sehingga mereka tidak menunggu atau "kehilangan" sang pemotret.
  3. Abadikan objek secara alami dan tidak harus objek selalu berada dalam posisi siap difoto (cheese smile or pose).
  4. Kamera selalu siap dengan batere dan kapasitas memori yang cukup.
  5. Pelajari manual dan berlatih memakai kamera, sehingga diperoleh hasil yang lebih memukau dengan setting yang tepat. Momen unik kadang hanya datang sekali dan tak ada waktu banyak untuk mencoba-coba.

Kadang-kadang mendelegasikan orang lain untuk mengambil foto atau minta tolong pada turis lain untuk mengabadikan foto keluarga jelas besar manfaatnya. Inilah kesempatan buat sang pemotret menikmati saat-saat menjadi subjek potret :-)

I am just a volunteer traveling snapshooter
1-6 Mai 2008

No comments:

Post a Comment