Tulisan ini berasal dari diskusi di milis Smandel90. Sebuah thread terpanjang yg pernah kami diskusikan. Diawali posting mengenai peringkat SMU8 dalam UN 2010 dan 2011 diantara SMU negeri dan swasta di Jakarta, lalu melebar ke isu SANGAT mahalnya Smandel kini.
|
Sedikit latar belakang ...
Menurut SNP (standar nasional pendidikan) yg diatur dalam PP 19/2005 pasal 11 dan 16, pendidikan menengah SMP/SMU negeri memilik beberapa wajah diantaranya RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional), SBI (Sekolah Bertaraf Internasional), SSN (Sekolah Standar Nasional), dan SP (Sekolah Potensial). Lalu ada dua tipe sekolah yg tidak merupakan tanggung jawab pemerintah spt sekolah franchisee asing dan sekolah asing (internasional) dimana lulusannya dapat mengantongi ijazah yg diakui di luar negeri spt Cambridge, Internasional Baccalaureate (IB). Empat jenis sekolah pemerintah memiliki hak pendanaan dari APBD/APBN, dan khusus RSBI/SBI berhak juga memungut iuran dari siswa krn statusnya tsb. Sekolah asing jelas MUAAHHAAL, krn mereka harus berdikari tanpa subsidi, sehingga tahu diri saja utk mengukur kedalaman dompet sebelum mendaftar :-)
Prakteknya
Biaya masuk sekolah pemerintah koq ikutan mahal, naik tiap tahun dgn alasan klasik inflasi atau subsidi direduksi, terutama bagi SSN/RSBI. RSBI/SSN beda dengan SP krn beberapa mata pelajaran yg dibawakan secara bilingual (bili). Ini artinya guru2 harus mampu berbahasa asing dan buku2 pelajarannya pun beda dalam mata pelajaran tsb. Entah dalam prakteknya bili itu benar dijalankan atau dinegosiasikan antara guru/murid mana yg lebih mudah. Tokh lembar ujian akhir, UN dan SNMPTN, tetap berbahasa ibu. Status tertinggi (SBI) sukar digapai krn harus memiliki diantaranya jumlah minimum guru yg bergelar S2/S3, lab/perpus lengkap, memenuhi sertifikasi tertentu, aktif ikut kompetisi/lomba dalam/luar negeri, dan lulusan yg punya rata-rata UN SMU wah 8.0.
Mengapa siswa harus membayar mahal di sekolah PEMERINTAH yang bagus ?Bukankah pada awalnya sekolah-sekolah tsb berstatus sama, sekolah dibangun dengan memperkirakan kebutuhan suatu wilayah dengan potensi jumlah siswa di sana. Peningkatan kualitas pengajar, manajemen, dan fasilitas sekolah jelas akan membuat biaya operasional menjulang. Bilamana ada peningkatan ke status khusus bagi dua tiga sekolah (baca: harga premium) maka pemerintah wajib membangun dua tiga sekolah status potensial/standar (SP) untuk menampung mereka yang biasa-biasa saja di wilayah tsb. (Sounds very difficult, doesn't it). Hari ini sekolah mandiri turut mencari biaya sendiri dan menjustifikasi anggaran tsb kepada komite sekolah dan orang tua siswa baru, dengan alasan krn sekolah memiliki fasilitas lab modern, perpus lengkap, internet, kelas ber-AC, ada program pertukaran pelajar ke LN, dll. Namun apakah setiap siswa memerlukan hal-hal ekstra tsb? Di kepala mayoritas siswa mereka hanya ingin: lulus SMP masuk SMU dan lulus SMU masuk PTN dengan nilai baik dan biaya terjangkau. Titik.
Dibandingkan masa saya dahoeloe
USD hari ini 5x lipat lebih mahal dibandingkan zaman saya masih sekolah di SMA palem tujuh setengah (ini sudah saya mark up he..he.). Berarti uang sekolah idealnya hanyalah Rp. 50rb per bulan, uang masuk Rp. 500,000 sekali (spp kami dulu Rp. 5000, pomg Rp. 5000 dan uang masuk lupa mgkn tak lebih dari lima puluh ribu). Buku, seragam, beli sendiri tan tak ada uang-uang lain. Anggaplah utk merasakan fasilitas canggih yg ada saat ini (dan tak ada masa saya dahoeloe) perlu markup 3x nya, berarti uang sekolah *hanya* Rp 150 rb per bulan (all-inclusive). Tapi sekarang, berapa SPP anak Smandel ? Di bagian pertama tulisan saya, bertemu angka SPP 700 rb rupiah sebulan, dengan asumsi gaji guru/pegawai di sekolah tsb ditanggung semuanya oleh siswa.
Ebtanas (UN) dan ujian masuk PTN itu dari dulu soalnya begitu-begitu saja. Nggak tambah susah !
Mengapa siswa sekarang harus belajar ekstra keras dari guru-guru bertaraf S2/S3 utk jebol PTN saja ? Guru-guru kami lulusan D3 Uni atau IKIP saja dulu, input bagus, outputnya bagus.
Mau ndapetin beasiswa dalam atau luar negeri jalurnya masih itu-itu saja.
Seleksi administratif, tes tulis, wawancara ...
Mau ndapetin TOEFL/IELTS tinggi, silakan ikut kursus di luar sekolah.
Saya yakin tak ada ortu atau siswa yg pede, hanya dengan ikut belajar bahasa Inggris di sekolah ssn/rsbi/sbi/ yg sudah bili itu, YAKIN bahwa toefl anaknya tembus 600. Pasti tuh anak masih disuruh lagi kursus di luar. Saya yakin bisnis bimbel-bimbel yg muaaahhhalll itu, PASTI isinya siswa-siswi dari sekolah unggulan yang mahal ini juga.
Mengapa ??? Jelas, krn ortu punya uang dan ortu tak mau setengah-setengah ...
MALU kan sudah sekolah di SMU unggulan, masa' ITB/UI aja kagak jebol !
Akhirnya siswa dipaksa ikut masuk Bta/Ssc/Primagama dll.
Belum lagi ada ortu yg paranoid, nggak pede dengan kemampuan sang anak yg sudah diasih-asah-asuh di sekolah top plus les dgn guru plus bimbel mendorong anaknya masuk PTN lewat jalur mandiri yg sumbangan sukarela nya kelas pertamax-plus mahalnya. Masuk ITB jalur "rakyat jelata" saja sudah Rp. 55 jt, lha ini pakai jalur advance seat booking dgn Rp. 250 jt.
Institusi pendidikan top jeli memanfaatkan peluang ini. Win-win menurut saya, orang kaya senang krn anaknya masuk sekolah yg diinginkan, institusi pendidikan pun dapat dana segar utk subsidi silang :-)
[bersambung ke bagian :3:]
[ingin kembali ke bagian :1:]
No comments:
Post a Comment