Mobil murah (morah) biasanya didesain kecil dan ringan. Kecil artinya mobil ini diharapkan lincah bermanuver dan mengurangi kemacetan. Ringan adalah salahsatu faktor hemat bahan bakar karena energi yang diperlukan membawa bobot mobil akan berkurang. Morah paling murah bermesin dua silinder 623 cc, dengan bobot kosong 1/2 ton, dan konsumsi bensin 1L untuk 21 km (50 mpg = mile per gallon). Pasar morah di Asia didominasi Tata Nano di India (USD 2500) dan Chery QQ3 di Cina (USD 5000). Namun apa benar semangat morah ini sejalan dengan tujuan penghematan BBM secara nasional ? secara global ?
Kita lihat dulu kampanye pemasarannya. Kalau target para penjual adalah para karyawan, pengusaha kecil atau mahasiswa yang tadinya hanya mengandalkan sepeda roda dua, sepeda motor, kendaraan umum, atau modal betis saja maka tujuan mulia tadi pasti salah arah. Memang harganya murah sehingga terjangkau ramai konsumen namun lihat kesesakan yang ditimbulkan di jalan-jalan apabila calon pembeli yang potensial ini berlomba-lomba ambil kredit untuk beli morah ? Tadinya cukup 2 liter premium untuk motor bebek berlari sejauh 200 km atau 5 liter solar untuk dipakai rame-rame (saat menumpang bus, metromini, atau KRD) menempuh 20 km, nah sekarang konsumsi BBM jauh meningkat karena morah dipakai sendiri (2L hanya dapat 45 km) atau kadang-kadang berempat dengan keluarga. Apalagi kalau tujuan perjalanan hanya untuk jarak dekat dan banyak menempuh jalan-jalan tikus, jelas sepeda motor lebih hemat dan terhindar dari macet.
Tujuan penghematan global pelan-pelan akan tercapai apabila justru orang kaya dan motorist yang biasa atau suka menggunakan MPV, SUV, atau sedan bervolume mesin (CC) besar dengan 4 atau 6 slinder - untuk bekerja, belanja, atau mengantar anak sekolah - bersedia diajak menukar kendaraannya dengan morah. Macet dalam kota jauh berkurang, pemborosan BBM akan minimal, panas mesin yang terbuang sia-sia ke sekitar akan berkurang, dan kualitas udara lebih baik karena lebih sedikit CO2. Sebagai informasi Nano mengkonsumsi 50 mpg bensin, lulus standar emisi EURO III, dan membuang 30 gram CO2 per km ke alam (hanya 20% dari rata-rata sedan buatan Eropa).
Bagaimanapun morah bukan solusi terbaik penghematan BBM. Pertumbuhan morah tanpa diiringi penurunan jumlah kendaraan roda empat adalah mimpi buruk karena kerugian materil (uang, sumber daya alam, kualitas udara) dan non-materil lain (letih, waktu, silaturahim, stres dll) akan makin buruk. Kondisi ini menjadi lebih parah bila mayoritas pemilik morah berfikiran untuk mengganti morah nya setelah beberapa tahun dengan mobil yang lebih besar. Tak terbayang sepuluh tahun mendatang saat morah membanjiri India, Cina, Amerika Selatan, dan Brazil sebagai pengganti sepeda motor atau scotter ! Solusi jangka panjang bagi negara-negara membangun jelas dengan meningkatkan transportasi publik.
No comments:
Post a Comment