Aug 8, 2011

Mengapa Smandel Harus Mahal (3)


Tulisan ini berasal dari diskusi di milis Smandel90.  Sebuah thread terpanjang yg pernah kami diskusikan. Diawali posting mengenai peringkat SMU8 dalam UN 2010 dan 2011 diantara SMU  negeri dan swasta di Jakarta, lalu melebar ke isu SANGAT mahalnya Smandel kini.

Mungkin pendapat saya 88% salah.
Mungkin dgn INFLASI NILAI saat ini (bayangkan untuk masuk smandel saja perlu nilai UN rata-rata 9 koma sekian, saya dulu punya NEM delapan lebih setengah saja sudah mantap insya Allah masuk delapan),  calon siswa, ortu, dan guru harus berfikir keras bagaimana caranya agar kertas ujian si anak bisa ndapetin nilai minimal 9.5 per bidang studi. Mau cara jujur, bocoran kunci, atau contek massal, saya tak mau komentar. Tujuannya satu, menara gading sekolah favorit !

Akibatnya nilai tak murni lagi. Sehingga harus ada tes masuk khusus lagi,  potensi akademik lah namanya, tes bahasa inggris, dll.

Utk menikmati sekolah favorit calon siswa tidak hanya perlu pintar, namun beruang. Membayar mahal uang AC, uang perpus, uang lab, uang jalan-jalan atau pertukaran pelajar ke luar negeri dll. It doesn't make sense at all !  Anggaplah suhu rata-rata Jakarta sekarang naik 5 derajat celcius dibanding saya sekolah dulu ... Yah tinggal pasang ceiling fan 5 buah lagi di kelas he..he.. bukan beli AC yg mahal rekening listriknya itu.

But anyway ....
Ini salahsatu email fakta dari kawan di milis kami:

>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>

tahun ini anak saya yg pertama diterima di salah satu sman rsbi.. yg ini saya blm bisa komen krn belum ada pertemuan ortu-guru-komite sekolah utk mbahas segala sesuatunya termasuk uang pangkal, namun dlm wawancara ortu seblm anak saya sah diterima di sma ini, dibicarakan bahwa uang pangkal sekitar 12,5 juta rupiah (pasti bukan smandel dunk ya krn keknya taripnya jauh di bawah smandel, hehe).. harapannya siy masih bisa nego.. :D, SPP 350 ribu/ bulan, biaya utk buku sekitar Rp 700 ribu - 1 juta, kondisi fisik perpus bagus, kelas ber AC, ada program pertukaran pelajar ke luar negri dgn ongkos sendiri (Singapur kabarnya sdh tdk menerima program pertukaran pelajar ini lagi) & kalo keadaan sekolah sehari2 kata anak saya siy biasa aja, ga kepake juga istilah 'internasional'nya (baca: pengantar bahasa inggrisnya dlm penyampaian materi pelajaran).. ada bagus juga siy, anak saya pan gak jago bhs inggrisnya, ntar malah ga ngerti pelajarannya, hehehe

tahun ini pula anak ke dua saya diterima di salah satu SMPN SSN (full gratis),kecuali.. (mohon baca kisah selanjutnya ya..)

di sini anak saya masuk kelas bilingual (ada 2 kelas bilingual, 1 kelas max 24 orang) yg sebelumnya ada tes nya terlebih dahulu.. btw setelah masa MOS berakhir, selain kelas bili seluruh siswa di tes TPA lagi (kalau saya sih membacanya bahwa hal ini adlh sebagai bentuk ke-"tidak percayaan" pihak sekolah thd hasil UN.. UN bocor massal itu sudah rahasia umum ya.. harap maklum & sabar buat ortu yg anak2nya lolos UN dgn hasil belajar keras & jujur)

Kelas Bili ini ga gratis & dari hasil rembugan ortu dgn ortu pengurus kls bili (angkatan kakak kelas), disepakati bhw uang pangkal Rp 3 juta utk 3 tahun yg digunakan utk membeli AC, meja kursi kls bili/rsbi standar pemerintah, membayar honor guru native, merenov ruang kelas, karyawisata dll. SPP Rp 300 ribu/ bulan utk pengeluaran rutin seperti honor para guru ygmengajar di kls bili, biaya pemakaian listrik, pendalaman materi, dll


<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<


Sepertinya saya akan dianggap orang aneh ...
Dianggap melawan arus ...
Loe jual, gw beli ...
Ortu punya dana. Ortu siswa smandel sekarang amat mungkin alumni smandel 25+ tahun yg lalu, dan kini sudah sukses :-)
Kenyataannya di Jakarta (dan kota-kota besar di negara maju) memang begitu :-)
Bahkan di Amerika pun muncul "kesadaran" akan mahalnya pendidikan ini yg disebut education scam atau college conspiracy. Sebuah pengalaman sistem pendidikan di US yang membuat seorang calon siswa begitu mudah mendapatkan pinjaman uang dari bank utk sekolah yg kemudian ia harus bayar lewat cicilan setelah bekerja (plus bunga tentunya) selama bertahun-tahun.

Mau daftar ke mana lagi ?

Ke Bandung, masuk SMA3 Jalan Belitung juga udah 20 jeti, ke Taruna Nusantara di Magelang perlu 30 jeti (dan pisah sama ortu lagi) he..he..
Anak-anak yg awalnya hanya perlu bayar 2 jeti uang pangkal utk masuk ITB, sekarang harus bayar 20 jeti.
Padahal anak-anak nya yach "dia-dia" juga, sudah memang bibit unggul, mau bayar 2 jeti, 20 jeti, atau 200 jeti, tetap bakal masuk ITB !

Saya tak setuju bahwa calon siswa dan ortunya harus *tahu diri* dalam mencari sekolah. Lho  di sini masalahnya adalah jumlah sekolah *biasa* yang sudah berkurang krn beberapa diantaranya naik status. Mirip ceritanya dengan bus-bus reguler di Jakarta yg makin langka krn "saudaranya" diupgrade menjadi patas atau patas-AC agar operator bus dapat revenue lebih besar dgn memasang AC. Padahal tak semua penumpang perlu AC. Yg mereka perlukan ada transport yg memadai. Yg harus dilakukan pemerintah adalah membangun SMP/SMU baru di wilayah tsb.

Saya pun tak mendukung teori bahwa pendidikan harus mahal krn kehidupan kita sekarang lebih mahal. Berapa uang yg Anda belanjakan utk status hidup seperti handphone, kredit mobil, rokok, nonton, travel, dll, mengapa keluar uang utk pendidikan pelit amat ... itu kata mereka. Kenaikannya tak seimbang dan memang tak perlu dibuat melangit (baca hitung-hitungan di bagian pertama blog ini).  Menurut saya adalah hak tiap warga negara untuk mendapat pendidikan dengan harga wajar, termasuk hak dari siswa keluarga mampu/kaya. Anggaran pendidikan dalam APBN yaitu 20%, asal tidak bocor, jumlahnya lumayan utk mensubsidi pendidikan dasar dan menengah.



(mau kembali ke bagian :2:)

No comments:

Post a Comment